Kelompok HAM desak Indonesia berikan tekanan lebih kuat pada militer Myanmar
2023.01.12
Jakarta
Human Rights Watch (HRW), organisasi hak asasi manusia (HAM) internasional, mendesak Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini untuk mengambil langkah untuk meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas konflik di sana.
HRW juga meminta ASEAN untuk tidak mendukung pemilihan umum yang oleh junta militer direncanakan dilaksanakan tahun ini dan menyatakan kegiatan itu hanyalah dagelan.
“Sebagai ketua Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada tahun 2023, Indonesia harus mempromosikan tindakan baru dan lebih kuat untuk mengakhiri pelanggaran yang meluas oleh junta militer di Myanmar,” kata Human Rights Watch dalam siaran pers yang menyertai World Report 2023.
Militer Myanmar harus dimintai tanggung jawab atas kegagalannya menerapkan Konsensus Lima Poin yang bertujuan membawa negara itu kembali ke perdamaian dan demokrasi, kata direktur Asia kelompok itu, Elaine Pearson, dalam konferensi pers di Jakarta.
“Mengakhiri serangkaian pelanggaran Myanmar membutuhkan tindakan, bukan hanya kata-kata,” kata Pearson. “ASEAN harus mempertimbangkan menangguhkan (keanggotaan) junta Myanmar karena kegagalan berulang kali untuk melaksanakan komitmen terhadap ASEAN yang berorientasi pada rakyat dan berpusat pada rakyat.”
Militer Myanmar menggulingkan pemerintahan terpilih pada 1 Februari 2021.
Pada bulan April tahun itu, para pemimpin ASEAN, termasuk penguasa militer Myanmar Min Aung Hlaing, menyetujui Konsensus Lima Poin itu dalam pertemuan darurat ASEAN di Jakarta.
Konsensus menyerukan diakhirinya kekerasan, penyediaan bantuan kemanusiaan, penunjukan utusan khusus ASEAN, dialog dengan semua pihak, dan mediasi oleh utusan tersebut.
Beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyatakan kekecewaannya atas kegagalan junta melaksanakan konsensus tersebut.
Banyak pengamat dan analis regional, serta mantan menteri luar negeri Malaysia, mengatakan sudah waktunya untuk membuang konsensus dan menyusun rencana baru yang terikat waktu dan termasuk mekanisme penegakan hukum.
Namun pada hari Senin, Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengatakan Konsensus Lima Poin adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan krisis di Myanmar.
Pada hari Rabu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan Indonesia sedang menyiapkan kantor utusan khusus untuk menangani masalah Myanmar.
Indonesia, kata dia, akan bekerja berdasarkan lima butir konsensus itu.
“(Sebagai) ketua dan sesuai dengan mandat 5PC (Konsensus Lima Poin) Indonesia akan melakukan segala upaya untuk membantu Myanmar keluar dari krisis politik,” katanya.
“Hanya melalui pelibatan semua pemangku kepentingan, mandat 5PC terkait fasilitasi terciptanya dialog nasional dapat dilaksanakan.”
Pearson menyerukan ASEAN dan PBB untuk tidak memberikan legitimasi pada pemilihan yang direncanakan oleh junta untuk tahun ini, yang dia sebut sebagai "sandiwara" dan "palsu".
“Indonesia harus bekerja sama dengan sekelompok kecil pemerintah yang berpikiran sama untuk mengambil tindakan nyata untuk menghentikan junta melanggar hak-hak warganya dan memberi tahu junta bahwa tidak akan ada dukungan untuk pemilu apa pun sampai semua tahanan politik dibebaskan,” kata dia.
Sejak kudeta, junta Burma telah melakukan penyiksaan yang meluas, penangkapan sewenang-wenang dan serangan yang menargetkan warga sipil, kata PBB dan kelompok-kelompok HAM.
Lebih dari 2.700 orang telah tewas dan Lebih dari 17.000 telah ditangkap di Myanmar, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik yang berbasis di Thailand.
Junta memberlakukan kembali hukuman mati tahun lalu untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga dekade, kata Human Rights Watch.
Dalam pernyataannya, HRW meminta ASEAN mengintensifkan tekanan terhadap Myanmar dengan memotong pendapatan mata uang asing junta dan pembelian senjata, yang pada gilirannya akan melemahkan militer Myanmar.
ASEAN juga perlu melakukan pendekatan yang berbeda seperti yang sudah dilakukan Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah yang bertemu dengan dengan perwakilan oposisi Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar, yang dibentuk oleh anggota parlemen terpilih, perwakilan etnis minoritas, dan aktivis masyarakat sipil setelah kudeta.
“ASEAN harus mengikuti dan memperluas keterlibatannya ke perwakilan masyarakat sipil.”
Agus Haryanto, analis di Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, mengatakan Indonesia harus memastikan pemilu tetap berjalan karena itu bisa menjadi langkah awal menuju perdamaian yang lebih luas di Myanmar.
“Karena pemilu rencananya masih Agustus. Tentu pemerintah Indonesia (bias) lebih memberikan tekanan ke Junta Myanmar,” ujar dia.
Rohingya
Indonesia juga harus mendorong rekonsiliasi di Myanmar, tidak hanya di kalangan elit, tetapi juga di tingkat akar rumput, ujar Agus.
“Kita melihat bagaimana banyak pengungsi Rohingya yang ke Aceh misalnya. Itu sebagai indikasi bagaimana rekonsiliasi di Myanmar tidak berhasil,” ujarnya merujuk pada etnis minoritas Muslim yang berasal dari Negara Bagian Rakhine di Myanmar.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan pekan lalu bahwa kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh melonjak tahun lalu menjadi 574. Antara 2020 dan 2022, pejabat mencatat kedatangan 1.155 pengungsi Rohingya di Aceh.
Amnesty International mengatakan kedatangan terbaru pengungsi Rohingya mengindikasikan situasi yang memburuk di Myanmar setelah kudeta militer, serta kondisi yang menyedihkan di kamp-kamp warga Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh.
Sekitar 1 juta Rohingya, termasuk sekitar 740.000 yang melarikan diri dari Myanmar selama serangan militer brutal di Rakhine pada tahun 2017, tinggal di kamp pengungsi yang padat di Cox's Bazar, sebuah distrik tenggara Bangladesh di perbatasan Myanmar.
“Ketidaktegasan ASEAN”
Profesor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Poltak Partogi Nainggolan, mengatakan kurang tegasnya ASEAN membuat junta militer selalu resisten dan tidak mau peduli dengan seruan pemimpin ASEAN, termasuk Indonesia.
“Sebagai pendiri ASEAN, Indonesia bersama Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura, seharusnya bisa menunjukkan pengaruhnya yang dominan dan konsisten dalam menekan junta militer dan tegas,” ujarnya pada BenarNews.
Pendiri ASEAN menurut dia seharusnya tidak perlu menghiraukan sikap negara seperti Kamboja dan Laos, yang cenderung mendukung junta militer akibat tekanan China dengan bantuan ekonomi dan pembangunannya.
“Ketegasan Indonesia ditunggu, jika perlu dengan memberikan sanksi baru yang lebih keras kepada junta militer Myanmar demi memberikan kepastian prospek masyarakat keamanan dan stabilitas kawasan,” terangnya.