Pemerintah Dituntut Tegakkan Perlindungan Perempuan
2016.03.08
Jakarta
Matahari masih di atas ubun-ubun ketika Vivi Widyawati naik ke atap mobil untuk berorasi.
"Hari ini adalah hari perlawanan kaum perempuan," ujar Koordinator Politik Rakyat itu lewat pengeras suara.
Ujaran itu disambut keriuhan kerumunan demonstran di depan Vivi. Namun tak seperti unjuk rasa kebanyakan, keriuhan itu tak bersumber dari teriakan perjuangan yang menimpali teriakan sang orator.
Siang itu, Selasa, 8 Maret 2016, keriuhan justru datang dari puluhan kentungan yang dipukul bertalu-talu hingga menimbulkan suara gaduh.
Ditemui BeritaBenar seusai berorasi, Vivi menjelaskan makna aksi membunyikan kentungan yang mereka lakukan saat memperingati Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) di depan Istana Negara tersebut.
"Ini pertanda bahwa perempuan sudah berada dalam kondisi darurat," ujarnya.
Kentungan yang dipukul bertalu-talu memang jamak dimaknai sebagai pertanda marabahaya.
"Nah, kami ingin memberitahu Presiden Joko Widodo soal itu (perempuan dalam marabahaya) ," katanya lagi.
Vivi menilai, perempuan Indonesia masih sering mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam masyarakat.
"Buruh perempuan, misalnya, mendapat perlakuan tak layak di pabrik. Upah yang mereka dapatkan tak cukup untuk perawatan anak. Belum lagi ditambah kekerasan seksual, baik di pabrik dan di ruang publik seperti di transportasi umum," kata Vivi, tanpa merinci perihal data perlakuan tak layak yang dimaksudnya.
"Menjadi pelik karena pemerintah Jokowi tak juga menganggap hal ini sebagai prioritas."
Kekerasan meningkat
Berbeda dengan Vivi, orantor lain dari Solidaritas Perempuan, Indah Nuranisah menyebut kekerasan terhadap perempuan meningkat setiap tahun.
Ia merujuk pada data yang dimiliki Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
"Data untuk 2016 saja, angka kekerasan terhadap perempuan naik 30 persen," ujar Indah. "Kekerasan itu kebanyakan tercatat dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual."
Indah pun berharap pemerintah bisa tegas dan berpihak pada perlindungan perempuan.
Menurut catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2015 jumlahnya meningkat 9 persen dari tahun 2014. Angka ini adalah jumlah kasus yang dilaporkan, sedangkan yang tidak dilaporkan diduga lebih tinggi.
"Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2015 sebesar 321.752 yang sebagian besar bersumber dari data kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama," jelas Ketua Komnas Perempuan, Azriana, seperti dikutip CNN Indonesia.
Dia menambahkan bahwa ada peningkatan kesadaran perempuan tentang kekerasan sehingga menyebabkan lonjakan pada jumlah pengaduan yang diterima. Peningkatan jumlah kasus di suatu daerah karena ketersediaan regulasi dan layanan yang baik.
Apabila di suatu daerah memiliki lembaga penyedia layanan seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang kinerjanya baik, laporan kekerasan yang masuk lumayan banyak, katanya.
Tuntut penegakan hukum
Aksi membunyikan kentungan dan orasi di depan Istana Negara yang digelar Vivi dan aktivis perempuan merupakan rangkaian dari demonstrasi peringatan IWD yang diprakarsai Parade Juang Perempuan Indonesia.
Selain di Istana Negara, mereka juga berorasi di depan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Kemananan, Mahkamah Konstitusi, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang tak jauh dari Istana Negara.
Tak cuma di seputaran Istana Negara, rangkaian aksi peringatan Hari Perempuan Internasional juga digelar di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Bedanya, para aktivis perempuan tak berorasi, tapi menyerahkan petisi kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Anang Iskandar.
Penyerahan petisi dimaksudkan agar kepolisian bisa bertindak tegas dan memberikan perlindungan hukum kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan.
"Selama ini pelaku kekerasan terhadap perempuan kerap meminta korbannya mencabut laporan sehingga kasus berhenti dengan iming-iming kompensasi," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Ratna Batara Munti.
"Padahal dalam KUHAP, ada penggabungan penggantian kerugian. Semuanya harus dalam koridor hukum. Dan, pemerintah harus mengawasi proses hukum itu," tambahnya.
Ratna juga menyentil muara kasus kekerasan yang dilakukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Masinton Pasaribu, terhadap staf perempuannya. Kasus tersebut berujung damai sehingga menyelamatkan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu dari jeratan hukum.
Dia berharap kasus yang melibatkan anggota DPR lainnya, yaitu Ivan Haz, tak bermuara seperti kasus Masinton. Ivan kini juga berurusan dengan polisi setelah diduga menganiaya asisten rumah tangganya.
"Kami berharap kasus itu jangan menjadi preseden buruk. Ketika dicabut oleh korban karena didasari tekanan karena pelaku pejabat publik, itu kan, artinya hukum menjadi permainan kekuasaan," ujar Ratna lagi.