Human Rights Watch: Indonesia lakukan rasisme, diskriminasi terhadap orang Papua

Merespons laporan itu, Kantor Staf Kepresidenan: Tak ada kebijakan Jokowi yang bersifat rasis atau diskriminatif.
Tria Dianti dan Victor Mambor
2024.09.19
Jakarta dan Jayapura
Human Rights Watch: Indonesia lakukan rasisme, diskriminasi terhadap orang Papua Pelajar Papua berdemonstrasi di Surabaya pada 16 Juni 2020 menuntut dibebaskannya tujuh pengunjuk rasa lainnya yang didakwa melakukan makar dalam protes anti rasisme pada tahun 2019.
Juni Kriswanto/AFP

Tindakan keras pemerintah Indonesia kepada pengunjuk rasa setelah serangan terhadap mahasiswa Papua pada 2019 mempertegas diskriminasi rasial yang sudah lama terjadi terhadap masyarakat adat Papua, menurut laporan Human Rights Watch yang dirilis pada Kamis (19/9).

Pemerintah seharusnya menyelesaikan persoalan sejarah, ekonomi, dan politik yang dihadapi masyarakat Papua, bukan menuntut mereka dengan tuduhan makar dan kejahatan lain ketika menjalankan hak-hak dasar mereka atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai, kata lembaga HAM tersebut.

“Mereka juga harus segera membebaskan orang-orang yang ditahan secara tidak sah,” kata laporan Human Rights Watch (HRW) setebal 80 halaman tersebut.

Sementara itu Kantor Staf Kepresidenan mempertanyakan parameter yang digunakan dalam laporan itu dan menegaskan bahwa tidak ada satu pun kebijakan pemerintah yang bersifat rasis, tidak di Papua dan tidak di mana pun.

Laporan berjudul "Jika Ini Bukan Rasisme, Lalu Apa?": Diskriminasi dan Pelanggaran Lain Terhadap Orang Papua di Indonesia mengatakan bahwa protes yang dibangun melalui kampanye media sosial Papuan Lives Matter berfokus pada pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang Papua,

Pelanggaran terhadap orang Papua asli tersebut termasuk penolakan hak atas kesehatan dan pendidikan, serta seruan damai untuk kedaulatan bagi Papua Barat, tempat sebagian besar masyarakat adat Papua tinggal.

Laporan tersebut menyoroti kasus-kasus aktivis Papua yang dihukum karena peran mereka dalam protes dan tuduhan tak berdasar yang diajukan terhadap mereka.

"Rasisme dan diskriminasi yang dialami orang Papua selama beberapa dekade baru mulai mendapat perhatian dari pihak berwenang Indonesia setelah protes besar pada tahun 2019," kata Andreas Harsono, peneliti senior di HRW.

"Pemerintah harus bertindak sesuai dengan banyak rekomendasi PBB untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dan mengizinkan pemantau internasional serta jurnalis asing untuk mengunjungi wilayah tersebut."

Antara Juni 2023 hingga Mei 2024, HRW menemui sejumlah orang Papua untuk membahas diskriminasi yang mereka hadapi sehari-hari dan melakukan 49 wawancara mendalam dengan aktivis lokal yang ditangkap dan diadili setelah gerakan Papuan Lives Matter dimulai pada 2019.

Selain itu, HRW juga mewawancarai pengacara, akademisi, pejabat, dan pemimpin gereja.

42361abb-1c69-4e36-9543-76589fa60730.jpeg
Seorang pengunjuk rasa membawa poster di luar gedung DPR di Jakarta setelah para anggota dewan mengesahkan undang-undang untuk membentuk tiga provinsi baru di Papua, 30 Juni 2022. [Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters]

Pada 17 Agustus 2019, aparat keamanan Indonesia dan massa menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya, kata laporan HRW.

Rekaman video serangan tersebut, yang berisi penghinaan rasial, tersebar luas di media sosial, memicu gerakan Papuan Lives Matter yang terinspirasi dari protes Black Lives Matter di Amerika Serikat.

Protes terjadi di setidaknya 33 kota di Indonesia. Meskipun sebagian besar protes berlangsung damai, di beberapa tempat terjadi bentrokan antar-komunitas, pembakaran, yang bahkan menelan korban jiwa.

Polisi dan militer Indonesia menggunakan kekuatan berlebihan dan menangkap banyak pengunjuk rasa, terutama mereka yang mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan Papua yang dianggap ilegal di Indonesia, menurut HRW.

Situs Papuans Behind Bars, yang memantau penangkapan bermotif politik di Papua Barat, mencatat lebih dari 1.000 penangkapan pada 2019, dan 418 penangkapan antara Oktober 2020 hingga September 2021.

Setidaknya 245 orang dihukum atas berbagai kejahatan, termasuk 109 orang atas tuduhan makar. Undang-undang makar Indonesia sebagian besar digunakan untuk menargetkan orang Papua yang memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk kemerdekaan.

HRW tidak mengambil posisi terkait klaim kemerdekaan di Indonesia atau negara lain, tetapi mendukung hak semua orang secara damai menyuarakan pandangan politik mereka, termasuk tentang kemerdekaan, tanpa rasa takut akan penangkapan atau tindakan balasan lainnya.

Pada Juni 2022, parlemen Indonesia memberlakukan undang-undang kontroversial yang membagi wilayah dua provinsi—Papua dan Papua Barat—menjadi enam provinsi baru.

Banyak orang Papua percaya bahwa pembentukan provinsi baru ini akan memicu lebih banyak pendatang non-Papua, yang akan mengurangi proporsi masyarakat adat Papua yang tinggal di tanah mereka sendiri.

Manurut HRW, pemerintah Indonesia telah mendorong dan mensubsidi puluhan ribu keluarga pendatang non-Papua untuk pindah ke Papua melalui program transmigrasi selama beberapa dekade.

Program transmigrasi tersebut, kata HRW, sering kali memaksa penduduk asli Papua keluar dari tanah mereka, yang kemudian diambil alih untuk kepentingan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.

Pemerintah daerah dan nasional mendiskriminasi penduduk asli Papua dalam pemberian layanan kesehatan dan pendidikan, lebih mengutamakan pendatang, menurut Human Rights Watch.

Daerah yang dihuni penduduk asli Papua memiliki jauh lebih sedikit klinik medis dan sekolah. Selain itu, pemerintah lebih memprioritaskan pendatang dalam pekerjaan di pemerintahan, baik sebagai guru, perawat, maupun di kepolisian dan militer, ungkap HRW.

IMG20240919100526.jpg
Andreas Harsono (kanan), peneliti senior Human Rights Watch (HRW), didampingi Cahyo Pamungkas (tengah) pengamat masalah Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, serta John Sifton, director advokasi Divisi Asia HRW dalam acara peluncuran “Laporan HRW: Jika Ini Bukan Rasisme, Lalu Apa?” di Jakarta, 19 September 2024. [Tria Dianti/BenarNews]

Diskriminasi dan stereotipe

Sementara itu, kata HRW, orang Papua yang tinggal di bagian lain Indonesia mengalami diskriminasi dan stereotip rasis saat mengakses pekerjaan, pendidikan, atau perumahan.

Agus Sumule, dosen di Universitas Papua di Manokwari yang memimpin penelitian tentang pendidikan di Papua Barat, mencatat akses pendidikan penduduk asli Papua di daerah pedesaan jauh lebih rendah, dan tidak ada satu pun lembaga pendidikan guru di Pegunungan Tengah, di mana hampir semua penduduknya adalah orang asli Papua.

"Jika ini bukan rasisme, lalu apa yang harus saya sebut?" kata Agus.

Human Rights Watch juga menemukan bahwa polisi menyiksa dan menganiaya aktivis Papua, menggunakan cercaan rasis.

Ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo, terpilih pada 2014, banyak yang berharap akan adanya reformasi hak asasi manusia di Papua Barat, kata HRW.

Namun, sepuluh tahun kemudian, menjelang akhir masa jabatan kedua presiden, sedikit yang berubah di Papua. Pemerintah baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto akan bermula pada Oktober 2024.

Pemerintah baru ini harus segera meninjau kebijakan yang ada terkait Papua, mengakui dan menghentikan sejarah diskriminasi sistemik terhadap penduduk asli Papua, serta meminta pertanggungjawaban bagi mereka yang melanggar hak-hak mereka, kata HRW.

Kantor Staf Kepresidenan: Tidak ada kebijakan yang rasis

Menanggapi laporan tersebut, pemerintah Indonesia mempertanyakan parameter yang dipakai untuk melabeli rasialisme dan diskriminasi.

“Harus diperjelas dulu itu dia pakai standar apa. Seluruh kebijakan Presiden Jokowi mau di Papua, Aceh, Jawa tidak ada satupun yang masuk dalam apa yang disebut rasisme atau diskriminasi,” kata Ali Mochtar Ngabalin, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, kepada BenarNews.

Ali Mochtar mengatakan bahwa pemerintah sangat mempertimbangkan hak asasi manusia. “Jika ada orang melakukan penilaian seperti diskriminasi, rasisme dan masalah HAM lainnya, maka itu sangat diragukan,” kata dia.

Ali Mochtar menegaskan bahwa Presiden sudah berkunjung 19 kali ke Papua, yang menunjukkan perhatiannya terhadap nasib orang Papua.

“Semua menyambut. Masa orang tidak bisa menilai kunjungan itu,” kata dia.

Indonesia adalah penandatangan perjanjian internasional inti hak asasi manusia, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

Semua perjanjian tersebut melarang diskriminasi berdasarkan ras, etnis, dan agama, di antara dasar lainnya, kata HRW.

Kebijakan dan praktik diskriminatif yang didokumentasikan oleh organisasi HAM tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak penduduk asli Papua atas kesehatan dan pendidikan.

Salah satu standar utama adalah Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, yang mengakui hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri, termasuk otonomi atau pemerintahan sendiri dalam urusan internal atau lokal.

“Otoritas Indonesia harus menanggapi tuntutan aktivis Papua dan menangani rasisme sistemik terhadap penduduk asli Papua,” kata Andreas.

“Pemerintah Indonesia perlu akhirnya mengakui bahwa hukum hak asasi manusia internasional berlaku di Papua Barat dan memenuhi kewajibannya kepada masyarakat di sana.”

Warpo Wetipo, Ketua 1 Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengatakan persoalan di tanah Papua ini akarnya adalah rasisme, seraya mengklaim bahwa Indonesia telah bersikap rasis terhadap orang asli Papua.

“Kita mau aksi demonstrasi saja harus kasih surat ke polisi dan harus mendapatkan persetujuan dari polisi,” kata Wetipo kepada BenarNews.

“Orang Papua kalau demonstrasi, selalu berakhir dengan pembubaran. Apakah itu bukan rasis dan diskriminasi?”

Benny Giay, Moderator Dewan Gereja Papua mengatakan bahwa orang-orang Papua yang ditangkap, dibunuh itu sering kali dirujuk sebagai kelompok kriminal bersenjata, separatis, teroris, dan tuduhan lainnya.

Giay menambahkan semakin banyaknya penempatan pasukan TNI/Polri dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua, khususnya sejak orang Papua memprotes insiden ujaran rasisme di Surabaya pada 2019.

Giay menilai selama lima tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah secara berlebihan menggunakan kekuatan aparat keamanan di Tanah Papua.

“Mereka menggunakan kekuatan keamanan untuk membungkam demokrasi, suara-suara kritis, serta mengedepankan kekuatan dan pendekatan keamanan yang berlebihan,” kata Giay kepada BenarNews.

Veronika Koman, aktivis HAM, mengatakan bahwa wujud rasisme Indonesia bisa dilihat dari keseharian hingga level kebijakan.

“Keseharian, misalnya, mahasiswa orang asli Papua di luar Papua sulit mencari tempat kos, dibilang bau, dianggap perusuh dan bodoh,” kata Veronica kepada BenarNews.

Veronica menambahkan bahwa sikap rasialisme pada level kebijakan bisa dilihat dari proses integrasi hingga otsus dan pemekaran sekarang ini di mama orang asli Papua tidak dilibatkan dalam New York Agreement dan hanya sedikit dari mereka yang dilibatkan dalam Pepera – referendum Papua yang disponsori PBB pada 1969.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.