Indonesia hukum mati delapan warga Iran terkait kasus penyeludupan narkotika
2023.10.27
Jakarta
Pengadilan Negeri Serang di Banten pada Jumat (27/10) menjatuhkan hukuman mati kepada delapan warga negara Iran yang terbukti menyeludupkan ratusan kilogram metamfetamina atau sabu-sabu melalui laut.
Delapan warga Iran tersebut adalah Shahab Sharaki, Amir Naderi, Usman Damani, Walu Mohammad Paro, Abdul Azziz Barri, Abdul Rahman Zardkuhi, Ayub Wafa Salak, dan Wahid Baluch Kari.
Mereka ditangkap tim gabungan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bea Cukai pada Februari lalu usai menyeludupkan 319 kilogram sabu-sabu yang disembunyikan di bawah tangki bahan bakar.
Penyeludupan terbongkar setelah tim mencurigai kapal yang ditumpangi Shahab dkk berlayar tanpa dokumen di perairan selatan Jawa. Petugas kemudian menggiring kapal ke daratan dan menggeledahnya menggunakan anjing pelacak, hingga menemukan 309 bungkusan berwarna hijau berisi sabu-sabu.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan bergiliran untuk delapan terdakwa, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang berpendapat delapan warga negara Iran tersebut terbukti berperan sebagai perantara perdagangan narkotika.
"Terdakwa Shahab Sharaki terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pidana dengan sengaja, tanpa hak dan melawan hukum, melakukan pemufakatan jahat menjadi perantara dalam jual beli narkotika golongan satu dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 gram," kata ketua majelis hakim Uli Purnama.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Shahab Shahraki oleh karena itu dengan pidana mati."
Delapan terdakwa yang hadir di persidangan didampingi penerjemah mengatakan pikir-pikir atas putusan majelis hakim.
Sebelumnya, jaksa menuntut hukuman mati hanya terhadap tujuh terdakwa. Seorang terdakwa, Amir Naderi, dituntut penjara seumur hidup karena dinilai membantu mengungkap kasus dengan menunjukkan tempat penyimpanan sabu-sabu di kapal.
Hanya saja majelis hakim berpendapat lain dan menghukum seluruh terdakwa, termasuk Naderi, dengan pidana mati.
Mengutip fakta persidangan, penyeludupan metamfetamina bermula pada Januari lalu saat seseorang bernama Ali Baluchazai, yang saat ini masih diburu aparat, meminta salah seorang terdakwa Abdul Rahman Zardkuhi untuk mengantarkan sabu-sabu menuju Indonesia melalui laut dengan iming-iming IRR80 juta atau sekitar Rp30 juta.
Zardukhi kemudian mengumpulkan para terdakwa lain, membagi rata uang tersebut, kemudian berangkat menggunakan kapal dari Pelabuhan Pozm yang berjarak sekitar 1.700 kilometer tenggara ibu kota Teheran.
Mereka menerima paket metamfetamina tersebut di tengah perjalanan, lalu melanjutkan pelayaran ke perairan Indonesia.
Kepala BNN Petrus Reinhard Golose dalam keterangan pers pada 22 Februari mengatakan bahwa saat penangkapan para terdakwa juga didapati positif mengonsumsi narkotika.
"Berarti, di samping mengedarkan, mereka juga menggunakan," kata Petrus dikutip dari Kompas.com.
Sementara Direktur Interdiksi Narkotika Bea Cukai Syarif Hidayat dalam kesempatan sama menambahkan bahwa penangkapan ini merupakan pengungkapan pertama lembaganya untuk jaringan narkotika Iran.
Hukuman mati tidak efektif
Peradilan Indonesia memberlakukan hukuman berat, bahkan vonis mati, terhadap tindak pidana berat seperti narkotika, terorisme, dan pembunuhan, meski berulang kali ditentang dunia internasional.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengecam langkah Pengadilan Negeri Serang yang masih menjatuhkan vonis mati bagi terdakwa warga negara Iran.
"Kami tidak menentang hukuman bagi orang yang terbukti melakukan tindak kriminal, tapi hukuman mati tidak memberi efek jera dan terbukti tidak efektif dalam mencegah kejahatan narkotika," kata Usman kepada BenarNews.
Amnesty mencatat dalam kurun Januari-September 2023, setidaknya terdapat 80 vonis mati yang dijatuhkan hakim di Indonesia, dengan 67 di antaranya terkait kasus narkotika.
Sementara itu sepanjang 2022, Amnesty mencatat 112 hukuman mati, dengan 93 persen di antaranya terdakwa kasus narkotika.
Usman mendesak pemerintah menyetop praktik tersebut karena para terpidana mati kerap kali mendapat perlakuan tidak adil di lembaga pemasyarakatan dan ketidakpastian hukum selama menunggu eksekusi.
Lantaran tidak ada batasan masa tunggu eksekusi di aturan hukum Indonesia, terpidana mati bahkan bisa menunggu hingga 20 tahun sementara pemerintah juga dihadapkan pada masalah kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan, kata Usman.
Per Mei 2023, Amnesty mencatat sebanyak 452 terpidana berada dalam deret tunggu eksekusi mati.
Peneliti Advokasi bidang Internasional Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Nadine Sherani menilai fenomena peradilan menjatuhkan hukuman mati disebabkan oleh paradigma usang karena mengutamakan penghukuman ketimbang rehabilitasi.
Padahal kebanyakan negara di dunia, termasuk Malaysia, telah meninggalkan praktik tersebut sepenuhnya pada Juli lalu dengan menghapus vonis mati bahkan untuk ragam kejahatan serius seperti terorisme, narkotika, dan pembunuhan.
"Pemerintah Indonesia masih pasif dalam menyikapi tren global yang secara jelas telah meninggalkan praktik hukuman mati. Masih melihat pemidanaan dalam paradigma balas dendam alih-alih rehabilitatif," kata Nadine kepada BenarNews seraya menambahkan bahwa tidak ada studi ilmiah yang membuktikan bahwa vonis mati dapat menurunkan kriminalitas.
Berdasarkan catatan KontraS, sebanyak 112 negara telah menghapus hukuman mati sementara 55 negara lain, termasuk Indonesia, masih mengadopsinya.
Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan bahwa pemerintah telah menempuh jalan tengah dengan merevisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang resmi berlaku 2026.
Aturan tersebut menyatakan bahwa hukuman seorang terpidana mati dapat diubah menjadi pidana 20 tahun atau seumur hidup penjara andai kata dinilai berkelakuan baik selama masa percobaan sepuluh tahun, seperti termaktub di Pasal 100 KUHP.
"Di tengah desakan dunia internasional dan tekanan domestik bahwa hukuman tersebut (mati) masih harus ada, menurut saya pemerintah sudah mengambil titik kompromi dengan KUHP baru," ujar Bonar kepada BenarNews.
Terkait eksekusi mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Serang, Juru Bicara Mahkamah Agung Suharto enggan berkomentar lebih lanjut, dengan mengatakan, "Hukuman mati kan masih merupakan hukum positif di Indonesia dan diatur di berbagai aturan perudang-undangan.”
Pemerintah menangguhkan eksekusi mati sejak 2017, namun sepanjang 2015-2016 telah mengeksekusi 18 orang terpidana mati yang terbagi dalam tiga tahapan. Semuanya terkait tindak pidana narkotika.
Eksekusi tahap pertama dilakukan pada 18 Januari 2015 terhadap delapan terpidana, yaitu dua warga negara Australia anggota Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran; tiga warga negara Nigeria, Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze; dan Martin Anderson (Ghana), Rodrigo Galarte (Brasil) serta Zainal Abidin (Indonesia).
Enam terpidana dieksekusi dalam tahap dua yang digelar pada 29 April 2015, yaitu Ang Kiem Soei (Belanda), Marco Archer (Brasil), Daniel Enemuo (Nigeria), Namaona Denis (Malawi), Rani Andriani (Indonesia) dan Tran Bich Hanh (Vietnam).
Kemudian, empat terpidana dalam eksekusi tahap tiga yang berlangsung pada 29 Juli 2016, yakni Freddy Budiman (Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Humprey Jefferson Ejike (Nigeria) dan Michael Titus Igweh (Nigeria).