Aktivis: Hukuman Mati Tak Timbulkan Efek Jera
2016.07.11
Jakarta
Kalangan pegiat hak asasi manusia (HAM) kembali mengkritisi rencana eksekusi yang bakal dilakukan terhadap sejumlah terpidana mati serta mendesak pemerintah untuk memberlakukan moratorium hukuman mati.
“Hukuman mati tidak terbukti menimbulkan efek jera seperti diinginkan pemerintah. Ini cuma soal pembalasan keras atas kejahatan,” ujar Supriyadi Widodo, Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR) dan ahli hukum pidana, kepada BeritaBenar, Senin, 11 Juli 2016.
Jaksa Agung HM Prasetyo kepada wartawan di Jakarta, Senin, berharap eksekusi mati dapat digelar secepatnya. Pihaknya tak akan mengubah kebijakan pelaksanaan eksekusi mati meski ada penentangan dari kalangan aktivis HAM.
“Ini kan ada juga teman-teman kalian yang menentang hukuman mati. Ya paling tidak itu kami pertimbangkan juga. Tapi yang pasti tidak akan menyurutkan tekad kami,” katanya seperti dikutip kantor berita Antara.
Sebelumnya, Prasetyo mengatakan pemerintah akan mengeksekusi 18 terpidana mati usai Lebaran Idul Fitri. Tetapi, hinggi kini belum ditetapkan tanggal pasti pelaksanaan eksekusi mati.
Bila dilaksanakan, maka ini menjadi eksekusi mati tahap ketiga sejak Joko “Jokowi” Widodo menjabat presiden. Dua eksekusi sebelumnya digelar pada 18 Januari 2015 dan 29 April 215, dengan masing-masing enam dan delapan terpidana ditembak mati.
Berdasarkan data ICJR yang dirilis pada 11 Juli, terdapat 17 terpidana divonis hukuman mati dari 26 yang dituntut selama 2016 hingga Juni. Sedangkan sepanjang tahun 2015, ada 76 terdakwa yang dituntut hukuman mati oleh jaksa, tapi yang divonis berjumlah 37 orang.
Menurut Supriyadi, hukuman mati adalah bentuk kemunduran konsep pemidanaan yang menekankan rehabilitasi, bukan pembalasan, seperti terdapat dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih terus membahas revisi rancangan KUHP. Tapi mereka telah menyepakati hukuman mati sebagai pidana khusus alternatif.
Indonesia pernah memberlakukan moratorium tidak resmi hukuman mati pada 2008 sampai 2013. Supriyadi mendesak agar pemerintah kembali melakukan moratorium tersebut.
Bentuk tak siap pemerintah
Tetapi, menurut pemerintah para pengedar narkoba layak dihukum mati karena Indonesia dianggap berada dalam situasi darurat peredaran narkoba.
Meski hukuman mati masih diberlakukan, peredaran narkoba juga semakin parah di Indonesia. Sehingga Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group, menganggap hukuman mati tak akan menyelesaikan masalah.
“Ini bentuk ketidaksiapan pemerintah untuk selesaikan masalah secara komprehensif dengan perhatikan berbagai aspek. Semuanya dianggap darurat,” ujarnya.
Dia menyontohkan dalam merespon kekerasan seksual yang meningkat, pemerintah Mei lalu, menerbitkan peraturan tentang kebiri kimiawi sebagai hukuman tambahan bagi predator seksual terhadap anak.
Supriyadi menilai hukuman pembalasan seperti kebiri dan eksekusi mati tidak sejalan dengan politik HAM yang lebih mengutamakan rasa kemanusiaan seperti dijanjikan Jokowi dalam sembilan janji (Nawa Cita) pada kampanyenya.
“Ini merupakan langkah mundur. Arahnya memang tidak seharusnya ke sana,” ujar Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hafid Abbas kepada BeritaBenar.
Seharusnya, kata dia, pemerintah memfokuskan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum sambil menghilangkan penyebab timbulnya tindakan kriminal akibat kesenjangan sosial.
Demi keadilan korban
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan I di Kementerian Hukum dan HAM, Karjono, yang dikonfirmasi BeritaBenar, menolak anggapan hukum pidana di Indonesia mengalami kemunduran dengan adanya hukuman pembalasan.
Menurutnya, hukuman kebiri hanya dijatuhkan pada kasus-kasus tertentu seperti pelaku yang berulang-ulang , melakukan kekerasan seksual pada banyak anak-anak atau mengakibatkan korban meninggal dunia.
“Tidak adil juga bagi korban bila pelaku tak dihukum berat,” ujarnya yang menyebutkan bahwa pemberatan hukuman pidana harus dilihat kasus per kasus.
“Hukuman mati hanya diberlakukan bagi kejahatan yang tergolong paling serius,” tambah Karjono.
Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri, Hasan Kleib, mengatakan hukuman mati dan kebiri tidak bertentangan dengan konvensi dan kovenan PBB yang sudah diratifikasi Indonesia.
“Pemberatan hukuman disesuaikan kondisi sekarang. Hukuman mati diterapkan pada jenis kejahatan paling serius, seperti narkoba. Berbeda dengan Indonesia, negara-negara lain mungkin tak menganggap narkoba sebagai kejahatan paling serius,” ujarnya.