Puja Mandala, Simbol Toleransi Umat Beragama di Bali

Anton Muhajir
2017.01.02
Nusa Dua, Bali, Indonesia
170102_ID_TOLERANCE_1000.jpg Umat Islam melintasi halaman parkir Gereja Katolik di Puja Mandala, Nusa Dua, Bali, 30 Desember 2016.
[Anton Muhajir/BeritaBenar]

Setiap hari, ratusan pengunjung domestik dan mancanegara datang ke sini tidak hanya untuk beribadah, tapi juga melihat bagaimana toleransi diterapkan.

Jamaah shalat Jumat berduyun-duyun ke Masjid Ibnu Batutah di Desa Bualu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Bali, 30 Desember 2016. Saat yang sama, suara genta terdengar dari Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa. Doa umat Hindu Bali, Puja Tri Sandya, juga mengalun dari Pura Jagatnatha.

Suasana shalat Jumat di Masjid Ibnu Batutah, Nusa Dua, selalu terasa berbeda. Masjid ini terletak di bagian paling barat deretan tempat ibadah: Gereja Katolik, Vihara Buddha Guna, Gereja Protestan Jemaat Bukit Doa, dan Pura Jagatnatha.

Lima tempat ibadah ini berada di satu kawasan bernama Puja Mandala. Dalam bahasa Bali, Puja Mandala berarti tempat pemujaan.
Namun, Puja Mandala di Nusa Dua tak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga melambangkan toleransi antar-agama.

Ketika dibangun tahun 1994, Puja Mandala memang dimaksudkan sebagai kawasan tempat ibadah lima agama yang diakui pemerintah saat itu: Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu.

Menurut Muhammad Jumali, Sekretaris Pengurus Masjid Ibnu Batutah, pembangunan Puja Mandala bermula dari keinginan karyawan Muslim PT Pengembangan Pariwisata Bali (BTDC) di Nusa Dua untuk membangun mushalla.

BTDC adalah pengelola kawasan elite di Nusa Dua yang menjadi pusat hotel, pertemuan, dan konferensi berskala internasional.

“Dulu kami kalau mau shalat, terutama shalat Jumat, harus pergi ke tempat lain, seperti Tanjung Benoa atau Tuban. Dari situ kami kemudian terpikir untuk membuat mushalla di kawasan BTDC,” katanya kepada BeritaBenar.

Mushalla akhirnya terbangun pada 1992. Karena banyaknya Muslim yang ikut shalat, tak hanya karyawan BTDC tapi juga warga sekitar, akhirnya pihak BTDC menyediakan lahan seluas 2,5 hektar di Bualu sebagai tempat pembangunan masjid baru.

Agar lebih terpadu, di tempat berjarak sekitar 3 km dari pusat BTDC itu, pengelola juga menyediakan lahan untuk empat agama lain: Katolik, Budha, Protestan, dan Hindu.

Dua pejabat saat itu, Direktur Utama BTDC, Nadirsyah Zein dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Menparpostel) Joop Ave berperan penting dalam pembangunan Puja Mandala, terutama Masjid Ibnu Batutah.

“Meski penganut Nasrani, Joop Ave yang mengadakan penggalangan dana pertama kali dengan menggelar buka puasa bersama di rumahnya di Jakarta,” kata Jumali yang juga pensiunan karyawan BTDC.

Menurut Jumali, peran aktif Joop Ave dalam mendukung pembangunan masjid menjadi bukti bahwa Puja Mandala sejak awal memang hasil dari toleransi antar-umat beragama.

Saling membantu

Toleransi juga tercermin dalam hubungan sehari-hari antar pengurus rumah ibadah di tempat itu.

“Kami saling menghormati dan membantu dalam kegiatan sehari-hari,” ujar Romo Evensius Dewantoro dari Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa.

Menurut dia, ibadah shalat lima waktu justru menghidupkan Puja Mandala.

“Bayangkan jika tidak ada kegiatan tiap hari, tempat ini akan mati,” katanya. “Dengan ada ibadah, setiap hari ada doa di Puja Mandala. Betapa indahnya.”

Momen seperti Jumatan di masjid, misa dan Natal di gereja, atau Odalan di pura justru semakin menguatkan solidaritas antar-umat beragama.

Menurut Romo Even, panggilan akrabnya, pihak gereja dan masjid yang berdampingan biasa berbagi tempat untuk umat masing-masing.

Saat Jumatan, misalnya, tempat parkir gereja menjadi lokasi bagi kendaraan umat Islam yang shalat kalau tempat parkir masjid penuh.

Sebaliknya, saat misa atau Natal, umat Katolik juga biasa menggunakan tempat parkir di lantai paling bawah Masjid Ibnu Batutah.

“Natal tahun ini, kami juga minta air ke masjid karena mereka punya sumur, sementara air PDAM kami macet,” jelas Romo Even.

Paguyuban koordinasi

Sebagai sarana komunikasi, semua pimpinan agama bergabung dalam Paguyuban Antar-Umat Beragama Puja Mandala.

Menurut Ketua Paguyuban, yang juga Lurah Benoa, I Wayan Solo, paguyuban bertujuan untuk mempererat komunikasi dan membangun toleransi antar-umat beragama di Puja Mandala.

Salah satunya, ketika ada kegiatan suatu agama agar tak terjadi benturan dan tabrakan dalam penggunaan tempat.

“Melalui rapat koordinasi, kami bisa saling memaklumi sekaligus menghindari terjadinya ketersinggungan antar-umat satu dengan yang lain,” kata Solo.

Dalam rapat-rapat rutin, para pimpinan agama saling mengingatkan tentang pentingnya membangun harmonisasi antar-umat beragama.

“Betapa kita sedih kalau di daerah lain terjadi demo, seperti Jakarta. Kami mengingatkan masing-masing umat di sini agar tak terprovokasi dengan isu SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan),” ujarnya.

“Jangan sampai rumah ibadah yang tidak punya logika bisa berdiri sejajar harmonis, tapi kita yang dibekali logika dan peradaban justru saling tersinggung satu sama lain,” tambahnya.

Dengan harmoni yang terbangun, Puja Mandala menjadi simbol harmoni dan tolerasi di Bali, khususnya Nusa Dua.

Setiap hari, ratusan pengunjung domestik dan mancanegara datang ke tempat ini tidak hanya untuk beribadah, tapi juga melihat bagaimana toleransi diterapkan.

“Kami tidak hanya berpikir tentang Nusa Dua, tetapi kami ingin tunjukkan kepada dunia bahwa inilah bukti harmoni di Indonesia,” pungkas Solo.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.