Radikalisasi pemuda di Poso tetap jadi ancaman meski MIT melemah

Keisyah Aprilia
2022.08.17
Poso, Sulawesi Tengah
Radikalisasi pemuda di Poso tetap jadi ancaman meski MIT melemah Mantan narapidana terorisme Imron alias Imron Labuan membacakan lima poin ikrar yang diikuti belasan mantan napi lainnya di kantor Polda Sulteng di Palu, 17/8/2022.
[Keisyah Aprilia/BenarNews]

Radikalisme di kalangan generasi muda di Poso, Sulawesi Tengah, masih menjadi ancaman nyata meskipun kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) semakin melemah berkat operasi gabungan TNI dan Polri yang sudah berlangsung 7 tahun.

Sebagian dari 24 pemuda yang ditangkap pada bulan Mei merupakan santri dan jemaah salah satu pesantren dan pengajian yang tak berizin di Poso, kata mantan narapidana terorisme yang ditemui BenarNews pada bulan Juni.

“Mereka ditangkap karena terbukti menerima paham radikalisme dan terorisme dari pesantren dan majelis taklim ilegal,” kata Arifudin, yang sempat dipenjara karena terlibat pembunuhan jaksa yang beragama Kristen di Poso.

“Itu terlihat dari video yang tersebar di Poso setelah penangkapan. Dari video tersebut kemudian Mabes Polri menyebutkan kalau anak-anak muda itu sudah menerima paham radikalisme dan terorisme,” tegas dia.

Menurut Arifudin, ajaran yang diberikan kepada mereka antara lain bahwa ideologi Pancasila sebagai paham yang bertentangan dengan kitab suci Alquran dan membunuh aparatur negara seperti polisi dan tentara itu tidak berdosa.

Beberapa di antara mereka sudah berbaiat kepada organisasi teroris internasional Islamic State (dulunya bernama ISIS) dan mengikuti pelatihan untuk menjalankan aksi teror, kata Arifudin.

Mantan narapidana kasus terorisme lainnya, Supriyadi, satu dari 24 anak muda yang ditangkap Densus 88 itu merupakan keponakan dia yang bernama Danang.

Danang yang baru berumur 20 tahun itu sudah mengikuti pelatihan kelompok radikal di Ampana, Tojo Unauna, ungkap Supriyadi.

“Sebelum ditangkap, keponakan saya pernah memberitahu saya bahwa dia ikut majelis taklim dan ada pelatihan di Ampana,” kata Supriyadi kepada BenarNews.

“Waktu itu saya langsung melarang, cuman anaknya keras kepala dan tidak memedulikan larangan saya,” ungkap Supriyadi.

Penangkapan Danang membuat keluarga kaget karena mereka tidak mengetahui aktivitas dia.

“Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak mungkin Danang ditangkap kalau tidak salah,” ujarnya.

Pada pertengahan Mei, tim Densus 88 menangkap 24 orang diduga pendukung MIT dan ISIS di tiga provinsi, termasuk 22 di Sulawesi Tengah.

Polisi mengatakan kekuatan MIT hanya tinggal tersisa dua orang setelah anggota lainnya dan pemimpin mereka ditangkap atau dibunuh aparat keamanan.

MIT terbentuk pada tahun 2010, berakar pada konflik berdarah antara komunitas Muslim-Kristen di Poso yang menewaskan lebih dari 1.000 orang antara tahun 1998 dan 2001.

Kelompok ini dikenal karena aksi pembunuhan yang kejam terhadap warga yang mereka anggap sebagai informan aparat keamanan.

Setelah kemunculan ISIS di Timur Tengah dengan tujuan menbangun khilafah, kelompok MIT menjadi afiliasi lokalnya.

Penyalahgunaan pesantren

Ketua Yayasan Khalid Bin Walid Poso, Sugianto Kaimudin, mengatakan
dia berencana mendirikan pesantren dan saat ini tengah menjalankan taman pengajian yang banyak diikuti oleh anak-anak Poso.

“Sekarang yayasan kami masih fokus di taman pengajian. Kalau ditanya soal pesantren dan majelis taklim ilegal tentu kami tilak setuju dan pemerintah harus tindak itu,” tegasnya kepada BenarNews.

Menurut Sugianto, di Poso banyak pesantren dan majelis taklim mengajarkan kebaikan dan hal positif tentang agama dan merasa kaget ada anak muda ditangkap dengan dugaan terlibat terorisme.

“Kaget lah karena begitu banyak anak muda yang ditangkap, apalagi pesantren dan majelis taklim itu kami tahu siapa pengelolanya,” katanya.

Sugianto tidak memungkiri, selepas konflik antara warga Muslim dan Kristen tahun 1999-2000, pesantren dan majelis taklim tumbuh subur di Poso.

“Pasca konflik itu kan banyak orang mau memperdalam agama, maka banyak dibuka majelis taklim oleh ormas-ormas saat itu, bahkan sampai mendatangkan ustad dari luar Poso,” ujarnya.

Menurutnya, anak muda gampang dipengaruhi oleh konten internet yang memberitakan persepsi ketidakadilan yang dialami umat Islam.

“Apa lagi anak-anak sekarang dengan mudah mengakses internet. Di sana dia pasti bisa dengan mudah menambah pemahaman. Oleh karena itu ketika melihat bentuk penindasan yang dialami umat muslim pasti langsung mau bertindak,” ujarnya.

220817-ID-Poso-inside1.jpg

Ketua Yayasan Khalid Bin Walid Poso, Ustad Sugianto Kaimudin (tengah) mengecek santrinya sebelum memulai pengajian di taman pengajian Yayasan Khalid Bin Walid Poso, Sulawesi Tengah, Jumat, 24/6/2022. (Keisyah Aprilia/BenarNews) 

Peran pemerintah

Wakil Bupati Poso Yasin Mangun mengatakan pihaknya sudah memantau langsung ke lapangan dan belum menemukan lagi pesantren dan majelis taklim ilegal beroperasi di Poso.

“Kementerian Agama, tokoh agama, dan pihak terkait kami ajak jalan melakukan pemantauan. Alhamdulillah tidak ada ditemukan. Kita berharap Poso benar-benar sudah terbebas dari tempat-tempat yang bisa melahirkan terorisme lah,” kata Yasin kepada BenarNews.

Menurut Yasin, baru satu pesantren dan satu majelis taklim yang sudah ditutup dan dilarang beraktivitas di Poso, di mana keduanya mengajarkan paham radikalisme kepada sejumlah pemuda Poso yang akhirnya ditangkap Densus pertengahan Mei lalu.

“Iya baru ada satu pesantren itu yang ditutup dilarang beraktivitas. Termasuk majelis taklimnya,” ujarnya.

Yasin menambahkan pesantren dan majelis taklim milik seorang ustaz berinisial Y yang juga sudah ditangkap Densus itu, terbukti mengajarkan paham radikalisme ke sejumlah pemuda di Poso.

Yasin sebelumnya juga sudah mengimbau kepada otoritas agama di Poso untuk mengintensifkan pengecekan dan pengawasan terhadap pengajar atau guru yang berasal dari luar Poso di sejumlah pesantren.

“Ustad-ustad yang dari luar Poso harus didata dulu. Wajib mereka diperiksa sehingga diketahui maksud dan tujuannya ke Poso. Kalau tidak jelas dan terindikasi radikal, langsung diserahkan ke pihak berwajib untuk ditindak,” sebutnya.

“Di Poso ini banyak juga pesantren yang legal seperti Gontor, Wali Songo, dan lainnya. Majelis taklim juga begitu. Tentu kita berharap semua pesantren dan majelis taklim yang beraktivitas tidak mengajarkan paham radikalisme dan terorisme,” tandasnya.

Kapolres Poso AKBP Rentrix Ryaldi Yusuf menambahkan sejauh ini situasi keamanan di Poso kondusif, namun pihaknya terus memonitor dugaan masih adanya pesantren dan majelis taklim ilegal beroperasi di Poso.

Operasi Madago Raya terus berjalan untuk menangkap sisa kelompok MIT di hutan pegunungan, kata dia, namun aktivitas masyarakat di dalam kota mau pun di pesisir secara umum berjalan dengan lancar.

“Sejauh ini belum ada kami temukan lagi pesantren atau majelis taklim ilegal beroperasi di Poso,” terangnya saat dimintai keterangan BenarNews.

Menurut Rentrix, sesuai arahan ketika menemukan pesantren atau pun majelis taklim ilegal akan ditindak, jika terbukti mengajarkan paham radikalisme.

“Yang pasti kami selalu patroli ke seluruh wilayah untuk mengantisipasi adanya gerakan-gerakan yang mengarah ke radikalisme dan terorisme,” imbuhnya.

220817-ID-Poso-inside2.jpg

Sejumlah remaja bermain futsal di GOR Puselemba Poso, Sulawesi Tengah, Kamis, 23/6/2022. (Keisyah Aprilia/Benar News)

Sementara itu, 19 mantan narapidana kasus terorisme di Sulawesi Tengah. berikrar setia kepada negara setelah upacara memperingati Hari Kemerdekaan pada Rabu.

Salah satu dari mantan napi, Imron Labuan, mengaku peringatan 17 Agustus tahun ini sangat berkesan karena merupakan kegiatan pertama kali yang dilakukan setelah bebas dari penjara.

“Tentu momen ini sangat spesial dengan mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih. Dulu kegiatan seperti upacara ini kami benci dan tidak suka kami lakukan,” terangnya kepada jurnalis.

Imron mengakui pernah menganut paham ekstrimisme, namun dia mengtakan sekarang sudah tobat.

“Saya akui dulu kami salah jalan. Alhasil saya menjalani masa tahanan penjara kurang lebih selama 10 tahun,” ujar Imron, yang tiga kali dipenjara dari tahun 2007 sampai 2017 karena keterlibatan dalam terorisme.

Imron bersama teman-temannya saat ini sudah mendirikan yayasan di Poso yang diberi nama Yayasan Lingkar Persatuan Damai Nusantara (Lingkar Perdana), yang bertujuan untuk memerangi paham radikalisme.

“Kami punya tanggung jawab untuk mengajak teman-teman yang masih radikal untuk kembali hidup normal, bermasyarakat, dan menghidupi keluarga dengan baik,” ujarnya.

“Kegiatan kami di yayasan tentu akan selalu koordinasi dengan pemerintah daerah. Agar semuanya bisa berjalan sesuai harapan,” tambahnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.