IFJ-AJI: Kekerasan Tetap Ancaman Serius Bagi Jurnalis di Indonesia

Riset menyebutkan bahwa 61 persen jurnalis di Asia Tenggara mengaku merasa tidak aman saat melakukan kegiatan jurnalistik.
Nisita Kirana Pratiwi
2019.11.25
Jakarta
191125_ID_Atatck_Journalists_1000.jpg Bentrokan berujung kerusuhan pasca pengumuman hasil Pilpres 2019 antara pendukung Prabowo Subianto – kandidat presiden yang kalah, dengan aparat keamanan di Jakarta pada 22 Mei 2019, dimana dilaporkan puluhan wartawan juga menjadi korban kekerasan dalam insiden tersebut.
AP

Kekerasan yang terjadi karena kerja-kerja jurnalistik masih menjadi ancaman terbesar bagi para jurnalis di Indonesia, dimana 67 persen mereka menyatakan merasa tidak aman, demikian hasil riset International Federation of Journalists (IFJ) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito Madrim, dalam pernyataan tertulis, hari Senin, 25 November 2019, menyatakan hasil itu berdasarkan survei terhadap 511 responden jurnalis dari seluruh Indonesia.

Riset yang dilakukan pada Agustus hingga November 2019 menggunakan metode dengan cara mengisi formulir yang disediakan.

“Intimidasi ditujukan tidak hanya kepada jurnalis, tapi juga pada orang-orang dekat, termasuk keluarga. Kekerasan fisik adalah dua bentuk ancaman tertinggi lain yang menghambat kemerdekaan pers,” ujar Sasmito.

Temuan ini selaras dengan serangkaian kekerasan terhadap jurnalis seperti saat kericuhan aksi demostrasi di Jakarta, pada 21-22 Mei 2019, dimana AJI Jakarta mencatat sedikitnya 20 jurnalis mengalami kekerasan di beberapa titik kerusuhan.

Menurut Sasmito, tingginya jurnalis yang jadi korban kekerasan pada dua hari itu menjadikan insiden tersebut sebagai kasus terburuk sejak reformasi 1998.

"Tingginya kekerasan terhadap jurnalis karena tidak adanya penanganan kasus oleh aparat,” ujarnya.

“Apalagi jika kasus kekerasan ini melibatkan personel kepolisian. AJI meminta kasus kekerasan terhadap jurnalis harus diselesaikan dengan tuntas menggunakan delik Undang-Undang Pers."

Selain kekerasan fisik, ancaman lain adalah doxing – pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis tidak sesuai aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkan melalui media sosial untuk tujuan negatif –  juga dialami jurnalis.

Persoalan upah rendah dan kondisi bekerja juga menjadi bentuk ancaman non fisik lain yang membayangi profesi jurnalis di Indonesia, kata Sasmito.

Kendati jurnalis rentan terhadap ancaman, studi itu menunjukkan, bahwa upaya pemerintah untuk melindungi jurnalis justru masih rendah.

"Dewan Pers menyambut baik adanya survei tentang keselamatan wartawan yang bertujuan agar seluruh pemangku kepentingan pers mendukung kerja yang bertugas untuk kepentingan publik," kata Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Chaeruddin Bangun, kepada BeritaBenar.

BeritaBenar telah berusaha untuk menghubungi juru bicara kepresidenan dan kepala humas Polri untuk memperoleh tanggapan sehubungan dengan kajian IFJ-AJI ini, namun sampai berita ini diturunkan belum mendapat jawaban.

Perusahaan media

Menurut Sasmito, AJI mendorong perusahaan media agar menyediakan alat pelindung dan keselamatan kerja kepada jurnalis sebelum menugaskan mereka meliput aksi-aksi di medan berbahaya.

AJI juga mengingatkan perusahaan media bahwa perlindungan dan keselamatan jurnalis serta penanganan kasus kekerasan, merupakan tanggung jawab perusahaaan media.

Karena itu, perusahaan sudah selayaknya menjadi garda terdepan dalam mendampingi korban hingga kasusnya selesai sesuai mekanisme Undang Undang Pers, bukan sebaliknya perusahaan malah menghentikan proses pelaporan kasus dan menghambat penanganan kasusnya.

"AJI mendorong Kapolri untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, baik pelakunya dari pihak non-negara maupun negara. Hal ini penting supaya dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan dan mencegah kasus serupa terulang kembali," tegas Sasmito.

Hendry menambahkan, Dewan Pers sudah bertemu dengan pihak kepolisian untuk mencegah kekerasan pada peristiwa yang berpotensi seperti unjuk rasa.

"Di level pimpinan sudah baik kerja sama tapi di level lapangan terkadang kondisi tertentu membuat suasana tidak terkendali," pungkasnya.

Asia Tenggara

Sementara itu, riset IFJ dan Southeast Asia Journalists Unions (SEAJU) juga menyebutkan bahwa kekerasan dan intimidasi masih menjadi ancaman serius bagi jurnalis di Asia Tenggara, dimana 61 persen mengaku merasa tidak aman saat melakukan kegiatan jurnalistik.

Riset tersebut melibatkan 1.270 jurnalis dan pekerja media dari tujuh negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Timor Leste.

Studi bertajuk Holding the Line: South East Asia Media Freedom Report 2019 yang diluncurkan pada 23 November 2019, juga menjadi momentum 10 tahun pembunuhan massal Ampatuan di Filipina yang menewaskan 58 orang, termasuk 32 jurnalis yang ditembak di Maguindanao, provinsi di selatan Mindanao.

Riset itu melihat pelanggaran dan ancaman besar bagi jurnalis, antara lain berupa penghentian internet dan kontrol online di Papua; untuk protes berskala luas di Indonesia di mana wartawan terlalu sering menjadi sasaran oleh polisi dan masyarakat; hingga PHK massal yang berdampak pada industri media Malaysia dan Thailand dengan ditutupnya sejumlah media besar termasuk Utusan Malaysia dan berakhirnya produksi cetak surat kabar The Nation di Thailand.

Studi juga menemukan serangan yang ditargetkan untuk pelaporan adalah ancaman terbesar bagi keselamatan jurnalis. Ancaman paling besar pada 2018 adalah kondisi kerja.

Di Filipina, dua jurnalis ditembak mati pada tahun 2019. Selanjutnya, di Indonesia, 20 jurnalis diserang demonstran dan polisi ketika meliput protes pasca pengumuman hasil Pilres di Jakarta, pada 21 dan 22 Mei.

Direktur IFJ Asia Pasifik, Jane Worthington, mengatakan bahwa peningkatan kekerasan terhadap jurnalis termasuk kekerasan online menunjukkan bahwa situasi di level regional masih sangat mengancam bagi jurnalis dalam menjalankan pekerjaannya.

“Kita melihat jurnalis diserang, menjadi korban doxing, ditahan atau dituntut karena pencemaran nama baik, hanya karena para jurnalis bekerja melayani kepentingan publik,” katanya.

“Kami berharap riset ini dapat menjadi bagian dari advokasi untuk jurnalis dan serikat pekerja untuk terus melawan dan mendesak perubahan guna memperkuat kebebasan media dan demokrasi.”

Mayoritas responden survei mencatat situasi media di negara mereka tidak melihat perubahan signifikan dalam setahun terakhir, sementara pemimpin politik dan pemerintah merupakan dua faktor utama yang menghambat upaya keadilan bagi para korban.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.