Indeks Persepsi Korupsi Indonesia naik, tetapi masih tertinggal dari negara tetangga
2025.02.11
Jakarta

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia naik menjadi 37 pada tahun 2024, meningkat tiga poin dari tahun sebelumnya, namun pengamat mengatakan bahwa masih ada banyak masalah mendasar yang belum terselesaikan.
Kenaikan ini menjadikan Indonesia berada di peringkat ke-99 dari 180 negara dalam laporan terbaru Transparency International, membaik dari peringkat ke-115 dengan skor 34 di tahun 2023.
IPK, yang diterbitkan setiap tahun oleh Transparency International yang berbasis di Berlin, mengukur persepsi korupsi di sektor publik berdasarkan data dari 13 sumber, termasuk Bank Dunia dan World Economic Forum. Skor berkisar dari 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih), berdasarkan pandangan para pemimpin bisnis dan pakar.
Namun, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangganya seperti Malaysia (50), Vietnam (40), dan Timor Leste (44). Secara global, Denmark menduduki peringkat tertinggi dalam indeks selama lima tahun berturut-turut dengan skor 90, diikuti oleh Finlandia (88), Singapura (84), dan Selandia Baru (83).
Transparency International Indonesia mengaitkan peningkatan peringkat ini dengan upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap praktik korupsi.
“Yang [membuat] indeks korupsi Indonesia buruk itu adalah penegakan hukumnya, maraknya korupsi politik, demokrasi yang turun serta [menurunnya] kebebasan masyarakat sipil,’’ kata Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Wawan Heru Suyatmiko, dalam sebuah presentasi virtual.
‘’Lembaga anti korupsi, lembaga pemeriksa atau pengawas itu harus bebas dari cabang kekuasaan yang ada,” ujar dia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selama ini menjadi ujung tombak dalam pengungkapan kasus korupsi besar, menghadapi tantangan yang semakin besar dalam beberapa tahun terakhir.
Revisi undang-undang KPK yang disahkan pada tahun 2019 melemahkan independensi KPK, membatasi kewenangannya dalam melakukan penyelidikan dan penangkapan. Para pengamat berpendapat bahwa perubahan ini telah menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyambut baik kenaikan IPK ini, dengan menyatakan bahwa hal itu mencerminkan kemajuan dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Ini gambaran pemberantasan korupsi, penindakan dan upaya yang sudah dilakukan KPK dan pemerintah,’’ kata Setyo dalam diskusi Transparency International Indonesia.
‘’Semoga kita bisa melakukan upaya perbaikan untuk 2025.”
Namun, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, memperingatkan agar tidak terlalu optimis dengan peningkatan ini, karena data tersebut belum tentu mencerminkan realitas di lapangan.
“Tahun 2024 itu tahun politik transisi yang penuh dengan kebijakan populis. Terkadang kebijakan populis bisa membuat hal-hal yang bersifat fundamental terlupakan,’’ kata Bivitri.
‘’Contohnya makan siang gratis yang disukai rakyat, untuk mendukung kebijakan populis butuh penghematan anggaran. Maka kementerian lembaga bisa cari duit sendiri, bisa dibalik meja, mungkin dari CSR atau pebisnis, konflik kepentingan makin merajalela,” ujar dia.