Masuknya Indonesia ke BRICS picu kekhawatiran dampaknya pada hubungan Jakarta-Barat
2025.01.08
Jakarta
Masuknya Indonesia ke dalam blok ekonomi BRICS dapat memberikan akses ke pasar yang lebih luas, namun beberapa analis khawatir apakah manfaat yang diragukan ini sebanding dengan potensi risiko yang dapat membahayakan hubungan Jakarta dengan pemerintahan AS yang dipimpin Trump.
BRICS yang awalnya dimulai dengan empat anggota—Brasil, Rusia, India, dan China —kemudian diikuti oleh Afrika Selatan, kini telah berkembang menjadi sepuluh negara dengan keanggotaan Indonesia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Namun, banyak pihak di Barat yang masih melihat BRICS sebagai blok yang dipimpin oleh China dan Rusia, sebagaimana dicatat oleh para ahli hubungan internasional.
Ketua bergilir BRICS saat ini, Brasil, mengumumkan pada hari Senin bahwa Indonesia, negara dengan populasi terpadat keempat di dunia, telah resmi diterima sebagai anggota kesepuluh.
Beberapa ahli seperti Vinsensio Dugis, kepala Pusat Studi ASEAN di Universitas Airlangga, mengatakan bahwa mereka tidak melihat adanya keuntungan ekonomi baru dari bergabung dengan BRICS, meskipun mereka melihat potensi bahaya.
Pandangan negatif negara-negara Barat terhadap BRICS sebagai organisasi yang dibentuk untuk melawan kekuatan politik dan ekonomi mereka dapat menyebabkan mereka menahan investasi ke Indonesia, katanya.
“Butuh waktu baru bisa dilihat potensinya apakah memberikan kontribusi cukup bagi kepentingan ekonomi Indonesia. Apalagi adanya persepsi pergeseran geopolitik, kalau kumpulan ‘Global South’ merupakan kekuatan yang dibangun untuk menjadi tandingan negara ‘Global Lord’,” ujarnya.
“Mendorong kolaborasi"
Budisatrio Djiwandono, politisi partai Gerindra – partai dari Presiden Prabowo Subianto, membantah anggapan kalau keanggotaan Indonesia di BRICS untuk melawan dominasi negara barat. Menurut dia, politik luar negeri Indonesia bersifat bebas aktif.
Indonesia telah mengikuti berbagai forum internasional seperti APEC (Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik), G20, OKI (Organisasi Kerjasama Islam). “Artinya, keanggotaan Indonesia di BRICS ini bukan bentuk konfrontasi dengan pihak manapun,” kata dia dalam pernyataan tertulis yang diterima BenarNews.
“Terutama di tengah tren geopolitik global yang saat ini cenderung berorientasi pada kepentingan dalam negeri masing-masing negara (inward-looking), untuk memperkuat peran Indonesia dalam geopolitik global, politik luar negeri kita harus mampu mendorong kolaborasi, bukan konfrontasi,” tegasnya.
Staf kereta menyambut penumpang kereta cepat Jakarta-Bandung yang didanai China di Stasiun Halim, Jakarta, 15 September 2023. [Eko Siswono Toyudho/BenarNews]
Namun, Dugis mencatat bahwa Indonesia sudah memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan anggota BRICS utama seperti China dan India.
Dalam hubungan bilateral Indonesia, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan menembus USD 133,56 miliar pada 2022, dan USD 61,587 miliar pada Januari sampai Juni 2023. China juga merupakan salah satu sumber investasi asing terbesar Indonesia berdasarkan data pemerintah.
“Apa manfaat bergabung dengan (BRICS) sekarang? Tidak ada yang nyata bagi Indonesia,” kata Dugis.
Muhammad Andri Perdana, Direktur Riset di Bright Institute memperingatkan adanya konsekuensi besar dalam keputusan ini. Ia menyatakan bahwa bergabungnya Indonesia dalam BRICS bisa memperlebar jarak Indonesia dengan negara-negara OECD, yang selama ini menjadi mitra penting Indonesia dalam kerja sama ekonomi.
Perdana juga mengungkapkan bahwa Indonesia, meski mengklaim tetap menjalin hubungan dengan kedua belah pihak, sebenarnya telah terlanjur memberi konsesi politik kepada China.
Contohnya, pengakuan sengketa maritim di Laut China Selatan dan komitmen terhadap pembangunan industri perikanan dan gas oleh China di wilayah tersebut. “Ini dapat membuat Indonesia semakin tersandera dalam kontestasi geopolitik global,” kata dia.
Ditambah lagi, katanya, dengan ancaman Donald Trump tentang tarif 100% bagi negara-negara BRICS menjadi tantangan serius bagi Indonesia.
Dengan Indonesia yang sudah tergabung dalam BRICS, Galau D. Muhammad, seorang ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan bahwa Indonesia harus memiliki misi terkait kepentingan dalam negeri yang ditawarkan dalam forum tersebut.
“Kelau keterlibatannya pasif ya percuma juga hanya euforia semata bergabung, tidak akan berkontribusi banyak. Apa yang ditawarkan harus jelas, bernilai baru dan berlanjut, salah satunya pemberantasan kemiskinan. Itu yang seharusnya bisa difokuskan di forum global dengan menjalin kerjasama interaktif,” kata dia.
Seorang awak kapal berjalan di samping korvet Angkatan Laut Rusia “Gromkiy” yang berlabuh di dermaga Jamrud Utara, pelabuhan Tanjung Perak, untuk latihan militer gabungan mereka yang pertama, selama 5 hari, di Surabaya, 4 November 2024. [Juni Kriswanto/AFP]
Tidak semua pakar melihat keikutsertaan Indonesia di BRICS sebagai hal negative. Beberapa pakar ekonomi politik mengatakan bahwa menjadi bagian dari BRICS memberi Indonesia peluang untuk memperluas aksesnya ke pasar non-tradisional.
Pengamat Ekonomi Politik Global dari Griffith University, Bagus Ismujati, mengatakan sejumlah keuntungan bisa didapatkan Indonesia seperti perluasan akses pasar non-tradisional
“Kebijakan LN Indonesia beberapa dekade ini menitikberatkan pd perluasan pasar ke negara yang Indonesia masih kurang aksesnya. Melalui keanggotaan pada BRICS diharapkan dapat memperbesar akses pada pasar di negara anggota BRICS lainnya,” kata dia.
Dunia baru sedang terbentuk
Berita mengenai Indonesia yang diterima sebagai anggota BRICS nyaris tidak mendapat perhatian di Barat, seperti yang dicatat oleh beberapa pengamat internasional di platform media sosial X.
Philip Pilkington, seorang ekonom dan penulis buku The Collapse of Global Liberalism, adalah salah satunya. Ia mengkritik media Barat.
“Ekonomi terbesar kedelapan di dunia, Indonesia memiliki ekonomi yang lebih besar dari Prancis. Sebuah kemenangan besar bagi BRICS di awal 2025. Tidak banyak perhatian di Barat karena media kini hanya memutarbalikkan peristiwa-peristiwa global penting,” tulisnya di platform X.
Seorang profesor sejarah global di Universitas Oxford juga mencatat bahwa berita tentang Indonesia dan BRICS “nyaris tidak dilaporkan di Inggris, Eropa, AS, dll.” Ia menambahkan bahwa status Indonesia sebagai anggota penuh sangat signifikan karena Indonesia adalah ekonomi terbesar dan negara dengan jumlah penduduk terbanyak di Asia Tenggara.
“Keanggotaan Indonesia kini menjadikan PDB BRICS mencapai +/- 40% dari ekonomi global berdasarkan PPP [Paritas Daya Beli]. Tambahkan 8 ‘negara mitra’ dan itu mendekati 45%,” tulisnya di X.
Ia juga menyebutkan bahwa gabungan ekonomi BRICS kini lebih besar daripada yang disebut sebagai G7 sepuluh tahun yang lalu.
“Ada banyak cara di mana BRICS terlalu dibesar-besarkan, disalahartikan, dan (kadang-kadang) kurang mendapat perhatian. Dan banyak tantangan internal juga, dengan banyak pandangan berbeda tentang apa itu BRICS, apa yang bisa atau seharusnya terjadi,” ujarnya.
“Tapi dunia baru sedang terbentuk yang mengikuti dan menginterpretasikan segala sesuatu dengan cara yang sangat berbeda dari cara pandang Barat.”