Perseteruan dengan Cina Meruncing, Indonesia Tingkatkan Patroli di Natuna

Kepulauan Natuna terletak di ujung selatan Laut Cina Selatan yang diperebutkan.
Arie Firdaus
2020.01.03
Jakarta dan Ranai, Natuna
200103_ID_Natuna_1000.jpg Pemerintah Indonesia memasang radar dan peralatan berteknologi tinggi di kapal-kapal nelayan tradisional di Ranai, ibukota Kabupaten Natuna di Kepulauan Natuna, 5 Desember 2019.
Nosa Normanda/BeritaBenar

Pemerintah Indonesia memperkuat penjagaan wilayah Laut Cina Selatan menyusul masuknya kapal-kapal nelayan Cina yang didampingi kapal penjaga perairan mereka beberapa waktu yang lalu.

Kepala Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla) mengatakan Jakarta akan mempertahankan klaimnya atas perairan Kepulauan Natuna - sebuah kepulauan di bagian selatan laut yang disengketakan setelah lebih dari 60 kapal Cina masuk ke dalam Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia pada Desember lalu.

"Kita akan hadir di sana (perairan Natuna) dan kita akan melakukan klaim kita," kata Kepala Bakamla Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrohman kepada wartawan setelah terkait menggelar rapat koordinasi dengan sejumlah pihak terkait di Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jumat.

"TNI (Tentara Nasional Indonesia) pun pasti mengerahkan kekuatan juga, tapi dalam kondisi ini saya bilang Bakamla memang di depan," tambah Achmad.

Achmad tak merinci jumlah personel tambahan yang disiapkan untuk berpatroli di perairan tersebut dengan menyebutnya sebagai rahasia operasional.

Adapun TNI dalam keterangan tertulis menyatakan telah mengerahkan tiga kapal, satu pesawat intai maritim, satu pesawat Boeing TNI Angkatan Udara, serta memperbantukan dua kapal lain yang masih dalam perjalanan dari Jakarta ke Natuna, guna menertibkan pelanggaran di wilayah perairan utara Natuna.

Setelah Jakarta mengajukan protes diplomatik atas insiden bulan Desember itu, kementerian luar negeri Beijing mempertahankan kehadiran kapal-kapal Cina di sekitar kepulauan Indonesia, dengan mengatakan bahwa "Cina memiliki hak dan kepentingan atas perairan yang relevan."

Kapal China termasuk tiga kapal penjaga pantai lagi-lagi terlihat di perairan Natuna pada hari Jumat 93/1/2020), seperti dikutip media Tempo.

"Ketika kami melakukan patroli udara pagi ini, kami menemukan 30 kapal di sana. Saya telah mengerahkan lebih banyak personel keamanan," demikian kepala Bakamla deperti ditulis Tempo.

Perairan EEZ di sekitar kepulauan itu diyakini menyimpan hingga 226 triliun kaki kubik gas, menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Setelah adanya konflik dengan kapal Cina di perairan Indonesia pada tahun 2016, dimana salah satunya TNI AL melepaskan tembakan peringatan terhadap sejumlah kapal berbendera Cina, pada tahun 2017 Indonesia menegaskan klaimnya terhadap wilayah perairan tersebut dengan mengganti nama perairan di sekitar kepulauan tersebut sebagai Laut Natuna Utara dan membentuk unit militer terpadu dalam rangkain kepulauan itu.

Jakarta juga meluncurkan rencana lima pilar yang ambisius untuk mengembangkan Natuna yaitu Pertahanan, Perikanan, Pariwisata, Migas, dan Pelestarian Lingkungan, demikian menurut pejabat.

"Adalah hak kami untuk mengembangkan perairan Natuna," Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan kepada wartawan pada hari Jumat. "Kami juga ingin menekankan kembali bahwa ada pelanggaran oleh kapal-kapal Cina di ZEE Indonesia."

Klaim tumpeng tindih

Indonesia, secara tradisional, tidak termasuk di antara negara-negara di kawasan yang terlibat dalam perselisihan teritorial atas Laut Cina Selatan, jalur perairan strategis dimana dilewati kapal setiap tahunnya dengan nilai perdagangan sekitar US $ 5 triliun.

Cina, melalui apa yang disebut Nine - Dash Line, garis yang terletak secara samar di peta, mengklaim hampir semua lautan di wilayah tersebut, sementara Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Taiwan memiliki klaim mereka sendiri yang tumpang tindih atas sebagian perairan itu.

Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag memutuskan memenangkan Filipina dalam pengaduannya atas Cina, dengan mengatakan tidak ada dasar hukum bagi Beijing untuk mengklaim hak historis di wilayah perairan itu.

Beijing menolak keputusan itu dan melakukan pembangunan besar-besaran di wilayah yang dikontrolnya di perairan tersebut.

Evan Laksmana, seorang peneliti senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Jakarta, mengatakan perairan Natuna selalu menjadi salah satu titik api potensial Indonesia sejak tahun 1990-an karena lokasinya di Laut Cina Selatan.

"Jika militer mengantisipasi beberapa bentuk spillover konflik, dari negara-negara kawasan yang bertarung satu sama lain ... Natuna adalah di antara skenario yang paling mungkin atau terdekat," kata Evan kepada BeritaBenar.

"Selain masalah di Laut Cina Selatan, saya pikir 'krisis maritim atas potensi perikanan' ini telah memberikan momentum publik tambahan bagi TNI untuk menerapkan kebijakan yang sudah ada sebelumnya dan rencana untuk meningkatkan keamanan militer di daerah tersebut," ujarnya.

'Pearl Harbor' masa depan

Pada tahun 2018, Indonesia mulai membangun pangkalan militer di Natuna Besar, pulau utama di kabupaten itu, yang dilaporkan akan menjadi markas militer ketika selesai nanti yang akan dilengkapi dengan kapal selam, kapal perang dan jet tempur. Ryamizard Ryacudu, menteri pertahanan selama masa jabatan pertama Presiden Joko Widodo, membayangkan pangkalan itu sebagai “Pearl Harbor” di masa depan.

"Unit TNI Terpadu Natuna adalah bagian dari rencana strategis kami untuk mengembangkan kekuatan kami untuk mencegah ancaman, terutama di perbatasan," kata komandan militer Marsekal Hadi Tjahjanto saat peluncuran fasilitas itu tahun 2018.

Pada awal Desember, BeritaBenar mengunjungi Ranai, ibukota Kabupaten Natuna, untuk melihat dari dekat situasi di wilayah tersebut, namun pejabat militer menolak akses tim jurnalis beritaBenar untuk meliput ke pangkalan militer di sama. Para pejabat TNI di Jakarta juga menolak menjawab pertanyaan untuk laporan ini.

Warga sipil di Natuna secara pribadi menyatakan keraguan bahwa pariwisata dapat tumbuh subur di tempat dengan kehadiran militer yang begitu besar.

Tetapi pemerintah telah membangun jaringan taman di kepulauan itu, dan berencana untuk menominasikan Natuna sebagai Geopark Global UNESCO karena keanekaragaman hayati dan fitur geologisnya yang unik.

"Apa yang memicu pemerintah pusat untuk memperkuat militer adalah masalah Laut Cina Selatan," kata Rohdial Huda, seorang mantan kapten kapal nelayan dan pengusaha di Natuna, kepada BeritaBenar.

Rencana untuk memperkuat ekonomi lokal dengan mempromosikan pariwisata dan perikanan dapat meningkatkan prestise negara, tambah Rohdial.

“Nasionalisme itu tak cuma tumbuh lewat perjuangan, tapi juga nilai ekonomi tinggi. Kalau nilai ekonomi tinggi, harga diri juga tinggi. Kalau timpang, kita jadi lemah,” lanjutnya.

Hardiansyah, kepala pariwisata dan budaya di Kepulauan Natuna, mengatakan dia optimis bahwa rencana pemerintah pusat untuk menjadikan Natuna sebagai pusat pariwisata dapat meningkatkan pendapatan daerah dan memperkuat ekonomi lokal.

Pemerintah sedang membangun pelabuhan di Teluk Senoa di salah satu pulau Natuna yang memungkinkan wisatawan dari Singapura dan Malaysia datang dengan perahu.

“Saat ini, pariwisata menyumbang Rp 2,7 miliar (US $ 193.800) [kepada ekonomi lokal] dan kami berharap itu akan meningkat 10 kali lipat atau mungkin lebih,” kata Hardiansyah kepada BeritaBenar.

Dalam lima tahun terakhir, Jakarta telah mengucurkan uang untuk mengembangkan industri perikanan Natuna. Pada bulan Oktober, pemerintah meluncurkan Natuna Integrated Marine and Fisheries Centre, yang telah dikembangkan selama tiga tahun dan menelan biaya 221,7 miliar rupiah ($ 15,9 juta).

Dedy Damhudy, kepala divisi pemberdayaan perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna, mengatakan program perikanan yang diperkenalkan oleh Jakarta telah mendorong ekonomi lokal dengan berkontribusi pada hasil tangkapan yang lebih besar oleh nelayan Natuna.

"Sejak empat tahun terakhir, dampaknya signifikan. Banyak ikan masuk ke perikanan. Karang pun terehabilitasi," kata Dedy kepada BeritaBenar.

Di antara wilayah Indonesia lainnya, Natuna memang unik karena berbatasan dengan banyak negara, termasuk Vietnam, Kamboja, Singapura, dan Malaysia. Kapal-kapal nelayan dari negara-negara yang lebih dekat dari Cina biasanya masuk tanpa izin di daerah itu, kata nelayan setempat.

Nelayan mengatakan bahwa kebijakan pemerintah pada zaman Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dengan menyita dan menenggelamkan kapal nelayan asing membantu meningkatkan hasil tangkapan nelayan dalam beberapa tahun terakhir.

Tindakan keras itu populer di kalangan masyarakat Indonesia tetapi menuai kritik dari negara-negara yang terkena dampak kepada pemerintah Indonesia. Kebijakan itu dapat berubah di bawah Edhy Prabowo, menteri pengganti Susi.

“Menteri baru Edhy tampaknya bergerak ke arah membatalkan kebijakan pendahulunya, sehingga mungkin saja meledakkan kapal mungkin tidak lagi menjadi prioritas bagi kementerian baru. Tapi kita harus menunggu dan melihat,” kata Evan dari CSIS.

Edhy mengatakan bahwa meledakkan perahu yang disita adalah "kebijakan yang baik, tetapi itu tidak cukup."

“Apa yang harus dilakukan setelah itu? Kami harus mengembangkan industri. Bagaimana nasib industri perikanan kita? Bagaimana dengan hasil nelayan kita? Ini adalah hal-hal yang harus kita perbaiki,” katanya baru-baru ini.

Sementara itu di Ranai, sering kali nelayan yang memberi tahu TNI AL tentang keberadaan kapal asing.

“Di musim badai ini, mereka (kapal-kapal asing itu) memasuki wilayah kami dengan mengatakan bahwa mereka perlu berlindung. Tapi mereka tidak pergi ke pelabuhan. Mereka terus mengambil ikan. Tahun lalu, kami melihat ratusan dari mereka. Kapal-kapal itu besar sekali, puluhan ton. Ada yang lebih dari 100 ton,” kata Rusli, seorang nelayan setempat, kepada BeritaBenar pada Desember.

Konfrontasi bahkan terjadi, dengan saling menyerang perahu di laut terbuka.

“Kami baik-baik saja selama patroli angkatan laut atau perikanan terus berjalan. Jika ada yang menjaga, kami tidak merasa takut," kata Rusli.

Seorang penjual ikan (kiri) menjual ikan kepada seorang pelanggan di sebuah pasar di Ranai, di Kabupaten Natuna, 6 Desember 2019. [Nosa Normanda/BeritaBenar]
Seorang penjual ikan (kiri) menjual ikan kepada seorang pelanggan di sebuah pasar di Ranai, di Kabupaten Natuna, 6 Desember 2019. [Nosa Normanda/BeritaBenar]

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.