4 Lagi Pelaut Tewas, Indonesia Desak Cina Lakukan Penyelidikan Menyeluruh
2020.07.30
Jakarta
Dalam pembicaraan dengan mitranya dari Cina, Kamis (30/7), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan "keprihatinan mendalam" atas kematian pekerja Indonesia di atas kapal penangkap ikan Cina, sementara kementerian melaporkan empat lagi WNI meninggal pada Mei-Juni dan mayat mereka kembali dibuang ke laut walaupun Indonesia telah meminta pengupayaan pemulangan jenazah ke Tanah Air.
Retno mendesak Cina untuk melakukan penyelidikan menyeluruh atas berbagai kasus yang menimpa pelaut Indonesia itu dalam pertemuan virtual dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi.
Dengan keempat kematian itu, setidaknya 12 pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan Cina telah meninggal sejak November, demikian menurut aktivis dan pemerintah yang mendapat laporan jika para Anak Buah Kapal (ABK) itu diperlakukan tidak manusiawi dan dipaksa kerja tanpa henti selama kontrak kerja mereka.
“Saya meminta kepada pemerintah Cina untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut secara transparan agar kejadian serupa tidak terjadi di masa mendatang,” ujar Retno dalam telekonferensi mingguan.
“Secara khusus (kami) meminta agar pemerintah RRT (Cina) melakukan investigasi secara menyeluruh dan dilanjutkan penegakan hukum atas beberapa kasus kematian, pelarungan jenazah dan kondisi kerja tidak layak,” ujarnya.
Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Joedha Nugraha, mengatakan pemerintah telah menerima informasi mengenai tewasnya empat warga Indonesia di kapal Cina pada bulan Mei dan Juni serta pelarungan mayat mereka di Laut Hindia dan Laut Cina Selatan pada bulan Juli.
Pelaut yang disebut dengan inisial D meninggal di kapal berbendera Cina Hanrong 363, sementarta AS, R, dan AW meninggal di kapal Hanrong 368, kata Judha dalam konferensi pers virtual mingguan Kemlu itu.
Judha menjelaskan jenazah D dan AS dipindahkan ke kapal Fu Yuan Yu 059, sementara E dan AW tetap berada di kapal Han Rong 368.
Setelah menerima info kematian tersebut, ujar Joedha, Kemlu berserta perwakilan di Colombo, Singapura, Beijing dan Guangzhou telah menyampaikan ke pemilik kapal dan pihak terkat lainnya agar mengupayakan pemulangan jenazah ke Indonesia.
Namun, Kemlu kemudian mendapatkan informasi bahwa kapten kapal melarung jenazah pada bulan Juli di Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan, kata Judha.
“Kami sangat memprihatinkan soal pelarungan tersebut meskipun praktek pelarungan dimungkinkan dalam dunia kemaritiman namun itu merupakan pilihan terakhir setelah upaya pemulangan jenazah sudah tidak dimungkinkan lagi,” ujarnya.
Kemlu juga telah memanggil pihak agensi yang memberangkatkan keempat nelayan tersebut untuk memastikan pemenuhan hak ketenagakerjaan kepada pihak keluarga seperti gaji, hak deposit, asuransi dan santunan kematian.
“Kami juga telah menyampaikan kabar duka ini kepada pihak keluarga dan kami juga sudah melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri untuk memastikan penegakan hukum kepada pihak yang bertanggung jawab,” kata dia.
Panggil Dubes Cina
Joedha mengatakan Kemlu telah memanggil Duta Besar Cina di Jakarta pada hari Selasa untuk sampaikan keprihatinan dan meminta proses penyelidikan dilakukan secara menyeluruh termasuk penyebab kematian.
Pejabat Kedutaan Besar Cina di Jakarta tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Menlu Cina Wang Yi menyatakan keseriusannya atas permintaan Indonesia untuk bisa segera melakukan penegakan hukum dan menginvestigasi kasus ini dengan transparan, demikian Direktur Asia Timur Pasifik, Santo Darmosumarto.
“(Wang Yi) setuju kalau kasus ini harus diberikan perhatian khusus pemerintah Cina untuk menginvestigasi penyelidikan sesuai permintaan Indonesia,” ujar Santo kepada wartawan.
Ia mengatakan hingga saat ini, pihak Cina belum menetapkan tersangka dalam kasus tewasnya pelaut Indonesia.
“Di sana masih investigasi kementerian terkait, baru sebatas level itu dan belum menetapkan hal tersebut sebagai tindakan kriminal hanya masih melaporkan saja,” kata Santo.
Moratorium
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan mengatakan pihaknya belum menerima laporan terkait insiden kematian empat pekerja di dua kapal Cina ini.
“Belum, tidak ada yang mengadu ke Fisher Center,” kata Abdi, merujuk pada layanan pengaduan 24 jam yang dibuat lembaga nonprofit tersebut untuk seluruh pekerja di laut.
Dalam advokasinya, DFW Indonesia mendirikan dua pusat pengaduan dan keluhan awak kapal perikanan yang berada di Tegal, Jawa Tengah, dan Bitung, Sulawesi Utara.
Belakangan, Fisher Centre menjadi wadah pertama pelaporan dugaan eksploitasi pekerja Indonesia di kapal Cina. Insiden terakhir yang dilaporkan ke Fisher Centre adalah seorang awak kapal Indonesia yang meninggal dunia karena mengalami kekerasan fisik di kapal Lu Huang Yuan Yu 118.
Dari laporan pengaduan tersebut, DFW mencatat sebanyak 11 pelaut Indonesia wafat dan dua lainnya hilang di kapal ikan berbendera Cina dalam tujuh bulan terakhir.
Dalam penulusuran kasus dan aduan, kasus yang menimpa pekerja kapal dari Indonesia umumnya terjadi karena adanya kerja paksa, perdagangan dan penyelundupan orang.
“Kasus yang paling banyak kami terima di antaranya pemotongan gaji sampai penipuan. Kalau kasus meninggal, kebanyakan karena kekerasan fisik, intimidasi, kondisi kerja dan kehidupan yang kejam di atas kapal,” katanya.
Abdi mendesak pemerintah menghentikan sementara pengiriman anak buah kapal (ABK), khususnya yang bekerja di perairan internasional.
“Sebab jika tidak dihentikan maka tidak ada jaminan praktik kekerasan dan perbudakan akan berhenti. Sejauh ini tidak ada perkembangan signifikan atas upaya pemerintah berunding dengan Cina sebagai negara tujuan kerja ABK,” ujar dia.
“Pemerintah perlu memperkuat upaya pencegahan agar ABK yang berangkat lebih selektif dan prosedural. Pengawasan pada manning agent perekrut mesti ditingkatkan agar mereka yang diberangkatkan punya mitra dengan manajemen yang profesional dan kapal yang memenuhi syarat,” ujar dia.
Saat ini masih ada puluhan orang pelaut Indonesia yang terjebak dan bekerja di kapal Cina sedang melakukan operasi penangkapan ikan di laut internasional, ujarnya.
Ronna Nirmala di Jakarta turut berkontribusi dalam artikel ini.