Antisipasi pandemi, Indonesia dan 4 negara G20 akan bangun pusat vaksin

Kementerian Kesehatan konfirmasi kasus cacar monyet pertama di Tanah Air.
Tria Dianti
2022.08.22
Jakarta
Antisipasi pandemi, Indonesia dan 4 negara G20 akan bangun pusat vaksin Seorang petugas kesehatan menunjukkan botol vaksin Sinovac COVID-19 yang diproduksi oleh perusahaan farmasi Indonesia Biofarma saat vaksinasi massal di Jakarta, 21 Juni 2021.
[Dita Alangkara/AP Photo]

Indonesia dan empat negara berkembang G20 - Argentina, Brazil, India dan Afrika Selatan - pada Senin (22/8) sepakat untuk membangun pusat manufaktur vaksin, terapi dan diagnostik untuk menghadapi ancaman pandemi di masa depan, kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan mengonfirmasi kasus cacar monyet pertama di Indonesia, pada pria 27 tahun yang kembali dari luar negeri.

Budi mengatakan rencana pembangunan pusat vaksin ini akan melibatkan seluruh anggota G20 dan organisasi internasional termasuk WHO.

“Nantinya akan berfokus pada pembangunan penelitian dan kapasitas produksi di negara-negara anggota G20 berpenghasilan menengah ke bawah serta memperkuat jaringan ilmuwan tingkat global,” ujar Budi dalam acara pertemuan kelompok kerja kesehatan G20 di Bali yang disiarkan virtual.

“Pengetahuan tentang upaya mitigasi perlu dikembangkan terlebih dahulu, dan kemudian dibagikan dengan cepat dan luas di antara para ilmuwan di seluruh dunia,” katanya, namun ia tidak menjelaskan di mana lokasi pusat produksi akan dibangun dan berapa jumlah investasi rencana tersebut.

Menurut Budi, kesenjangan dalam kapasitas setiap negara G20 dalam menghadapi pandemi dapat memperlambat kesiapsiagaan dan respons terhadap COVID-19.

Banyak platform teknologi pembuatan vaksin telah dikembangkan, namun sebagian besar vaksin mRNA telah dikembangkan dan diproduksi oleh perusahaan farmasi di negara berpenghasilan tinggi, ujar Budi.

"Untuk bersiap menghadapi pandemi berikutnya dan ancaman kesehatan global, setiap negara harus memiliki akses dan kapasitas untuk mengembangkan vaksin, terapi, dan diagnostik terlepas dari status ekonomi dan geografisnya," ujar Budi.

Budi berharap akan ada transfer teknologi di antara negara G20 dalam meningkatkan akses global dan kapasitas produksi, seperti dalam produksi Molnupiravir – antivirus COVID-19 oral di negara berpenghasilan menengah ke bawah yang diaktifkan oleh The Medicines Patent Pool Facility, organisasi kesehatan masyarakat yang didukung PBB yang bekerja untuk meningkatkan akses ke fasilitas dan obat-obatan bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

“Model seperti itu penting untuk memungkinkan transfer teknologi untuk kesiapsiagaan pandemi," katanya.

Hingga saat ini setidaknya 203 juta dari keseluruhan 270 juta penduduk Indonesia telah mendapatkan satu kali vaksinasi dan setidaknya 170 juta mendapatkan dua kali suntikan serta 59 juta sudah mendapatkan booster kesatu.

Sejumlah tenaga kesehatan telah mendapatkan booster ke-2 atau suntikan vaksinasi keempat.

Sebelumnya, WHO berencana untuk mendirikan pusat pelatihan untuk melatih negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk memproduksi vaksin mRNA. Hal ini bertujuan untuk menghapus kesenjangan lokasi produksi yang selama ini terpusat di negara-negara berpendapatan tinggi.

Menteri BUMN, Erick Thohir, kala itu menyatakan PT Bio Farma menjadi perusahaan Indonesia yang akan memproduksi vaksin mRNA.

Erick menyebut perusahaan plat merah farmasi itu telah lama dikenal sebagai manufaktur vaksin terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas produksi mencapai 3,2 miliar meliputi 14 jenis vaksin yang sudah diekspor ke lebih dari 150 negara.

Diragukan keberhasilannya

Menanggapi rencana pembangunan pusat manufaktur vaksin itu, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan meskipun menilainya sebagai ide yang bagus dan relevan dengan tantangan masa depan, ia meragukan keberhasilannya dengan alasan ide-ide itu sifatnya tidak melekat pada institusi yang mengikat banyak negara.

Padahal, ujar dia, tantangan dunia ini tidak bisa dihadapi hanya lima negara saja tapi oleh seluruh negara dan menggunakan sumber daya bersama.

“Ide seperti ini harus melibatkan CEPI karena kita kalau buat baru, belum tentu ada jaminan juga bisa sustain, bisa berhasil dan tercapai karena perlu kolaborasi banyak dan tantangan besar serta butuh dana besar,” ujarnya merujuk pada Coalition for Epidemic Preparedness Innovations, sebuah koalisi yang terdiri dari pemerintah, swasta dan organisasi masyarakat sipil yang mengupayakan akses adil terhadap vaksin bagi semua orang.

Sejauh ini, ujar Dicky, koalisi yang berbasis di Oslo, Norwegia itu telah mendanai pengembangan beberapa produsen vaksin di dunia seperti Moderna Inc, Novavax Inc, Universitas Oxford dan konsorsium yang dipimpin Institut Pasteur.

Ia menilai, masalah paling besar dalam riset adalah dana dan sumber daya karena banyak penyakit mewabah di negara miskin yang kebanyakan tidak memiliki dana untuk riset. Diperkirakan, katanya, dana untuk riset penyakit menular sampai tahap uji klinis setidaknya butuh US$3 miliar.

“Itu sangat banyak, kalau pusat produksi vaksin hanya diadakan negara G20 itu tidak akan mampu. Riset vaksin itu butuh minimal 10 tahun untuk satu vaksin,” kata dia.

“Hak paten juga akan jadi masalah, kalau mau dipakai, harus izin dan banyak dimiliki oleh private company di negara maju yang mereka memonopoli pastinya karena mereka merasa sudah investasi riset besar,” kata dia.

Satu kasus cacar monyet

Pemerintah pada Sabtu sore (20/8) mengonfirmasi adanya satu kasus cacar monyet yang diderita oleh pria, 27 tahun yang baru kembali dari salah satu negara pengidap cacar monyet, demikian disampaikan Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril.

Pria tersebut dinyatakan positif pada Jumat malam setelah melakukan tes PCR di salah satu rumah sakit di Jakarta.

“Pasien dalam keadaan baik dan hanya menunjukkan gejala ringan, saat ini hanya isolasi diri di rumah,” ujar Syahril.

Pihaknya mengaku telah menindaklanjuti kasus ini dengan pelacakan kontak erat dan melakukan pemeriksaan. Saat ini, ujarnya, pemerintah sedang mendatangkan sekitar 10.000 vaksin untuk cacar monyet.

“Kami telah menindaklanjuti dengan pelacakan kontak dekat dan akan memeriksa mereka, sejauh ini kami telah menguji 22 kasus yang dicurigai dari seluruh Indonesia, yang semuanya negatif,” katanya,

Kementerian Kesehatan mendorong masyarakat untuk tetap tenang dan meyakinkan masyarakat bahwa cacar monyet dapat diobati.

Budi Gunadi Sadikin menyebut bahwa sebagian besar orang kelahiran 1980 dan sebelumnya telah memiliki antibodi untuk melawan virus cacar monyet, sebab mereka telah mendapat vaksinasi cacar air yang berlaku seumur hidup, demikian kata Menteri Kesehatan di sela-sela pertemuan G20 hari ini.

Singapura sebelumnya telah melaporkan kasus cacar monyet pertamanya bulan lalu dan telah mengonfirmasi 15 kasus pada 5 Agustus lalu. Filipina dan Thailand juga telah menyebutkan ditemukannya kasus tersebut di negara mereka.

Dicky menambahkan, potensi cacar monyet untuk bisa mewabah ada, namun tidak akan sebesar penularan COVID-19 karena virus ini tidak mudah menular.

“Wabah lebih mudah dikendalikan karena ada dua vaksin yang telah terbukti efektif melawan cacar monyet,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.