Indonesia dituduh hambat upaya Pasifik untuk misi HAM PBB ke Papua
2024.06.27
Brisbane, Australia, dan Jayapura
Sebuah kunjungan mendadak ke Papua oleh Direktur Jenderal Melanesian Spearhead Group (MSG), Leonard Louma, telah menuai kritik karena dianggap melemahkan upaya untuk misi hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa ke wilayah paling timur Indonesia itu.
Kunjungan Louma, diplomat veteran Papua Nugini, dilakukan hanya beberapa hari setelah bentrokan terbaru antara aparat keamanan dan gerilyawan Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang menewaskan empat orang dan mengakibatkan ratusan warga sipil mengungsi di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah. Louma belum merespon pertanyaan BenarNews tentang kunjungannya ke Papua awal bulan ini.
Indonesia telah memanfaatkan kunjungan Louma untuk memberikan kesan positif atas Papua. Kantor berita Antara mengatakan Louma telah menyatakan Papua dalam kondisi "stabil dan kondusif".
Sebuah laporan Komite Hak Asasi Manusia PBB yang sangat kritis tentang Indonesia yang dirilis pada bulan Mei menyoroti "laporan sistematis tentang penggunaan penyiksaan" dan "pembunuhan di luar hukum serta penghilangan paksa orang asli Papua."
Kunjungan yang disponsori Indonesia tersebut adalah "upaya lain untuk mengecilkan seruan global, termasuk dari MSG, untuk mengizinkan Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengunjungi dan menilai kondisi hak asasi manusia di Papua," kata Hipo Wangge, seorang peneliti kebijakan luar negeri Indonesia di Australian National University.
"Ini juga merupakan upaya lain untuk menetralkan keprihatinan regional atas diskriminasi yang mengakar terhadap orang Papua," katanya kepada BenarNews.
Selama beberapa tahun, Indonesia telah menolak permintaan dari Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk melakukan misi pencarian fakta independen di Papua.
Pacific Islands Forum (Forum Kepulauan Pasifik), sebuah organisasi regional yang terdiri dari 18 negara, telah meminta Indonesia sejak 2019 untuk mengizinkan misi tersebut dilanjutkan. Melanesian Spearhead Group (MSG) - yang anggotanya adalah Fiji, Vanuatu, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan gerakan kemerdekaan Kanak di Kaledonia Baru - telah mengajukan permohonan serupa.
Tidak jelas apakah komentar yang dikaitkan dengan Louma oleh Antara dan pernyataan pemerintah Indonesia adalah kata-katanya sendiri. Artikel Antara, yang diterbitkan pada 19 Juni dalam bahasa Inggris dan Indonesia, kurang lebih identik dengan pernyataan yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Pemberontakan telah berlangsung di Papua sejak awal 1960-an ketika pasukan Indonesia menyerbu wilayah tersebut, yang tetap berada di bawah pemerintahan Belanda yang terpisah setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia dari Belanda pada tahun 1945.
Indonesia berpendapat bahwa penggabungan wilayah yang kaya mineral itu sah menurut hukum internasional, karena merupakan bagian dari kerajaan Hindia Belanda yang menjadi dasar perbatasan modern Indonesia.
Orang Papua, yang berbeda secara budaya dan etnis dari sebagian besar wilayah Indonesia lainnya, mengatakan bahwa mereka tidak diberi hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri dan sekarang terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Kedaulatan Indonesia atas Papua diresmikan pada tahun 1969 dengan referendum yang diawasi PBB di mana hanya sedikit lebih dari 1.000 orang Papua diizinkan untuk memilih.
Pernyataan pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa Louma, penasihat eksekutifnya Christopher Nisbert, dan rombongan mereka tiba pada 17 Juni di perbatasan Skouw-Wutung setelah melakukan perjalanan darat dari Port Moresby di Papua Nugini. Mereka disambut oleh seorang diplomat Indonesia dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Jayapura didampingi oleh pejabat Indonesia.
Pada 19 Juni, mereka berpartisipasi dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia yang konon bertujuan untuk membahas masalah keamanan di Melanesia.
Yones Douw, seorang aktivis hak asasi manusia Papua di Paniai, mengatakan bahwa kunjungan yang dilakukan dengan benar oleh Melanesian Spearhead Group seharusnya diumumkan secara luas kepada publik dan melibatkan pertemuan dengan gereja, pemimpin adat, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil, termasuk gerakan kemerdekaan.
"Kunjungan ini seperti pencuri, dilakukan secara diam-diam. Saya menduga bahwa komentar yang disampaikan kepada media massa adalah bahasa pemerintah Indonesia, bukan atas nama MSG," katanya kepada BenarNews.
"Cara ini dapat merusak kebersamaan atau persatuan orang Melanesia," katanya.
United Liberation Movement for West Papua (Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP), sebuah organisasi payung gerakan kemerdekaan, mengatakan seharusnya mereka diberitahu tentang kunjungan tersebut karena memiliki status pengamat di Melanesian Spearhead Group. Indonesia adalah anggota asosiasi.
"Kami tidak diberitahu oleh Sekretariat MSG. Ini adalah kunjungan rahasia yang diprakarsai oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia," kata Markus Haluk, sekretaris eksekutif ULMWP. "Kami akan mengajukan protes," katanya, kepada ketua MSG - Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai.
Selama beberapa tahun, Indonesia telah meningkatkan upaya untuk menetralisir dukungan Pasifik bagi gerakan kemerdekaan Papua, terutama di antara negara-negara Melanesia yang memiliki hubungan etnis dan budaya dengan orang Papua.
Indonesia telah berhasil menihilkan kritik langsung dari pemerintah negara-negara kepulauan Pasifik - banyak di antaranya menggunakan Majelis Umum PBB sebagai forum untuk menyuarakan keprihatinan mereka tentang pelanggaran hak asasi manusia - tetapi dukungan akar rumput untuk penentuan nasib sendiri Papua tetap kuat.
Wangge, peneliti ANU, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sangat aktif dengan negara-negara Melanesia sejak Louma menjadi direktur jenderal sekretariat MSG pada tahun 2022.
Pada saat yang sama, Indonesia telah menghindari penanganan laporan yang sedang berlangsung tentang pelanggaran di Papua, katanya, dan militerisasi wilayah tersebut.
Militer Indonesia mengeluarkan permintaan maaf yang jarang terjadi kepada warga Papua pada bulan Maret setelah muncul video tentara berulang kali menyayat seorang penduduk asli dengan bayonet sementara dia dipaksa berdiri di drum berisi air.
Indonesia juga telah memfasilitasi pertemuan keamanan wilayah Pasifik, membentuk Forum Pembangunan Indonesia-Pasifik, memberikan pelatihan perikanan dan pelatihan diplomasi untuk diplomat muda dari negara-negara Melanesia dan sekretariat MSG.
Tidak ada hasil yang terlihat, kata Wangge, dari penunjukan Perdana Menteri Fiji Sitiveni Rabuka dan Perdana Menteri Papua Nugini James Marape sebagai utusan khusus untuk Indonesia di Papua oleh MSG tahun lalu.
Kedua pemimpin bertemu dengan Presiden Joko “Jokowi“ Widodo pada KTT global di San Francisco pada bulan November. Setelah pertemuan tersebut, tidak ada agenda untuk memfasilitasi dialog mengenai Papua, katanya.
Marape dijadwalkan berada di Indonesia pada pertengahan Juli untuk kunjungan kenegaraan resmi.
"Satu hal yang jelas: pemerintah Indonesia akan mengulur waktu dengan memulai lebih banyak upaya palsu untuk menutupi masalah mendesak di Papua," kata Wangge.