Indonesia – Korsel Tinjau Kembali Kesepakatan Kerja Sama Pesawat Tempur
2018.10.22
Jakarta

Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) meninjau kembali kesepakatan kerja sama pembuatan pesawat tempur bersama menyusul permintaan Indonesia untuk negosiasi ulang disebabkan karena penurunan tajam nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
"Ini bagian pemerintah menghemat devisa. Kan semua setoran pemerintah di program kerja sama pesawat tempur ini dibayarkan devisa," kata Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, Senin, 22 Oktober 2018.
"Sementara mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, masih mengalami tekanan luar biasa."
Nilai tukar dolar Amerika terhadap rupiah dalam beberapa hari hari terakhir memang terus meroket hingga mencapai posisi di atas Rp15.000.
Kedua negara meneken kesepakatan kerja sama pembiayaan proyek jet tempur Korean Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/ IF-X) pada Januari 2016.
Dalam kesepakatan saat itu disebutkan bahwa Indonesia akan menanggung 20 persen dari keseluruhan proyek yang bernilai total sekitar USD7,9 miliar (sekitar Rp119,8 triliun), dan sisanya ditanggung pihak Korsel.
Badan pengadaan senjata Korea Selatan (DAPA) hari Senin mengatakan bahwa kerja sama pembuatan pesawat tersebut terus berjalan walaupun pemerintah Indonesia mengusulkan keringanan pembiayaan karena melemahnya Rupiah.
"Tentang biaya kontribusi, kami berencana menggelar negosiasi tambahan," ujar juru bicara DAPA, dikutip dari laman Reuters.
Menteri Koordiantor bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto sebelumnya juga telah menggaransi negosiasi ulang tersebut tidak akan menghentikan atau membatalkan kerja sama yang telah disepakati kedua negara.
"Hanya negosiasi ulang agar bagaimana posisi Indonesia menjadi lebih ringan untuk masalah yang menyangkut pembiayaan," tambah Wiranto, yang ditunjuk sebagai kepala tim khusus renegosiasi.
"Belum final karena butuh setahun. Tapi mudah-mudahan tidak sampai setahun diselesaikan."
‘Tidak paksakan diri’
Pengamat militer Universitas Padjadjaran, Muradi, berharap pemerintah tak terlalu memaksakan diri terkait kerja sama yang awalnya digagas mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Desember 2006 itu.
Ia menyarankan pemerintah meninjau ulang tawaran kerja sama pesawat tempur yang pernah diajukan oleh negara lain, yang lebih murah dari Korea Selatan.
"Korea memang teknologi pesawatnya lebih maju," kata Muradi kepada BeritaBenar.
"Tapi kalau sampai akhir tahun memang belum juga dimulai (proyek kerja sama), saya rasa kita perlu dipertimbangkan Swedia dan Brasil."
Pernyataan serupa juga disuarakan pengamat militer Universitas Pertahanan, Anton Ali Abbas, yang meminta pemerintah realistis dan membatalkan kerja sama.
Menurutnya, kerja sama tersebut tidak akan menjawab kebutuhan TNI Angkatan Udara, lantaran pesawat tempur yang dibuat masih berbentuk prototipe.
"Belum terbukti kualitasnya," kata Anton, di laman Tempo.co.
Saat kerja sama tersebut digagas SBY, kedua negara bersepakat mengembangkan enam purwarupa alias protipe pesawat tempur semi-siluman generasi 4.5. Dari enam prototipe, satu di antaranya kemudian akan diserahkan kepada Indonesia.
Penundaan lain
Penundaan kebijakan pemerintah dengan alasan menjaga stabilitas rupiah bukan yang pertama.
Pada September lalu, pemerintah juga memutuskan untuk menunda sejumlah proyek infrastruktur yang mengandung bahan baku impor untuk menjaga nilai tukar mata uang.
Keputusan itu disampaikan langsung Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution. Hanya saja, Darmin enggan memerinci proyek-proyek yang ditangguhkan.
"Saya enggak mau jawab, tapi list-nya agak banyak," terang Darmin ketika itu.
Sejak menjabat presiden pada 2014, Jokowi memang mengutarakan bahwa fokusnya ialah menggenjot pembangunan infrastruktur sebagai siasat menggenjot perekonomian negara.
Janji itu pun ditunjukkan Jokowi dengan menaikkan porsi anggaran bidang infrastruktur di APBN, dari yang semula 9,45 persen menjadi 14,64 persen. Dan terus naik pada 2018, hingga mencapai 18,46 persen.