Menteri Mahfud MD Sebut Tidak Ada Dasar Hukum Menjerat LGBT
2022.05.11
Jakarta
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD menyatakan Indonesia tidak berwenang melarang konten media sosial yang membahas isu lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) menyusul polemik di masyarakat terkait tayangan wawancara pasangan sejenis dalam program siniar yang dikelola selebriti Deddy Corbuzier.
“Indonesia hingga kini belum memiliki landasan hukum untuk menjerat LGBT,” ujarnya kepada jurnalis, Rabu (11/5).
Ia mengatakan bahwa berdasar asas legalitas, orang hanya bisa diberi sanksi hukum jika sudah ada hukumnya.
"Mau dijerat dengan UU nomor berapa Deddy (Corbuzier) dan pelaku LGBT? Nilai-nilai Pancasila itu belum semua menjadi hukum. Demokrasi harus diatur dengan hukum (nomokrasi)," kata Mahfud lewat akun twitter-nya @mohmahfudmd pada Rabu.
Ia mengatakan bahwa masyarakat yang tidak suka tayangan tersebut bisa mengkritik tapi tetap negara tidak berhak melarang tayangan itu.
"Ini negara demokrasi. Negara tak berwenang melarang Dedy Corbuzier menampilkan LGBT di podcast miliknya," kata Mahfud.
Sejauh ini, kata Mahfud, pelarangan hubungan sejenis di Indonesia hanya mengatur antara orang dewasa dan anak di bawah umur, yang dikategorikan sebagai "perbuatan cabul" – yang menurut KUHP Pasal 292, tindakan tersebut diancam hukuman maksimal lima tahun penjara.
Setelah mendapat kecaman beragam pihak di ranah maya, Deddy belakangan meminta maaf dan menghapus konten wawancara video-podcastnya dengan Ragil Mahardika seorang laki-laki Indonesia dengan kekasih sejenisnya asal Jerman yang berjudul “Tutorial Jadi Gay di Indo! Pindah ke Jerman Ragil dan Fred.”
Video yang ditayangkan pada 7 Mei 2022 di kanal YouTube Deddy Corbuzier itu sempat ditonton lebih dari 5,4 juta kali sebelum akhirnya dihapus sendiri oleh Deddy pada Selasa.
Menkominfo: pertimbangkan aspek sosial
Berbeda dengan Mahfud, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate meminta para kreator konten digital untuk mempertimbangkan aspek sosial di Indonesia dalam membuat konten untuk konsumsi publik.
Menteri Johnny menambahkan bahwa Indonesia memiliki nilai kultural dan religius yang harus dipertimbangkan para kreator digital sebelum mengunggahnya ke ruang publik.
"Jangan sampai teledor dan membuat lupa diri. Perhatikan perundang-undangan, terutama terkait nilai kultural dan religius,” ujar Johnny kepada wartawan di Jakarta.
Sasaran diskriminasi
Selain di Aceh yang merupakan satu-satunya provinsi yang menerapkan hukum Syariah dan secara formal mengkriminalisasi prilaku LGBT, keberadaan kaum gay, lesbian dan transgender di daerah lain di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang melanggar hukum.
Namun demikian kaum marginal ini terus terpinggirkan dalam kehidupan sosial dimana mereka bahkan kerap menjadi sasaran kekerasan yang dipicu oleh pernyataan yang menyudutkan keberadaan mereka yang didengungkan oleh pemimpin keagamaan, pejabat pemerintah, atau pun akademisi.
Selain penggerebekan yang dilakukan oleh masyarakat atau aparat, sejumlah kelompok bahkan getol mengupayakan agar prilaku seksual LGBT bisa dikenai hukuman formal di Tanah Air.
Pada 2017, misalnya, seorang guru besar dari Institut Pertanian Bogor, Euis Sunarti, dan beberapa akademisi yang tergabung dalam kelompok yang menamakan dirinya Aliansi Cinta Keluarga (AILA) mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperluas definisi zina pada undang-undang agar bisa menjerat pelaku hubungan di luar nikah dan sesama jenis.
Permohonan itu kemudian ditolak MK dengan alasan penambahan atau perubahan pada aturan adalah kewenangan Dewan Perwakilan rakyat (DPR).
Sementara di DPR, desakan agar pasal menjerat LGBT dicantumkan pada revisi KUHP sehingga kelompok itu dapat dipidana terus disuarakan sejumlah pihak, terutama partai-partai Islam.
Pada 2018, sejumlah pemerintah daerah di Jawa Barat dan Bangka Belitung mengimbau ulama-ulama di wilayah tersebut untuk berkhotbah mengenai bahaya LGBT.
Pemerintah Kota Depok pada 2020 juga sempat menyuarakan razia kepada LGBT di wilayahnya.
Pemerintah Kota Bogor menetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku “Penyimpangan” Seksual yang salah satunya menyasar kaum LGBT, pada Desember 2021.
Kementerian Kesehatan pada 1993 telah mengadopsi ketentuan World Health Organization (WHO) yang menyatakan bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identifikasi gender bukan merupakan penyakit kejiwaan maupun cacat mental.
Merujuk hasil tilik PEW Research yang berbasis di Amerika Serikat pada Juni 2020, hanya 9 persen masyarakat Indonesia yang bisa menerima LGBT di sekitar mereka, dari sebelumnya 3 persen pada 2013.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas kepada BenarNews menyesalkan konten Deddy Corbuzier yang dinilainya turut mempromosikan LGBT di Indonesia.
"Kenapa harus ada konten yang bisa berdampak negatif terhadap moralitas dan perkembangan jiwa anak bangsa... LGBT juga tidak sesuai dengan nilai-nilai agama," ujar Anwar.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Jazuli Juwaini menilai bahwa Deddy Corbuzier sebagai pesohor yang berpengaruh mestinya tidak memberi ruang bagi LGBT untuk mengekspresikan diri mereka.
"Hentikan memberi ruang LGBT di negara, apalagi sampai diungkap di ruang publik, didengar, dan dilihat masyarakat luas terutama genesi muda," ujar Jazuli.
Aktivis: Tidak heran
Aktivis LGBT Dede Oetomoyang tak heran dengan respons masyarakat atas konten siniar Deddy Corbuzier, seraya menyambut baik polemik ini karena bakal membuat masyarakat kian mengenal LGBT.
"Sebagai aktivis saya enggak heran dengan reaksi masyarakat... Saya justru melihat positifnya bahwa dengan konten kemarin, orang-orang mencari tahu tentang LGBT,' ujar Dede kepada BenarNews.
"Jika ada anak SMP menonton konten kemarin, ia menjadi sadar, 'Oh, ternyata saya bgitu juga'."
Merujuk data LBH Masyarakat, pada 2017 terdapat 973 kasus kekerasan terhadap LGBT di seluruh Indonesia.