Studi: Hubungan Indonesia, Malaysia, dengan Ekstrimis Filipina, Ancam Kawasan
2016.10.25
Washington
Penegak hukum di Asia Tenggara tidak siap untuk menghadapi kemungkinan berkembangnya risiko bersatunya para pejuang Malaysia dan Filipina yang mendeklarasikan kesetiaan terhadap pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Filipina yang telah disahkan, demikian kajian sebuah laporan yang dirilis Selasa, 25 Oktober 2016.
Sebuah lembaga think-tank di Jakarta, Lembaga Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) mengatakan sementara ISIS telah mampu memperdalam kerjasama antara kelompok-kelompok ekstremis di Asia Tenggara, sebagian besar penegak hukum mempertahankan orientasi nasional mereka dan kurang keahlian internal mengenai kelompok-kelompok di luar perbatasan negara mereka.
"Ketika penilaian akurat terhadap ancaman keamanan di Indonesia atau Malaysia mungkin tergantung sebagian pada pemahaman perkembangan di Filipina, kesenjangan ini harus diisi. Hal ini terutama penting karena dalam jangka pendek, kekalahan ISIS di Timur Tengah bisa menjadi pendorong meningkatnya kekerasan di dalam negeri," demikian laporan setebal 28 halaman tersebut yang berjudul "Pro Kelompok ISIS di Mindanao (Filipina) dan Kaitannya dengan Indonesia dan Malaysia."
Sebagai contoh, IPAC merujuk ke sebuah video YouTube yang dirilis empat bulan lalu oleh warga Malaysia Mohd Rafi Udin dan Mohd Karim Yusop Faiz dari Indonesia yang menyatakan sumpah setia mereka kepada pemimpin Abu Sayyaf Group (ASG), Isnilon Hapilon, yang telah disahkan oleh ISIS sebagai amir (pimpinan) Asia Tenggara.
Ketika video tersebut disebarkan Juni lalu, direktur IPAC Sidney Jones mengatakan video tersebut adalah langkah awal pendeklarasian provinsi ISIS di Asia Tenggara. Deklarasi tersebut belum terjadi pada Selasa.
IPAC mengatakan tidak jelas kenapa Isnilon dipilih sebagai amir karena dia “tidak paham berbahasa Arab atau Inggris dan pengetahuan agamanya terbatas".
Disebutkan ia mungkin terpilih karena hubungannya dengan para jihadis asing, komunikasinya dengan anggota ISIS Asia Tenggara di Suriah, kekuasaannya yang diterima di wilayah tersebut, dan keinginannya untuk memegang peran itu.
Sementara itu, laporan tersebut menunjukkan kemungkinan konsekuensi jika para penegak hukum tidak meningkatkan pengetahuan mereka tentang kelompok-kelompok militan.
"Ini telah memfasilitasi kerjasama lintas suku dan etnis, memperluas perekrutan ekstremis dengan menyertakan para mahasiswa ahli komputer dan membuka komunikasi internasional baru serta kemungkinan saluran-saluran pendanaan," kata laporan tersebut.
"Ini berarti bahwa kekerasan yang lebih mematikan di Filipina yang melibatkan aliansi kelompok-kelompok pro-ISIS adalah masalah waktu, bukan apakah akan terjadi atau tidak. Hal ini juga meningkatkan kemungkinan operasi-operasi ekstrimis lintas-perbatasan,” klaim laporan tersebut.
“Kartu liar”
Wilayah Filipina selatan, di mana Abu Sayyaf dan kelompok militan lainnya aktif dan telah melakukan penculikan terhadap orang asing dan awak kapal, terletak di antara perairan laut Sulu dan laut Sulawesi.
IPAC mengatakan ASG memegang “kartu liar Malaysia”, menunjuk Basilan di Filipina yang menjadi basis kelompok militan tersebut, memiliki hubungan dekat dengan kota Sandakan di Sabah, Malaysia.
“Koneksi dengan Malaysia ini telah menjadi sumber personil dan pendanaan selama bertahun-tahun,” demikian pernyataan laporan tersebut.
"Lebih menarik, dan lebih berbahaya karena warga Malaysia yang memiliki hubungan dengan kelompok ASG Basilan dari semenanjung Malaysia ini lebih berpendidikan dan lebih ideologis."
Laporan tersebut menyebut tiga nama, Mahmud Ahmad, mantan dosen Kajian Islam di Universitas Malaya; Muhammad Joraimee Awang Raimee, alias Abu Nur; dan Mohd. Najib bin Husein, alias Abu Anas al-Muhajir, yang tewas pada bulan Desember 2015. Ketiganya dalam kelompok berangkat ke Mindanao pada bulan April 2014.
“Warga Malaysia, seperti juga warga asing lainnya, memiliki keuntungan tidak terikat dengan hubungan keluarga di Filipina, dan mereka dapat dengan mudah berpindah di antara kelompok yang berbeda. Mereka mempunyai keahlian, kontak internasional dan mungkin dana," kata laporan itu.
Laporan IPAC tersebut juga menyebutkan seorang instruktur pembuat bom asal Indonesia, Ibrahim Ali Sucipto, yang tewas dalam pertempuran antara kelompok ASG dengan tentara Filipina pada 26 November 2015, yang sebelumnya sempat menjadi pembantu kunci pemipin Ansarul Khilafah Filipina.
IPAC menggambarkan Sucipto sebagai saluran untuk pendanaan ke Indonesia, sumber senjata bagi kelompok militan Indonesia Mujahidin Timur (MIT) yang saat itu dipimpin oleh Santoso, dan merupakan saluran langsung ke Katibah Nusantara, unit tempur pejuang ISIS berbahasa Melayu di Suriah.
"ISIS telah membawa pembenaran ideologis untuk kesatuan yang telah berubah menjadi kolaborasi operasional" demikian kesimpulan laporan itu.
"Bahkan ketika kekuatan ISIS berkurang, adalah menjadi lebih penting daripada sebelumnya untuk memahami para pengikut dan pertumbuhannya di Asia Tenggara serta bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain."