Indonesia, Malaysia Teken Perjanjian Pekerja Migran
2022.04.01
Jakarta

Indonesia dan Malaysia pada Jumat (1/4) menandatangani perjanjian untuk memberikan perlindungan lebih besar terhadap pekerja migran Indonesia di Malaysia, menyusul kasus kekerasan terhadap para asisten rumah tangga oleh majikan mereka dalam beberapa tahun belakangan.
Nota kesepahaman tersebut, yang teks lengkapnya belum dirilis, merupakan pengganti perjanjian sebelumnya yang habis masa berlaku pada 2016 dan memuat poin antara lain mengatur sistem satu pintu untuk pendataan terpadu dan gaji minimum.
Penandatanganan perjanjian dilakukan oleh Menteri Ketenagakerjaan Indonesia Ida Fauziyah dan Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia Saravanan Murugan yang disaksikan langsung oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob di Jakarta.
“Kita menyaksikan bersama tanda tangan MoU (Memorandum of Understanding) mengenai penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia di Malaysia,” ujar Jokowi dalam keterangan pers yang ditayangkan virtual.
“Pekerja migran Indonesia sudah berkontribusi banyak bagi pembangunan ekonomi di Malaysia dan sudah sewajarnya mereka mendapatkan hak dan perlindungan dari kedua negara,” kata Jokowi.
“Dengan kehadiran PM Sabri hari ini, saya yakin MoU dapat dilaksanakan dengan baik dan saya ingin MoU ini tidak berhenti di atas kertas saja, melainkan semua pihak harus menjalankan mou ini dengan baik,” kata dia.
Sementara itu, Ismail Sabri menyambut baik ditandatanganinya perjanjian ketenagakerjaan itu.
“Penandatanganan MoU ini merupakan momen besar dan penting karena merupakan komitmen berkelanjutan dari pemerintah Malaysia dan Indonesia untuk memberikan manfaat yang besar dan panjang bagi warga kedua negara,” ujarnya dalam konferensi pers bersama.
“Sebagai negara tetangga, Malaysia menyambut baik para pekerja migran dari Indonesia dan mengapresiasi kontribusi mereka terhadap perekonomian Malaysia dan kehidupan masyarakat Malaysia,” katanya.
Kesepakatan ini, ujar dia, akan memastikan bahwa semua proses perekrutan dan mekanisme perlindungan pekerja akan dilaksanakan sesuai dengan aturan dan undang-undang kedua negara.
Ia mengatakan saat ini Malaysia telah meratifikasi Protokol 29 Organisasi Buruh Internasional (ILO) sebagai komitmen negaranya terhadap pemberantasan kerja paksa.
Langkah yang telah diambil Malaysia untuk melindungi pekerja antara lain menjamin pembayaran gaji tidak lewat hari ketujuh tiap bulannya, memberikan libur satu kali seminggu, dan menyediakan layanan aduan secara daring.
“Saya jamin kita akan ambil tindakan kepada majikan yang melanggar,” kata Ismail Sabri.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri Indonesia, diperkirakan terdapat total 3,1 juta pekerja migran Indonesia di Malaysia. Lebih dari setengahnya, merupakan pekerja ilegal yang tidak memiliki dokumen keimigrasian.
Pekerja Indonesia kerap memasuki Malaysia menggunakan kapal yang kadang berujung kecelakaan di lautan. Kasus terbaru terjadi pada 18 Januari, kala enam orang warga Indonesia yang diduga hendak bekerja di Malaysia, tenggelam di perairan negara tetangganya itu.
Selain itu, pekerja rumah tangga asal Indonesia di Malaysia kerap mendapatkan perlakuan buruk dari majikan, mulai dari jam kerja yang tinggi, pelecehan seksual hingga kekerasan yang berujung kematian.
Dalam insiden baru-baru ini, tenaga kerja perempuan asal Provinsi Nusa Tenggara Timur, Adelina Sau, meninggal di Malaysia pada 2018 setelah mengalami penyiksaan berat oleh majikannya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan kesepakatan kedua negara ini sangat penting mengingat proses negosiasi yang berjalan 6 tahun.
“Dengan MoU ini berharap perlindungan TKI yang bekerja di sektor domestik dapat lebih dimaksimalkan dan dipantau dengan baik dari berangkat, penempatan dan kembali,” ujar dia, “hari ini di sektor domestik, ke depan semoga di sektor lain seperti konstruksi, jasa akan menyusul,” tambahnya.
Pekerja migran seringkali menjadi korban kasus selama penempatan di Malaysia mulai dari kerja lewat waktu, korban pelecehan seksual, kekerasan majikan yang berujung pada kematian, atau tuduhan kriminal yang dituntut hukuman mati.
Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), sepanjang 2021, Malaysia merupakan negara penempatan dengan jumlah pengaduan terbesar dari pekerja migran dengan 403 pengaduan atau sekitar 23,7 persen dari 10 negara penempatan lainnya.
Nota kesepahaman tentang perekrutan TKI dengan Malaysia pertama kali diteken pada 2006 dan diperbarui lima tahun kemudian di 2011. Namun perjanjian tersebut menemui jalan buntu pada 2016 karena kedua negara tidak mencapai kesepakatan.
Hak pekerja
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mendesak naskah final kesepakatan bisa dibuka ke publik untuk memastikan apakah dokumen tersebut telah sesuai dengan yang diatur dalam konsensus ASEAN tentang perlindungan dan hak pekerja migran.
“Apakah dokumen tersebut menjawab desakan masyarakat sipil bahwa MoU tersebut harus menjamin hak pekerja atas dokumen paspor, hak berkomunikasi, hak berorganisasi, hak mendapatkan hari libur, hak atas upah yang sama dan hak mendapatkan akses keadilan yang fair,” ujar dia.
Menurut Wahyu, tertundanya kesepakatan selama 6 tahun berpotensi meningkatkan pelanggaran dan korban perdagangan orang.
“Pekerja bisa mendapatkan hak untuk penyelesaian masalah hukum yang tidak diskriminatif karena banyak majikan-majikan penyiksa TKI masih menikmati impunitas,” ujar dia.
Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran, Savitri Wisnuwardhani merasa senang akhirnya kesepakatan ditandatangani.
“Harapan kami di Jaringan Buruh Migran adalah implementasi MoU harus dipastikan agar para pihak menjalankan ini secara maksimal,” ujarnya kepada BenarNews.
Ia mengatakan keinginan dari para pekerja migran Indonesia adalah mendapatkan gaji setara dengan pekerja migran dari negara lainnya dan mendapatkan hak istirahat yang cukup.
“Gaji pekerja kita hanya 1000-1500 ringgit (Rp3,4 juta – Rp5,1 juta) itupun kadang sering tidak mendapatkan upah sebesar itu, sedangkan gaji pekerja migran Filipina sudah mencapai 4000 ringgit (Rp13,6 juta),” ujarnya, menambahkan bahwa paspor juga harus dipegang oleh pekerja migran langsung dan tidak disimpan oleh agen atau majikan.
“Mereka juga harus mendapat libur!” pungkasnya.
Suganya Lingan di Kuala Lumpur ikut berkontribusi dalam artikel ini.