Indonesia Mempertanyakan Etika Australia Tentang Kasus Penyuapan Penyelundup

Oleh Aditya Surya
2015.06.15
THUMB-150615-ID-OZ-leaders-620.jpg Perdana Menteri Australia Tony Abbott berbicara dengan Presiden Indonesia Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Brisbane, Australia tanggal 15 November 2014.
AFP

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyayangkan tindakan pejabat Australia menyuap penyelundup manusia jika itu benar. Australia mengkritik kebijakan perbatasan Indonesia yang masih lemah.

“Salah bagi seseorang untuk menyuap, dan sudah pasti salah bagi negara, tidak cocok [untuk diterapkan]. Tindakan seperti ini pasti salah dalam konteks hubungan bilateral," kata Kalla di kantor Wakil Presiden tanggal 15 Juni.

"Namanya kan menyogok. Orang saja menyogok salah apalagi negara menyogok, tentu tidak sesuai dengan etika-etika yang benar dalam hubungan bernegara,” lanjut Kalla.

Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir mengatakan bahwa Indonesia telah meminta penjelasan kepada Australia.

"Kami sudah meminta klarifikasi dari Australia mengenai kasus tersebut. Indonesia belum mengambil sikap dalam masalah ini. Kami sedang menunggu tanggapan dari Australia," katanya kepada BeritaBenar tanggal 15 Juni.

"Membayar uang untuk penyelundup manusia adalah bentuk suap,” lanjut Fachir.

Australia mendapat kritikan keras

Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Antonio Guterres mengkritik tindakan pemerintah Australia.

"Kita harus menghentikan penyelundupan dan perdagangan manusia, bukannya malah membayar mereka. Seharusnya kita menjebloskan mereka ke penjara kapan saja jika memungkinkan, atau menuntut mereka ke pengadilan," kata Guterres kepada BBC, tanggal 14 Juni.

"Kita harus melindungi para korban, dan setiap negara punya tanggung jawab melindungi para pengungsi," imbuhnya.

Sebelumnya dilaporkan bahwa Angkatan Laut Australia telah membayar kapten bersama dengan lima anggota kru penyelundup manusia untuk kembali ke perairan Indonesia.

Mereka kemudian mengemudikan kapal berisi 65 pengungsi yang sebelumnya ditangkap di perairan Australia dan mendarat di Pulau Landuti, Rote, Nusa Tenggara Timur tanggal 31 Mei lalu.

Kepala Kepolisian Rote Hidayat mengatakan bahwa tujuan mereka adalah Australia dan Selandia Baru.

Kapal tersebut ditumpangi 54 pengungsi dari Sri Lanka, 10 dari Bangladesh, dan seorang dari Myanmar, Hidayat menjelaskan.

Ia juga mengatakan bahwa kapten kapal dan lima kru tersebut masing-masing telah menerima US $ 5.000 dari seorang petugas angkatan laut Australia untuk kembali ke perairan Indonesia.

Perdana Menteri Australia Tony Abbott tidak menyangkal laporan tentang dugaan pembayaran.

"Apa yang dilakukan pemerintah adalah menghentikan kapal. Kami telah menghentikan kapal, dan kami telah menggunakan berbagai macam langkah-langkah untuk menghentikan perahu," katanya kepada wartawan di Canberra.

"Dan saya tidak pernah akan minta maaf untuk menghentikan perahu karena ini benar-benar diperlukan setelah mantan pemerintah menciptakan bencana di perbatasan kita."

Australia harus merubah kebijakan pencari suaka

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Australia harus merubah kebijakan untuk mengatasi pencari suaka.

“Kebijakan menyuap bertentangan dengan protokol ‘Menentang Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara’ yang diratifikasi oleh pemerintah Australia tahun 2004,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 15 Juni.

“Jika tindakan tersebut terbukti, ini bukan hanya kasus penyuapan tetapi juga korupsi,” katanya lanjut.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno menyesalkan kasus ini.

“Meskipun Indonesia tidak terlibat dalam Konvensi Pengungsi 1951 tetapi komitmen kita untuk kemanusian sudah teruji,” katanya kepada BeritaBenar sambil menambahkan bahwa Australia kemungkinan akan mendapatkan sangsi internasional jika terbukti bersalah.

Australia kembali menyalahkan Indonesia.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Australia Julie Bishop mengkritik kebijakan perbatasan antara negara yang lemah. Kritikan ini dilansir oleh harian The Australian tanggal 15 Juni 2015.

“Cara terbaik bagi Indonesia menyelesaikan masalah terkait kebijakan perbatasan Australia adalah dengan menegakkan hukum di perbatasan Indonesia,” ujar Bishop.

Agus Barnas, juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, mengatakan Indonesia telah menjaga perbatasan dengan menangkap dan mengamankan pencari suaka.

“Jika Indonesia tidak menerapkan kebijakan perbatasan negara dengan seksama, saat ini Australia sudah kebanjiran dengan pengungsi,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.