Indonesia Minta Militer Myanmar Hormati Keinginan Rakyat

Untuk pertama kalinya pasca kudeta, Myanmar bertemu dengan perwakilan asing.
Ronna Nirmala dan Nontarat Phaicharoen
2021.02.24
Jakarta dan Bangkok
Indonesia Minta Militer Myanmar Hormati Keinginan Rakyat Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi (kiri) berbicara dengan Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin (kanan), sementara Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai menyimak dalam pertemuan mereka di Bandara Internasional Don Mueang di Bangkok, 24 Februari 2021.
Kementerian Luar Negeri Indonesia via Reuters

Diperbarui pada Kamis, 25 Februari 2021, 02:00 WIB.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, Rabu (24/2), mendesak pemimpin militer Myanmar untuk mendengar suara rakyat dalam pertemuan pertama antara perwakilan pemimpin junta dan pemerintah asing sejak terjadinya kudeta 1 Februari di Myanmar.

Retno berbicara dengan Menteri Luar Negeri Myanmar U Wunna Maung Lwin di Bangkok, Thailand, dalam pertemuan yang juga dihadiri Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai. Pertemuan tersebut berlangsung di Bandara Internasional Don Mueang Bangkok setelah rencana perjalanan Menlu Retno ke Myanmar ditunda karena masalah keamanan, demikian pernyatan Retno dalam konferensi pers online setelah pertemuan tersebut.

“Saya menyampaikan secara konsisten posisi Indonesia, yaitu, Indonesia concern terhadap perkembangan situasi di Myanmar; keamanan dan kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas nomor satu,” kata Retno dalam konferensi pers, Rabu malam. 

Retno turut meminta pihak militer untuk mendengarkan keinginan dari masyarakat Myanmar. “Indonesia akan bersama rakyat Myanmar.”

Dalam rangka mendukung proses transisi demokrasi yang inklusif, Indonesia menekankan perlunya semua pihak untuk menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan sehingga tercipta kondisi yang kondusif untuk dialog, rekonsiliasi, dan membangun kepercayaan. 

“Dalam pertemuan dengan U Wunna, saya juga sampaikan pentingnya semua negara anggota ASEAN untuk menghormati prinsip-prinsip yang termuat dalam Piagam ASEAN. Pesan ini terus disampaikan secara lantang dan jelas,” katanya, seraya meminta militer Myanmar untuk membuka akses dan kunjungan kemanusiaan kepada para tahanan. 

Retno mengatakan dia juga mengadakan diskusi "intensif" dengan Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw, atau CRPH, parlemen bayangan yang dibentuk oleh anggota parlemen Burma yang dipilih dalam pemungutan suara November 2020 yang diklaim oleh junta sebagai tidak adil dan penuh kecuarangan.

Utusan Myanmar juga bertemu dengan Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-o-cha dalam sesi tertutup pada hari Rabu.

“Kami sebagai teman harus mendengarkan satu sama lain. Namun, [kami] memberi mereka dukungan moral.” kata Prayuth kepada wartawan setelah pertemuan.

“Sebagai negara ASEAN, kita harus mendorong kerja sama dan berharap semua (di Myanmar) menjadi normal,” katanya.

Dialog dengan Thailand

Dalam pertemuan bilateral antara Indonesia dan Thailand di Bangkok, Retno dan Don menyepakati pentingnya meningkatkan kerja sama kawasan dengan sentralitas ASEAN dalam memainkan peran penting untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan, sebut keterangan resmi Kementerian Luar Negeri Thailand.

Thailand juga menyampaikan dukungannya untuk menggelar dialog bersama negara-negara anggota ASEAN lainnya untuk menyelesaikan persoalan Myanmar.

“Mereka sepakat bahwa Myanmar adalah anggota penting dari keluarga ASEAN,” tulis kementerian, “ASEAN dapat menjadi platform untuk dialog konstruktif antara Myanmar dan negara anggota lainnya, sesuai dengan tujuan dan prinsip dalam Piagam ASEAN demi kepentingan rakyat Myanmar.”

Retno mengungkapkan pentingnya kontribusi Thailand terhadap penyelesaian konflik di Myanmar. “Thailand memiliki posisi yang khusus karena berbatasan darat sepanjang 2.400 km dengan Myanmar, dan sekitar 2 juta orang Myanmar tinggal di Thailand,” katanya. 

Perjalanan ke Myanmar 'ditunda'

Indonesia, negara terbesar di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan anggota pendiri blok tersebut, telah melakukan inisiatif diplomatik untuk membuat negara-di kawasan tersebut lebih terlibat dalam menangani kudeta di Myanmar. Pekan lalu, Retno mengunjungi Brunei, ketua ASEAN tahun ini, dan Singapura.

Retno sejatinya diagendakan mengunjungi Myanmar setelah lawatannya selama dua hari di Thailand. Namun rencana perjalanan ditunda karena kondisi keamanan yang tidak memungkinkan.

“Setelah dari Bangkok, memang terdapat rencana bagi saya untuk melakukan kunjungan ke Naypitaw, untuk secara langsung dapat menyampaikan pesan dan posisi Indonesia, menyampaikan pesan dunia internasional dan sampaikan harapan penyelesaian masalah,” kata Retno.  

Pihaknya menambahkan, di tengah berbagai keterbatasan, Indonesia akan terus melanjutkan komunikasi dengan semua pihak agar dapat berkontribusi bagi penyelesaian masalah di Myanmar. 

“Penundaan ini tidak menyurutkan niat untuk menjalin komunikasi dengan semua pihak di Myanmar, termasuk dengan militer Myanmar dan CRPH,” kata Retno, Rabu.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah mengatakan saat ini “bukan merupakan waktu yang ideal” untuk berkunjung.

Di Myanmar pada hari Selasa, kelompok aktivis Future Nation Alliance menolak kunjungan tersebut, dengan mengatakan mengadakan"komunikasi resmi dengan rezim kudeta,” itu berarti, “sama saja dengan mengakui junta militer.”

Yan Myo Thein, seorang analis politik independen di Yangon, mengatakan negara-negara di kawasan harus menggunakan pendekatan diplomasi yang mencerminkan kemauan rakyat Myanmar.

“Komunitas internasional termasuk ASEAN harus mencari pendekatan yang sedekat mungkin dengan keinginan penduduk Myanmar,” ujarnya,“hasil Pemilu November 2020 jelas mencerminkan kemauan rakyat Myanmar. Itu tak terbantahkan. "

Gerakan sipil tolak kudeta

Pada 1 Februari, pimpinan militer Myanmar merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih dan menangkap Aung San Suu Kyi dan pimpinan lainnya. Militer mengumumkan keadaan darurat satu tahun untuk menangani tuduhan kecurangan dalam pemilihan umum 8 November, yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi, menurut otoritas pemungutan suara.

Sejak kudeta tersebut, Myanmar diwarnai oleh gerakan pembangkangan sipil dan protes anti-kudeta besar-besaran yang terus membengkak meskipun terjadi pemutusan jaringan internet, dan diberlakukannya jam malam.

Setidaknya empat pengunjuk rasa tewas dan puluhan luka-luka karena tembakan dari aparat Myanmar. Seorang demonstran yang ditembak di kepala di Naypyidaw pada 9 Februari meninggal di rumah sakit, sementara dua orang lainnya juga tewas terkena tembakan di Mandalay pada 21 Februari. Polisi juga menembak mati seorang penjaga malam di Yangon.

Perwakilan negara-negara G7; AS, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang dan Inggris - bersama dengan perwakilan tinggi Uni Eropa mengecam penggunaan kekerasan militer Myanmar terhadap pengunjuk rasa.

“Kami mengutuk intimidasi dan penindasan terhadap mereka yang menentang kudeta. Kami menyampaikan keprihatinan kami pada tindakan keras terhadap kebebasan berekspresi, termasuk melalui pemutusan internet dan perubahan sewenang-wenang terhadap undang-undang yang menekan kebebasan berpendapat,” kata mereka dalam sebuah pernyataan, Selasa.

Pada hari yang sama, ratusan aktivis pengecam kudeta berkumpul di luar Kedutaan Besar Indonesia di Yangon, menolak informasi yang dikutip dari Reuters yang mengatakan bahwa Indonesia mendesak negara-negara di ASEAN untuk mengirim pemantau untuk memastikan pemilu ulang yang "adil dan inklusif".

Juru bicara KemluTeuku Faizasyah menyanggah pemberitaan Reuters itu yang menyatakan bahwa Indonesia mengusulkan agar ASEAN menuntut junta militer Myanmar untuk menggelar pemilihan umum ulang.

“Itu sama sekali bukan posisi Indonesia, karena yang ingin kita garisbawahi adalah bagaimana kita mencari satu penyelesaian damai di Myanmar yang inklusif dan melibatkan semua pihak,” tukasnya. 

Peluang

Mohammad Hasan Ansori, Direktur Program dan Riset Habibie Center, mengatakan Indonesia memiliki peluang yang paling besar untuk bisa mengajak militer Myanmar bertemu dan menyampaikan langsung keprihatinan maupun penawaran bantuan di tengah konflik yang semakin memanas.  

Ia menegaskan Indonesia tetap perlu berhati-hati dalam melakukan diplomasi terutama dengan tidak memojokkan militer Myanmar. 

“Dari pengalaman yang ada, seperti ketika Rohingya, berbicara dengan pihak militer Myanmar memang tidak mudah. Bu Retno kemungkinan hanya akan menyampaikan pernyataan yang sifatnya soft, tidak frontal,” kata Hasan melalui sambungan telepon dengan BenarNews, Rabu. 

Hasan mengatakan, Indonesia dan Myanmar memiliki fondasi hubungan bilateral yang sangat baik dibandingkan antarnegara anggota ASEAN lainnya. 

“Myanmar menaruh banyak hormat dengan Indonesia; antarpemerintah, antarmasyarakatnya, dan bahkan antarmiliternya juga begitu. Perspektif Indonesia harus dilihat sebagai niat baik, memperlakukan Myanmar sebagai teman. Ingin membantu, bukan intervensi,” katanya. 

Kesediaan perwakilan Myanmar untuk bertemu dengan Indonesia juga dinilai selangkah lebih maju dibandingkan upaya Barat dalam meredam otoriter militer melalui sanksi, kata Hasan. 

“Myanmar ini negara yang paling berani dengan sanksi-sanksi Barat di Asia Tenggara. Mau dikasih sanksi apapun, militer tidak berkutik. Kenapa? Karena mereka di-backing Cina, itu sudah sangat jelas,” katanya. “Saya mengapresiasi Bu Menlu yang membuka komunikasi dengan Cina.”

Unit Myanmar dari Radio Free Asia yang terafiliasi dengan BenarNews turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.