Indonesia Didesak Kembali Dorong Myanmar Menuju Demokrasi Pasca Kudeta

Diplomasi masa SBY dinilai bisa menjadi contoh.
Ronna Nirmala
2021.02.04
Jakarta
Indonesia Didesak Kembali Dorong Myanmar Menuju Demokrasi Pasca Kudeta Warga pendukung militer Myanmar membawa sejumlah poster yang bertuliskan "Kami berharap militer yang memberi dan mendapat dukungan dari rekyat, sukses," berkumpul dalam rapat umum mengamini kudeta militer hari Senin, di Naypyitaw, 4 Februari 2021.
AP

Indonesia banyak berkontribusi dalam dukungan transisi Myanmar menuju demokrasi sekitar satu dekade silam, dan kudeta militer awal minggu ini telah mendorong Jakarta untuk mengambil kembali peran tersebut sebagai panutan di kawasan untuk membantu negara tersebut merestorasi kepemimpinan sipil, demikian kata pengamat dan aktivis pro-demokrasi. 

Indonesia sebagai pemimpin tradisional di ASEAN memiliki pengaruh untuk membantu Myanmar keluar dari persoalan politik yang mencengkram hak dan kebebasan masyarakat sipilnya, kata direktur eksekutif Institute for Peace and Democracy (IPD) Bali, I Ketut Putra Erawan. 

“Indonesia yang memiliki kedekatan dengan Myanmar, punya tanggung jawab untuk membantu,” kata Ketut melalui sambungan telepon dengan BenarNews. 

Indonesia adalah role model bagi Myanmar, sebut Ketut. Kedua negara ini memiliki kemiripan karena sama-sama pernah menjalani pemerintahan otoriter. Sejak zaman Orde Baru, Myanmar kerap meniru sejumlah kebijakan yang dibuat Indonesia semisal tentang dwifungsi militer hingga masuknya unsur-unsur tentara di parlemen dan level paling bawah pemerintahan. 

“Myanmar sudah berguru dengan Indonesia sejak zaman Orde Baru, meski ikut di jalur yang salah. Ketika Indonesia berubah ke arah benar, reformasi, mereka bingung. Tapi, pemerintah kita waktu itu juga tak langsung lepas begitu saja,” kata Ketut, merujuk pada peran yang dilakukan mantan Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono. 

Hari Senin lalu, militer Myanmar menangkap Aung San Suu Kyi dan beberapa pemimpin lainnya, lalu mendeklarasikan situasi gawat darurat selama satu tahun untuk menindak apa yang mereka klaim sebagai dugaan kecurangan pada pemilu yang diadakan November lalu.

Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Suu Kyi memenangkan 396 kursi di parlemen sementara Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan yang berafiliasi dengan militer memenangkan 33 kursi dalam pemilu itu.

Jenderal senior Min Aung Hlaing akan memimpin negara itu, kantor berita Associated Press melaporkan dengan mengutip laporan TV militer Myanmar. Akses internet dan komunikasi di ibu kota dan beberapa wilayah lainnya terputus berbarengan dengan pengumuman tersebut.

Dalam foto tertanggal 5 Mei 2011 ini memperlihatkan Presiden Myanmar saat itu Thein Sein (kiri) dan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka di Jakarta. [AP]
Dalam foto tertanggal 5 Mei 2011 ini memperlihatkan Presiden Myanmar saat itu Thein Sein (kiri) dan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka di Jakarta. [AP]

Legasi SBY

Ketut, Akademisi Universitas Udayana ini mengatakan, Yudhoyono, didukung akademisi dan komunitas sipil, memainkan peran yang cukup signifikan dalam transisi demokrasi di Myanmar. 

Beberapa di antaranya adalah mendorong upaya rekonsiliasi etnis minoritas, memberi masukan perihal penyusunan undang-undang yang sejalan dengan nilai demokrasi, bahkan mengajak Myanmar melihat secara langsung proses-proses politik di Indonesia seperti pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  

“Konstelasi zaman SBY itu yang mencoba menaruh demokrasi sebagai agenda utama dalam diplomasi di Asia Pasifik yang menurut saya itu sangat positif. Walau sebenarnya bukan SBY-nya ya, tapi karena ketika itu demokrasi yang paling dibutuhkan oleh masyarakat Asia Pasifik,” katanya.  

Pada 2011, Yudhoyono juga pernah mengirimkan surat kepada pimpinan militer Myanmar ketika itu, Jenderal Than Shwee, untuk menjalin hubungan bilateral yang lebih erat. 

Dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan mantan Perdana Menteri Myanmar, Thein Sein, Yudhoyono kerap menceritakan pengalaman Indonesia dalam melakukan perubahan politik setelah lebih dari tiga dekade dipimpin Soeharto. 

Kolom opini yang ditulis Editor Pelaksana The Jakarta Post, Kornelius Purba, bahkan menyarankan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mengutus Yudhoyono sebagai perwakilan Indonesia untuk bernegosiasi dengan Myanmar merujuk dengan peran-peran yang pernah dilakukan pada masa lalu.

“Sosok seperti SBY, sebagai salah satu tokoh penting di balik reformasi militer Indonesia, adalah sosok yang tepat untuk mendekati para jenderal. Jokowi hanya perlu memberi SBY kebebasan dan kepercayaan untuk melakukan apa pun yang menurutnya perlu demi keberhasilan misinya,” tulis Purba.

Ketika Joko “Jokowi” Widodo terpilih sebagai presiden menggantikan Yudhoyono pada tahun 2014, Jokowi menyatakan bahwa fokusnya adalah urusan dalam negeri, demikian Aaron L. Connelly, pakar Asia Tenggara di Institut Internasional untuk Kajian Strategis, sebuah lembaga penelitian Inggris.

Jokowi saat itu “baru dalam urusan luar negeri dan tampaknya memiliki sedikit minat dalam diplomasi, sangat kontras dengan pendahulunya Susilo Bambang Yudhoyono, yang mencari peran sebagai negarawan internasional,” tulis Connelly dalam sebuah artikel untuk Asia Tenggara Kontemporer pada bulan April 2015.

Diplomasi aktif

Mantan Sekretaris Kabinet era pemerintahan Yudhoyono, Dipo Alam, mengatakan pemerintah waktu itu juga aktif melakukan soft diplomacy melalui kerja sama investasi dan ekonomi. Selain itu, Yudhoyono juga meminta Amerika Serikat untuk mengurangi tekanan kepada Myanmar dan memberikan ruang kepada negara tersebut untuk bertransformasi.

“Salah satu yang saya ingat, Pak SBY pernah menjelaskan kepada Thein Sein tentang proses demokrasi di Indonesia seperti apa, dari tadinya di bawah Orde Baru dengan militer kuat lalu terjadi pembaruan, reformasi,” kata Dipo. 

Pada saat yang sama, Yudhoyono juga meminta pemerintah AS, melalui Hillary Clinton, untuk tidak memberi tekanan berlebih kepada Myanmar yang tengah berproses menuju demokrasi. 

“Yang paling bagus saya ingat, Pak SBY memberi masukan yang penting ke AS untuk jangan mendikte, mentutor, menganggap Myanmar sebagai anak kecil. SBY menjelaskan tahap-tahap demokrasi dan meminta AS menghormati itu,” lanjutnya. 

Eva Kusuma Sundari, mantan Ketua Kaukus Myanmar Parlemen ASEAN (AIPMC) mengatakan peran Indonesia dalam mendukung demokrasi di Myanmar pada masa lalu juga tidak bisa dilepaskan dari sinergi seluruh pemangku kepentingan. 

“Dulu, dalam berbagai kesempatan kunjungan kerja ke luar negeri, kita tidak pernah lupa membawa isu Myanmar,” kata Eva dalam agenda diskusi daring, Kamis. 

Eva, yang juga anggota Komisi III DPR RI kala itu, mengatakan Indonesia sanggup menunjukkan dukungan yang maksimal kepada Myanmar di tengah berbagai keterbatasan. 

“Saya lihat Indonesia ketika itu memang konkritnya ke isu Rohingya, walau tak banyak omong, tak banyak tekanan. Kemudian juga memang (bantuan) duitnya tidak seberapa, tapi tetap konkret. Ada sekolah yang dibiayai, ada beasiswa, ada humanitarian aid,” kata Eva. 

‘Indonesia tidak menggurui’

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan Indonesia tidak dalam posisi untuk mendikte negara mana pun dalam melaksanakan pemerintahannya.

“Indonesia tidak menggurui negara manapun tentang berdemokrasi. Di samping itu, pengarusutamaan nilai-nilai demokrasi juga sudah menjadi agenda bersama dalam kerja sama ASEAN sebagai satu komunitas,” kata Faizasyah kepada BenarNews. 

Kendati demikian, Faizasyah mengatakan pemerintah saat ini tengah berupaya mendorong sikap bersama negara-negara anggota ASEAN terkait situasi terkini di Myanmar. 

Indonesia sendiri mengalami kemunduran demokrasi yang semakin terasa pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, demikian kesimpulan kajian akademisi Australian National University (ANU) tahun lalu bertajuk “Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnan Menuju Kemunduran?”

Kemunduran tersebut diukur melalui sejumlah indikator seperti pembungkaman kebebasan berpendapat dan upaya-upaya melemahkan pengawasan terhadap kekuasaan. 

Namun demikian posisi Indonesia masih relatif paling terbuka dalam kebebasan berekspresi, demikian Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto.

“Kebebasan berekspresi kita memang tidak sempurna, bahkan memburuk, tapi dibanding negara ASEAN lain, kita masih lebih baik. Sehingga kita seharusnya masih bisa memainkan peran lebih,” kata Damar pada Kamis. 

Damar menyoroti praktik pemblokiran internet di Myanmar yang dilakukan rezim militer setiap situasi genting sebagai salah satu hal yang perlu didorong Indonesia dalam mendesak kawasan dan bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk segera menciptakan resolusi. 

“Regresi demokrasi pada dasarnya saat ini tengah terjadi di seluruh dunia, tapi Myanmar jadi sorotan khusus karena Freedom House 2019 mencatat angka kebebasan berekspresi dan internet di negara ini paling anjlok di kawasan,” kata Damar. 

Eva Kusuma, yang juga politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), mengatakan Indonesia adalah satu-satunya harapan di tengah posisi negara anggota lain seperti Kamboja, Vietnam dan Thailand yang menyatakan tidak akan mencampuri urusan Myanmar. 

“Indonesia meski banyak dikritik di dalam, tapi masih diharapkan karena relatively masih lebih demokratis dibandingkan yang lain,” kata Eva. 

Pengaruh Cina

Situasi politik yang saat ini terjadi di Myanmar tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Cina, sehingga langkah terbaik adalah melalui solidaritas bersama ASEAN dalam merangkul, mendampingi dan juga memberi dukungan kepada negara tersebut, sebut pengamat Asia Tenggara dari Flinders University Australia, Priyambudi Sulistiyanto.  

“Jika tekanan terhadap rezim militer yang masih baru ini terlalu kencang, dikhawatirkan mereka akan lari ke pangkuan Cina. Jelas karena Cina dari dulu punya kepentingan strategis yang sangat diimpikan, yaitu menguasai jalur koridor barat daya Cina,” kata Priyambudi dalam diskusi daring, Kamis. 

Priyambudi mengatakan Myanmar memiliki hubungan rumit dan panjang dengan Cina, sebagai saudara tertua juga kerabat terdekat yang banyak memberi kontribusi pada pembangunan di negara itu. 

“Kita melihat memang yang bisa keras ke Cina adalah negara Barat. Tapi di Asia, kita tidak bisa menafikkan kekuatan Cina yang begitu besar, sehingga memang harus ada langkah-langkah yang lebih kreatif untuk melobi,” kata Priyambudi. 

Ketut dari IPD Bali menyarankan Indonesia untuk mengkaji lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi di Myanmar karena hal ini penting yang belum jelas terjawab pasca-pengumuman kudeta oleh junta militer. Setelahnya, Indonesia bisa mendorong ASEAN mengirim delegasi untuk berdialog. 

“Jadi memang pendekatannya membawa Myanmar ke jalur ASEAN dengan fondasi demokrasi. Jangan mengisolasi Myanmar karena nanti pengaruh Cina akan makin kuat. Dan kita harus ingat, bagi Cina, demokrasi itu bukan hal utama dibandingkan bisnis,” kata Ketut. 

Rachel Arini Judhistari, Manajer Program Advokasi Asia Timur dan ASEAN dari Forum ASIA mengatakan perlu ada langkah taktis dalam pemberian sanksi di luar embargo ekonomi dari negara-negara Barat maupun mitra Myanmar lainnya. 

“Diperlukan tekanan berupa penyetopan kerja sama militer, misalnya antara Myanmar dengan negara-negara seperti AS, Kanada. Karena kita tahu Myanmar membeli alat-alat surveillance yang kita tahu salah satu pemasoknya adalah Cina,” kata Rachel. 

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.