Indonesia Tertinggi Risiko Pendanaan Terorisme di Asia Tenggara
2016.08.11
Nusa Dua
Indonesia menjadi negara dengan risiko tertinggi di Asia Tenggara dalam pendanaan terorisme, demikian salah satu hasil kajian dari Terrorism Financing Regional Risk Assessment (TFRRA) yang dipublikasikan dalam Counter Terrorism Financing (CTF) Summit 2016 di Nusa Dua, Bali, yang berakhir Kamis 11 Agustus 2016.
Dibanding dengan empat negara ASEAN lainnya; Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand, kajian tersebut melihat Indonesia memiliki risiko tertinggi dalam empat saluran pendanaan terorisme yaitu dana pribadi dari sumber legal, penyalahgunaan yayasan amal, penggalangan dana melalui media sosial, dan tindak kejahatan.
Negara dengan risiko terendah adalah Singapura dan Malaysia. Negara lain yang juga dinilai adalah Australia.
“Perlu ada aturan agar lembaga-lembaga amal tidak disalahgunakan termasuk untuk menyalurkan dana terorisme,” kata Muhammad Yusuf, ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada BeritaBenar hari Kamis di tengah penutupan acara tersebut.
Ia juga mengatakan Indonesia akan membuat peraturan yang mengijinkan Bea Cukai untuk menahan orang yang membawa uang dalam jumlah besar.
PPATK dan mitranya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Australia (AUSTRAC), menjadi tuan rumah CTF Summit kedua tersebut yang dihadiri sekitar 240 peserta termasuk diantaranya perwakilan 26 negara, PBB, kalangan profesional dan masyarakat sipil.
Kajian TFRRA
Laporan TFRRA yang dipublikasikan oleh PPATK dan AUSTRAC memuat bentuk-bentuk baru pendanaan terorisme di Asia Tenggara dan Australia, selain juga membahas sumber pendanaan terorisme yang terbagi dalam risiko tinggi dan menengah.
Pendanaan berisiko tinggi berasal dari institusi legal di dalam negeri. Dana diberikan kepada foreign terrorist fighters (FTF) yang berangkat ke negara-negara konflik.
Laporan itu mengatakan pendanaan secara pribadi makin marak setidaknya dalam tiga atau lima tahun ke depan.
“Makin susah untuk mendeteksi pola ini. Karena itu pihak intelijen keuangan harus meningkatkan panduan untuk melaporkan lembaga dan transaksi yang mencurigakan,” demikian tertulis dalam laporan setebal 48 halaman itu.
Sumber lain, meskipun terbilang sedikit, adalah munculnya pendanaan melalui lembaga-lembaga amal.
Yusuf tidak bersedia menyebutkan detil berapa dan di mana saja yayasan amal itu.
“Itu kewenangan Densus 88 atau BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) untuk menjelaskan. Kami hanya menyampaikan laporan,” katanya.
Adapun sumber pembiayaan kategori menengah, antara lain melalui penggunaan media sosial dan penggalangan dana publik lewat internet.
Teroris juga masih memakai cara-cara lama, seperti perampokan dan transfer melalui bank dari pekerja di luar negeri.
‘Nusa Dua Statement’
TFRRA merupakan salah satu perwujudan dari 11 poin dalam “Nusa Dua Statement”yang dihasilkan dari empat hari pertemuan itu.
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Australia (AUSTRAC), Paul Jevtovic, menyatakan “Nusa Dua Statement” menjadi kesepakatan bersama untuk melawan terorisme dari segi pendanaan.
“Statemen ini tidak bersifat mengikat meskipun dihasilkan semua peserta yang hadir dalam pertemuan ini,” kata Paul Jevtovic, yang menambahkan walaupun tak mengikat, negara peserta bisa melakukan cara masing-masing untuk mewujudkan tujuan statemen tersebut.
“Nusa Dua Statement” juga meliputi kecaman terhadap serangan teroris yang terjadi di berbagai belahan dunia serta menegaskan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sebagai ancaman global.
Pernyataan itu juga mengakui perlu kerja sama internasional, termasuk sektor swasta, untuk mencegah dan memutuskan pembiayaan terorisme.
Lima aksi
Salah satu dari 11 poin itu adalah komitmen untuk mempromosikan kolaborasi dan inovasi lebih kuat dalam melawan pendanaan terorisme yang diterapkan melalui lima aksi.
Pertama, menjalankan rekomendasi TFRRA dengan mengambil aksi-aksi prioritas seperti mengembangkan model pertukaran informasi terkait aliran pendanaan terorisme.
Aksi lain adalah studi lebih lanjut untuk melihat pergerakan uang tunai di perbatasan untuk membiayai terorisme dan juga mengkaji standar organisasi non-profit atau yayasan amal yang diindikasikan berisiko dan terlibat pendanaan terorisme.
Kedua, peserta akan menguatkan kerja sama regional dalam pertukaran informasi intelijen, termasuk analis lembaga intelijen keuangan. Kerja sama ini telah dilakukan Indonesia dan Australia dan akan dikembangkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara.
“Pertukaran ahli semacam itu untuk membangun kemampuan dan keahlian sesama analis,” ujar Yusuf kepada wartawan.
Ketiga, para peserta berkomitmen mendirikan Community Outreach Consultative Group yang menerapkan pemetaan dan model pendidikan terkait pendanaan terorisme.
Keempat, melanjutkan upaya peningkatan kemampuan dan konsistensi melawan pendanaan terorisme serta mencegah penyalahgunaan teknologi untuk pembiayaan terorisme.
Poin terakhir adalah kemajuan semua komitmen dan aksi itu akan dilaporkan pada CTF Summit Ketiga di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun depan.