Indonesia buka kembali penempatan pekerja domestik di Arab Saudi setelah 7 tahun
2022.08.22
Jakarta
Pemerintah melonggarkan larangan pengiriman pekerja rumah tangga ke Arab Saudi yang dikeluarkan tujuh tahun lalu menyusul hukuman mati atas dua perempuan pekerja domestik asal Indonesia, kata Menteri Tenaga Kerja.
Namun, para aktivis buruh migran meminta pemerintah mendesak Arab Saudi mengadopsi standar perburuhan untuk memastikan perlindungan terhadap pekerja asal Indonesia di negara tersebut.
Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah mengatakan Indonesia dan Arab Saudi pada 11 Agustus menandatangani kesepakatan pengaturan teknis sistem satu kanal untuk penempatan terbatas tenaga kerja Indonesia.
“Disepakati bahwa penempatan PMI [pekerja migran Indonesia] pada sektor domestik di Arab Saudi hanya bisa dilakukan melalui SPSK atau Sistem Penempatan Satu Kanal,” ujar Fauziah di hadapan Komisi Ketenagakerjaan DPR.
Belum ada kepastian kapan perekrutan pekerja rumah tangga akan dimulai.
Penandatanganan ini tidak mencabut sepenuhnya keputusan Menteri Tenaga Kerja tahun 2015 tentang penghentian dan pelarangan penempatan buruh rumah tangga di 21 negara yang kebanyakan di Timur Tengah, kata Fauziah.
Keputusan pelarangan ini diambil setelah dua pembantu rumah tangga asal Indonesia - Siti Zainab dan Karni Tarsim - dihukum mati di Arab Saudi atas dakwaan pembunuhan terhadap majikan mereka.
Pekerja rumah tangga asal Indonesia di Arab sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, dari jam kerja yang panjang, penganiayaan hingga pemerkosaan. Hal ini menyebabkan ada beberapa kasus pekerja membunuh majikannya sebagai perlindungan diri, demikian laporan dari sejumlah organisasi advokasi buruh migran.
Indonesia protes karena mengaku tidak mendapatkan pemberitahuan sebelum eksekusi yang dilakukan di Arab Saudi.
Menurut data dari Migrant Care, LSM pemerhati buruh migran, pada 2018 masih ada eksekusi terhadap dua pekerja Indonesia, yaitu Muhammad Zaini Misrin Arsad dan Turi Tursilawati, juga karena kasus pembunuhan.
Menurut Fauziah, pengiriman pekerja untuk sektor domestik ini dihentikan karena masalah-masalah yang dihadapi oleh para buruh belum mendapat penyelesaian dan jumlah pekerja yang bermasalah terus meningkat.
Kedutaan Besar Arab Saudi tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Perjanjian kerja
Dalam kesepakatan tersebut Arab Saudi juga berkomitmen menghentikan konversi visa kunjungan warga Indonesia menjadi visa kerja pada sektor domestik.
“Upah minimum bagi PMI adalah sebesar 1.500 Saudi Arabia Riyal (SAR) atau setara Rp 5,9 yang besarannya dapat ditinjau dan disepakati kembali berdasarkan kebutuhan pasar,” jelasnya.
Arab Saudi dan Indonesia juga sudah mengatur standar perjanjian kerja yang mencakup hak dan kewajiban pemberi kerja dan buruh Indonesia.
Menurut Fauziah, perlindungan pekerja Indonesia kini bisa lebih baik karena ada kontrak kerja antara pekerja dan pemberi kerja, sehingga jika terjadi masalah akan mudah melacak dan menghubunginya.
Selain itu, sistem penempatan satu kanal dapat meminimalisir penempatan pekerja secara nonprosedural dan membuka peluang kesempatan kerja layak bagi pencari kerja yang berminat pergi ke Arab Saudi.
Menurutnya, meski kesepakatan ini mengatur pekerja domestik, namun tidak menutup kemungkinan penempatan pekerja pada sektor profesional, seperti tenaga kesehatan, tenaga pelayanan umum dan industri hotel serta jasa lainnya.
Arab Saudi punya daya tarik
Aktivis buruh migran yang juga pengajar jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Tyas Retno Wulan, mengatakan Arab Saudi mempunyai daya tarik besar untuk para pekerja Indonesia.
Para pekerja Indonesia mudah mendapatkan pekerjaan di negara tersebut dibanding di negara Asia seperti Hongkong yang mempunyai sistem penanganan buruh lebih baik. Selain itu, ada motivasi lain dari para pekerja Indonesia yang sebagian besar beragama Islam yaitu sekalian menunaikan ibadah haji atau umrah.
“Itu yang membuat kita sering dengar meski ada moratorium, PMI tetap berangkat tetap jalan, bisa jadi mereka lewat jalur tanpa dokumen,” ujar dia.
Menurut dia penempatan pekerja Indonesia di Arab Saudi tetap berisiko selama negara itu belum mengubah perlakuan terhadap tenaga kerja asing, seperti penahanan paspor sebagai jaminan.
“Majikan memegang kunci, bisa memperlakukan apa saja. Jadi sangat merugikan dan menempatkan PMI pada posisi yang tidak dilindungi,” ujar dia.
Aktivis Migrant Care Anis Hidayah mengatakan pemerintah harus bisa memanfaatkan gelombang reformasi yang terjadi di Arab Saudi untuk mengubah perlakuan negara itu terhadap pekerja migran asal Indonesia.
“Beriringan reformasi yang terjadi pada perempuan Arab, mestinya ini bisa dinegosiasikan dengan Putra Mahkota [Mohammad bin Salman],” ujarnya kepada BenarNews.
“Di Arab kan sedang ada kemajuan soal perempuan tidak wajib jilbab, boleh nyetir, jadi ini disambut dengan reformasi pekerja domestik migran kita di sana,” ujar dia.
Menurut Anis, pekerja domestik kadang dipaksa bekerja selama 18 jam sehari, tidak mempunyai libur dan akses keluar.
“Itu juga yang membuat mereka rentan dianiaya, mendapat kekerasan seksual. Karena mereka tidak punya komunitas sosial, tidak ada akses untuk keluar,” ujarnya.
Karena itu jika akan memulai penempatan pekerja migran di Arab Saudi, sambung Anis, harus dipastikan bahwa Arab Saudi bersedia mengadopsi standar perburuhan.