Indonesia dan Perancis Sepakat Kerjasama Pemberantasan Terorisme

Tokoh pluralisme, Yenny Wahid, menilai Perancis perlu lebih menghargai multikultur tanpa meminggirkan kebebasan beragama penduduknya.
Tia Asmara
2017.03.29
Jakarta
170329_ID_France_1000.jpg Presiden Joko Widodo dan Presiden Perancis Francois Hollande menghampiri anak-anak sekolah yang melambaikan bendera kedua negara di Istana Merdeka, Jakarta, 29 Maret 2017.
Dok. Biro Pers Istana

Pemerintah Indonesia dan Perancis sepakat meningkatkan kerjasama dalam berbagai bidang, termasuk pemberantasan ekstremisme dan terorisme.

Kesepakatan itu tercapai dalam pertemuan antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Presiden Perancis, Francois Hollande di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 29 Maret 2017.

Kesepakatan tersebut tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) tentang Pertahanan yang ditandatangani Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamizard Ryacudu, dan Menteri Pertahanan Perancis, Jean – Yves Le Drian.

“Kedua negara memiliki pandangan yang sama dalam sejumlah isu internasional, seperti isu kemerdekaan Palestina, pasukan perdamaian dunia, dan juga upaya untuk melawan ekstremisme dan terorisme,” ujar Jokowi usai pertemuan.

Terdapat lima nota kesepahaman yang ditandatangani delegasi kedua negara yaitu di bidang pembangunan urban berkelanjutan, pariwisata, pertahanan, ilmu pengetahuan dan penelitian, serta pertukaran tenaga peneliti.

Ini adalah kunjungan Presiden Perancis pertama setelah 31 tahun dalam ikut membawa sejumlah menteri serta 40 delegasi pengusaha. Pada 1986, Presiden Perancis Francois Mitterand pernah berkunjung ke Indonesia.

Dalam pernyataan kepada wartawan usai bertemu Jokowi, Hollande memuji Indonesia karena bisa mempertahankan keberagaman dengan sifat toleransi antar-suku dan agama.

“Indonesia (adalah) negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan kita tahu bahwa Indonesia mampu mengamankan patokan kebhinekaan yang bersifat toleran dan harus menjadi ilham bagi kami tentu saja,” katanya.

Di Perancis, menurut dia, juga memiliki kebebasan dalam berekspresi termasuk dalam beragama.

“Karena berdasarkan cara untuk hidup bersama. Inilah yang disepakati harus sama kuat menghadapi ancaman terorisme, tapi tanpa diskriminasi terhadap agama apapun,” ujar Hollande.

Cyber antiterrorism

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto menjelaskan salah satu bentuk konkrit MoU Pemberantasan Terorisme adalah pembentukan cyber anti-terrorism.

"Kami menyadari kejahatan terorisme karena meningkatnya penggunaan cyber technology oleh mereka (teroris)," katanya.

Menurut dia, saat ini kejahatan terorisme semakin meningkat. Karena itu, kedua negara menandatangani MoU pemberantasan terorisme mengingat pernah menjadi korban aksi teror, sehingga ada kesadaran bahwa tanpa kebersamaan, terorisme tidak mungkin diberantas.

"Dalam pembicaraan tadi, mereka (Jokowi dan Hollande) menyampaikan penggunaan teknologi digital sudah dipakai untuk latihan, penyebaran informasi, pembentukan opini. Tanpa kebersamaan, terorisme itu tidak mungkin diberantas," kata Wiranto.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menambahkan salah satu nilai tambah Indonesia di mata Perancis adalah mampu mengembangkan demokrasi secara penuh.

“Dari pluralitas yang ada, meskipun mayoritas Muslim namun kita bisa menciptakan kehidupan yang harmonis. Perancis ingin belajar bagaimana demokrasi bisa berkembang bersamaan dengan pluralisme,” ujarnya.

Seperti diketahui bahwa Perancis pernah mendapat serangan teror dalam beberapa tahun terakhir. Pada Januari 2015, terjadi penembakan di kantor tabloid Charlie Hebdo di Paris yang mengakibatkan 20 orang tewas dan 22 lainnya terluka.

Pada 13 November 2015, setidaknya 130 orang tewas saat serangan teroris mematikan dalam sejarah Negeri Menara Eiffel tersebut saat penembakan dan pelemparan granat terjadi di sebuah tempat konser music di Bataclan.

Terakhir, pada Juli 2016 setidaknya 84 tewas saat seorang pria bersenjata menabrakkan sebuah truk ke tengah kerumunan massa yang berkumpul untuk menonton kembang api memperingati Hari Bastille di Kota Nice, Selatan Perancis.

Lebih lembut

Menanggapi kerjasama kedua negara, tokoh pluralisme dari Nahdlatul Ulama, Yenny Wahid menyebutkan Perancis perlu mengembangkan konsep Laicite yang lebih lembut sehingga masyarakatnya tidak merasa dipinggirkan.

“Sangat sulit menciptakan rasa memiliki dan mencintai negara saat Anda merasa kehilangan cara untuk mengekspresikan individualitas Anda dan identitas, termasuk identitas agama,” ujar putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.

Perancis menganut konsep Laicite yang memisahkan negara dan agama. Sebagai contoh para pegawai dan orang yang bekerja di lingkungan sekolah dan rumah sakit tidak bisa menunjukkan identitas keagamaannya dalam bentuk apapun.

“Niatnya memang baik, untuk menjaga agar negara tidak dipengaruhi masalah agama. Namun dalam pelaksanaannya, praktik pemisahan itu membuat pemeluk agama seolah menjadi tidak punya tempat di masyarakat Prancis,” kata Yenny kepada BeritaBenar.

Dia memberikan contoh banyak pegawai Muslim tidak bisa shalat di tempat kerja, anak Yahudi tidak mendapatkan dispensasi ketika harus menjalani ujian di sekolah pada hari Sabtu padahal itu adalah hari Sabbath dan pemeluk agama Sikh tak bisa menggunakan turbannya untuk menggulung rambutnya.

“Yang terjadi adalah kelompok agama merasa dipinggirkan. Ini menciptakan rasa tidak nyaman dan tak puas sehingga membuka kesempatan bagi teroris berkembang biak,” ujarnya.

Seharusnya, tambah dia, Perancis lebih menghargai multikultur tanpa meminggirkan kebebasan beragama.

“Daripada mengucilkan agama, lebih baik merayakan keragaman. Indonesia bisa menjadi contoh. Tradisi kita toleransi, dikombinasikan dengan kepemimpinan yang kuat untuk memastikan tidak ada diskriminasi terhadap kelompok manapun,” katanya.

Hal senada di sampaikan pengamat reformasi peradilan, Gilles Blanchi yang menyebut sekitar 12 persen dari total penduduk Perancis beragama Islam. Namun, 60 persen dari mereka tidak mendapatkan hak yang layak seperti pekerjaan dan sarana sosial lain.

“Diskriminasi dan ketidakadilan menyebabkan Perancis menjadi negara paling terancam target terorisme,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.