Paham Salafi di Indonesia
2017.03.01
Jakarta
Salafisme atau Islam puritan diyakini mulai berkembang di Indonesia sejak awal 1980an, yang diduga disebarkan Pemerintah Arab Saudi melalui program beasiswa.
“Jika salafisme dianut, agama akan kehilangan nuansa kemanusiaan, karena semuanya dikembalikan pada praktik masa lalu atau salaf, di zaman Nabi Muhammad SAW,” kata Ali Munhanif, peneliti senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, kepada BeritaBenar, Senin, 27 Februari 2017.
“Gerakan ini meniru pola kehidupan masyarakat awal Islam yang berujung pada anti-modernisme, anti terhadap perkembangan masyarakat. Yang di luar itu dianggap tidak Islam. Ide semacam itu yang berbahaya,” tambah Ali.
Ia mencontohkan penggunaan kata kafir.
“Kata kafir adalah simbol pengingkaran yang sebenarnya sangat interpretatif. Bagi kaum Salafi, sejauh tidak sesuai dengan aqidah (Islam), akan dibilang kafir,” ujarnya, “kemudian gampang meneriakkan ‘Bunuh! atau ‘Gantung’. Ini yang saya bilang agama akan kehilangan nuansa kemanusiaannya,” tambahnya.
Menurutnya, kebangkitan salafisme di Indonesia tak lepas dari peran sejumlah lembaga, organisasi dan institusi pendidikan yang didanai Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya.
“Mereka memberi beasiswa pada orang Indonesia untuk belajar di sana dengan harapan membawa paham itu ketika pulang,” jelas Ali.
Pihak Kedutaan Arab Saudi yang dikonfirmasi BeritaBenar terkait peran negara itu dalam menyebarkan salafisme tidak memberikan tanggapan.
Menurut Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia se-Arab Saudi, jumlah mahasiswa yang menuntut ilmu di negara kaya minyak itu hingga tahun 2016 mencapai 900 orang, tersebar di 10 universitas.
Sekretaris Umum Muhammadiyah, Abdul Mukti menyatakan jumlah beasiswa tersebut lebih sedikit dibandingkan Australia, Amerika Serikat. atau negara-negara Eropa.
“Alumni universitas-universitas negeri di Saudi tidak lantas menjadi pengikut salafisme. Biasanya alumni institusi non-formal atau swasta yang banyak menganut salafi karena masih dipengaruhi nilai-nilai kearifan lokal yang kental,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Mengimbangi Syiah
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, mengatakan salah satu tujuan salafisme adalah untuk mengimbangi penyebaran Syiah dan Indonesia tak lepas dari target gerakan tersebut.
“Mereka mendirikan Salafi-Wahabi (politik dan non-politik), sekolah-sekolah, madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren,” ujar Azyumardi kepada BeritaBenar.
Azyumardi menyebutkan, beberapa contoh Salafi-Wahabi antara lain Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahiddin Indonesia, Jamaah Anshorut Tauhid pimpinan Abu Bakar Ba'asyir, dan Lasykar Jihad pimpinan Ja'far Umar Talib.
Tapi, Abu Qotadah Al-Atsary, pimpinan Pondok Pesantren Ihya’ As-Sunnah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, memiliki pendapat lain.
“Umat Islam itu salafi semuanya karena tidak ada agama yang kita pegang kecuali yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat,” katanya saat dihubungi, Selasa.
“Salafi adalah kembali pada pemahaman bagaimana mengamalkan agama, bagaimana mendakwahkan agama. Mestinya umat Islam di dunia ini salafi karena tidak ada agama kecuali yang datang dari Allah dan Rasulnya,” tambah alumnus Yaman itu.
Pendapat senada diungkapkan pengurus Pesantren Tarbiyah Sunnah di Bandung, Jawa Barat, Abu Haidar Al Sundawy.
“Mungkin orang melihat seolah-olah ini gerakan politis. Padahal kami hanya berdakwah. Ini sama seperti menyebar budaya ekonomi syariah. Lantas dituding akan menghapus riba dan semacamnya,” ujar pengikut salafi tersebut.
Saat ditanya apakah paham salafi untuk mengimbangi pengaruh Syiah, dia menjawab, “Jika dakwah dilakukan benar, otomatis akan membendung umat dari pemahaman keliru dan menyimpang.”
Tidak cukup kuat
Menurut Ali, salafisme cepat berkembang di Timur Tengah, tapi tidak cukup kuat di Indonesia karena kehidupan masyarakatnya yang multikultur.
“Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam mendorong kemerdekaan Indonesia sangat kuat serta Muhammadiyah dalam memodernkan Islam,” katanya.
Untuk itu, sarannya, penting bagi pemerintah untuk mendorong kedua organisasi Islam ini sejalan dengan cita-cita pemerintah untuk membangun masyarakat multikultur dan toleransi.
Perkembangan salafisme di Indonesia, lanjut Azyumardi, masih terbatas karena kuatnya kedua organisasi Islam moderat tersebut.
“They are too big to fail. Saya tidak melihat ada worst scenario (dari paham salafisme di Indonesia),” tegasnya, “tapi perlu kewaspadaan dan konsolidasi organisasi moderat.”
Di Aceh, satu-satunya provinsi yang menerapkan Syariah Islam juga menentang Salafi – Wahabi, terbukti dari beberapa unjuk rasa penolakan yang pernah digelar.
Momentum
Kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi ke Indonesia pada 1 hingga 9 Maret, tutur Ali, bisa menjadi momentum untuk mengenalkan nilai-nilai Pancasila dan toleransi.
“Mumpung ada keinginan dari Saudi untuk membantu dalam kerja sama ekonomi, anti-terorisme dan pertukaran budaya, termasuk pendidikan,” tukasnya.
Sedangkan Qotadah melihat kunjungan Raja Salman lebih pada meningkatkan hubungan Arab Saudi dan Indonesia, yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Menurut Abdul, hubungan Muslim Indonesia dan Arab Saudi sudah terjalin sejak abad ke-8.
Saudi saat itu menjadi pusat belajar para ulama yang berperan besar dalam mendukung kemajuan Islam. Upaya ini lantas memperkuat ikatan agama dan intelektual di kalangan muslim Indonesia-Arab Saudi.
Hanya saja, mayoritas Muslim Indonesia menganut mazhab Syafii dan Sekolah Teologi Al-Asyari, sementara Salafi berkiblat pada mazhab Hambali dan Teologi Ibnu Taimiah.
“Artinya hubungan Indonesia dan Saudi terkait faktor keIslaman, bukan salafisme,” ujarnya.