Indonesia serukan perdamaian Myanmar jelang pertemuan ASEAN
2023.07.07
Jakarta
Ketua Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Indonesia mengatakan pada Jumat bahwa pihaknya meningkatkan upaya diplomatik untuk mengakhiri kekerasan dan kekisruhan di Myanmar, di mana kudeta militer pada tahun 2021 telah memicu pertumpahan darah dan krisis kemanusiaan, kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Menteri Retno mengatakan bahwa Indonesia terus berkomunikasi dengan semua pihak di Myanmar untuk membujuk mereka agar mendukung pelaksanaan konsensus lima poin yang dicapai oleh para pemimpin ASEAN dua bulan setelah kudeta militer.
Krisis di Myanmar diperkirakan menjadi salah satu topik utama dalam rangkaian pertemuan tingkat menteri yang akan diselenggarakan Indonesia pekan depan dengan negara tetangga Asia Tenggara dan mitra lainnya, termasuk Amerika Serikat, China, dan Rusia.
Pertemuan yang berlangsung di Jakarta pada 11-14 Juli itu melibatkan 29 negara, Sekretariat ASEAN, dan Uni Eropa.
“110 kegiatan telah dilakukan, baik pertemuan in person, virtual maupun percakapan per telepon, termasuk beberapa kali pertemuan langsung saya dengan Menlu NUG maupun Menlu SAC,” kata Retno dalam jumpa pers.
NUG (National Unity Government) merupakan pemerintahan tandingan di pengasingan dan SAC (State Administration Council) adalah dewan administrasi negara yang dipimpin militer. Kedua kelompok tersebut mengklaim sebagai entitas yang sah mewakili pemerintah Myanmar pasca-kudeta.
Konsensus lima poin ASEAN tersebut menuntut penghentian segera kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak, penunjukan utusan khusus, pengiriman bantuan kemanusiaan dan kunjungan delegasi ke Myanmar.
“ASEAN tetap sangat prihatin dengan meningkatnya penggunaan kekerasan di Myanmar yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil dan perusakan fasilitas publik,” kata Retno. “Ini harus segera dihentikan, saya ulangi, harus segera dihentikan.”
Myanmar, yang tidak akan hadir pada pertemuan minggu depan karena junta dilarang mengirim perwakilan politik, telah mengalami kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintah terpilih pada Februari 2021.
Junta Myanmar telah menindak demonstrasi massal yang menewaskan lebih dari 3.000 orang dan menangkap ribuan lainnya, menurut kelompok hak asasi manusia. PBB mengatakan sejak kudeta lebih dari 1,8 juta orang di Myanmar terpaksa mengungsi karena kekerasan.
Krisis tersebut telah merusak persatuan dan kredibilitas ASEAN. Blok regional itu telah berjuang untuk menentukan sikap bersama dan mempengaruhi junta.
Banyak pengamat dan analis regional, serta mantan menteri luar negeri Malaysia, mengatakan sudah waktunya untuk mengesampingkan konsensus dan menyusun rencana baru dengan tenggat waktu yang mencakup mekanisme yang memastikan kepatuhan (enforcement mechanism).
Beberapa ahli mengatakan, pendekatan ASEAN terhadap Myanmar mencerminkan keterbatasannya sebagai organisasi berbasis konsensus yang mengutamakan stabilitas dan tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota.
Retno mengatakan pertemuan minggu depan juga akan berfokus pada penguatan kerja sama di berbagai isu seperti ketahanan pangan, kesehatan, kelautan dan transisi energi, serta implementasi "ASEAN Outlook on the Indo-Pacific" yang berfokus pada kerja sama maritim, konektivitas, dan pembangunan berkelanjutan.
Dia juga mengatakan bahwa ASEAN akan terlibat dengan Indian Ocean Rim Association dan Pacific Islands Forum (PIF) untuk pertama kalinya sebagai bagian dari implementasi pandangan tersebut.
AHA Centre, badan ASEAN untuk manajemen bencana, telah menyelesaikan penilaian kebutuhan bersama di Myanmar dan memberikan bantuan awal pada bulan Mei, kata Retno.
Dia mengatakan badan tersebut sedang mempersiapkan distribusi bantuan kepada 400 rumah tangga atau sekitar 1.450 pengungsi internal di wilayah Sagaing dan Magway Myanmar, yang merupakan salah satu prioritas berikutnya.
Indonesia sendiri telah mengirimkan 45 ton bantuan kemanusiaan ke Myanmar bulan lalu, kata dia.
Jakarta patut diapresiasi sekaligus dikritik
Hunter Marston, seorang peneliti di Australian National University, mengatakan bahwa tidak mungkin menilai kemajuan hubungan diplomatik Indonesia dengan berbagai pihak di Myanmar, karena bersifat rahasia dan tertutup.
Di satu sisi, Jakarta harus diapresiasi karena telah melakukan begitu banyak pertemuan dengan pemangku kepentingan yang berbeda, kata Marston.
“Fakta bahwa Jakarta telah menjadi perantara begitu banyak pertemuan, dengan kinerja bersama berbagai pemangku kepentingan, sangat mengesankan dan harus didukung,” kata Marston kepada BenarNews.
Namun di sisi lain, pemerintah Indonesia telah menyepelekan luasnya konflik dan keengganan pihak yang bertikai untuk berkompromi, kata dia.
“Jadi masih harus dilihat apakah sesuatu yang substansial akan muncul dari pembicaraan yang sedang berlangsung. Jika Jakarta berhasil mencapai gencatan senjata atau lebih baik, komitmen untuk dialog politik antara NUG dan SAC, maka semua kerahasiaan dan kritik akan sepadan,” kata Marston.
”Namun, jika tidak ada hasil apa pun pada akhir masa keketuaan Indonesia, maka semua orang akan menyalahkan dan berkata, "Lihat? Sejak awal memang tidak ada peluang kemajuan."
Peneliti Departemen Hubungan Internasional dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Muhammad Waffaa Kharisma menilai setiap penambahan kegiatan merupakan kemajuan penting bagi ASEAN.
“ASEAN punya tanggung jawab untuk membangun mekanisme yang berkesinambungan dari satu ketua ke ketua berikutnya, yang bertanggung jawab pada masyarakat dan pemangku kepentingan Myanmar,” kata dia.
Tantangannya, kata Waffaa, adalah mempertahankan model ini ke ketua selanjutnya dan mencegah ASEAN bersikap menyederhanakan masalah dan menormalisasi hubungan dengan SAC tanpa akuntabilitas dan perubahan sikap dari mereka.
“Namun [belum pasti] apakah kegiatan itu merupakan kemajuan bagi tuntutan dan masa depan rakyat Myanmar atas perlindungan diri mereka, pengembalian hak-hak mereka. Bagi mereka, belum tentu usaha ini bisa dikatakan kemajuan,” kata Waffaa.