Indonesia Tindak Lanjuti Pembelian Pesawat Tempur Rafale dan F-15
2021.02.18
Jakarta
Indonesia segera merealisasikan rencana modernisasi persenjataan termasuk di antaranya mengakuisisi pesawat tempur buatan Prancis dan Amerika Serikat secara bertahap hingga tahun 2024, demikian Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Fajar Prasetyo pada Kamis (18/2).
Fajar menyebut alutsista yang bakal terealisasi terdiri dari 36 pesawat tempur Dassault Rafale dan delapan F-15EX buatan Boeing, kemudian 15 pesawat angkut C-130J, dan dua unit multi-role tanker transport (MRTT).
“Hasil dari berbagai upaya tersebut, kini telah menampakkan titik terang. Mulai tahun ini hingga 2024, kita akan segera merealisasikan akuisisi berbagai alutsista modern,” Fajar saat memberikan pengantar di Rapat Pimpinan (Rapim) TNI AU di Cilangkap, Jakarta.
Selain itu, juga terdapat rencana akuisisi 30 radar ground-controlled interception (GCI) dan 3 unit pesawat tanpa awak (unmanned combat aerial vehicle/UCAV) dengan kemampuan ketinggian medium.
Fajar mengakui proses pengadaan alutsista untuk TNI AU mengalami keterlambatan karena revisi pengajuan ke Kementerian Pertahanan.
Dalam dokumen Rapat Pimpinan TNI Tahun 2021 yang dirilis Selasa (16/2), Kementerian Pertahanan mengatakan sejumlah unittersebut diharapkan bisa mendarat di Indonesia sebelum tahun depan.
“Kita ingin me-refurbish seluruh pesawat tempur dan sudah dialokasikan anggaran,” kata Kemenhan dalam dokumen itu. “36 unit Rafale MRCA dari Prancis, F-15EX 8 unit sudah siap, diharapkan 6 pesawat bisa tiba sebelum tahun 2022.”
Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsma Indan Gilang Budansyah, belum bisa memastikan kapan seluruh alutsista itu tiba di Indonesia. “Harapan TNI AU bisa tercapai, tapi untuk timeline detail ada di Kemenhan,” katanya melalui pesan singkat.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjalin diplomasi pertahanan ke berbagai negara mitra, termasuk AS, Rusia dan Prancis, sepanjang tahun 2020, dengan salah satu misi yang dibawa adalah kerja sama pengadaan pesawat tempur untuk TNI AU.
Pada 2018, Indonesia telah menyepakati pembelian 11 unit Sukhoi Su-35 dari Rusia senilai total U.S.$1,14 miliar melalui sistem barter. Namun tidak lama setelahnya, Pemerintah AS memberlakukan aturan tentang pemberian sanksi kepada negara yang melakukan kerja sama dengan Rusia.
Sejak itu, rencana pembelian pesawat Sukhoi tidak kunjung menemui titik temu. Beberapa alternatif pun muncul, di antaranya mengubah rencana pembelian 11 Sukhoi Su-35 dengan F-35 dari AS.
Proyek pengembangan jet tempur Korean Fighter Xperiment/Indonesian Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) dengan Korea Selatan senilai Rp117,4 triliun juga terkendala. Kantor berita pemerintah Korea Selatan, Yonhap, pada tahun lalu melaporkan Indonesia menunggak pembayaran cicilan hingga U.S.$420 juta atau sekitar Rp6,2 triliun.
Pekan lalu, Yonhap kembali melaporkan bahwa kedua negara tengah membahas renegosiasi tunggakan, di tengah spekulasi Indonesia bakal mundur dari proyek tersebut.
Awal tahun 2020, Prabowo dikabarkan tertarik membeli 48 jet tempur Dassault Rafale yang satu unitnya ditaksir mencapai U.S.$115 juta atau setara Rp1,5 triliun.
Juli tahun lalu, Prabowo mengirimkan surat penawaran pembelian 15 unit jet tempur Eurofighter Typhoon milik Austria. Rencana itu menuai kritik dari dewan legislatif dan pakar militer lantaran jet tempur yang ditawar tersebut berstatus bekas dan diwarnai skandal dugaan suap.
Pejabat di Kementerian Pertahanan menolak memberi jawaban perihal kelanjutan rencana pembelian jet tempur dari Rusia maupun pihak lain. Atase pers dari Kedutaan Besar Rusia di Jakarta juga tidak merespons ketika dimintai konfirmasi.
Diplomasi pertahanan
KSAU Marsekal TNI Fajar Prasetyo mengatakan pengadaan alutsista selain bertujuan untuk memperkuat kekuatan TNI dalam menjaga kedaulatan negara, juga memiliki kontribusi signifikan di kancah politik internasional.
“Sebagai salah satu bentuk diplomasi pertahanan yang bernilai strategis dengan negara-negara yang berpengaruh terhadap konstelasi politik global,” kata Fajar.
Dirinya menambahkan, TNI AU mengutamakan alutsista dengan spesifikasi yang mendukung kebutuhan operasional, aspek kesamaan, dan kesepakatan transfer teknologi antara kedua pihak.
“Esensi terpenting dari penambahan alutsista bukanlah pada penambahan jumlah platformnya, namun yang lebih jauh esensial adalah pada peningkatan kemampuan secara signifikan yang dapat kita berdayagunakan dalam menjaga kedaulatan negara di udara,” kata Fajar.
Tiga pertimbangan
Sementara itu, Kementerian Pertahanan dalam Rapim TNI mengatakan pemerintah memiliki tiga pertimbangan geopolitik dalam pembelian alutsista.
Pertama, hal itu bisa menjadi daya tawar dengan negara-negara adikuasa.
“Kedua, dalam pembelian alutsista sebaiknya dari lima negara pemegang hak veto dewan keamanan PBB,” kata Kementerian, seraya melanjutkan pertimbangan ketiga adalah negara yang bersedia memberi transfer teknologi dan seluruh software dari pembelian alutsista tersebut.
Pekan lalu, dua pejabat dari Dassault Aviation Prancis berkunjung ke Jakarta untuk bertemu dengan Kementerian Pertahanan dalam rangka membahas kerja sama akuisisi pesawat tempur multi-role Rafale, sebut keterangan tertulis Kementerian Pertahanan.
Pertemuan dihadiri Dirjen Potensi Pertahanan Mayjen TNI Dadang Hedrayudha, Direktur Teknologi Industri Pertahanan Laksma TNI Sri Yanto, dan dari pihak Dassault diwakili oleh Vice President Business Development Jean Claude Piccirillo dan Vice President Offset Dassault Michael Paskoff.
“Semua pihak berharap pembahasan offset pengadaan pesawat Rafale ini berjalan dalam suasana penuh kekeluargaan dan memberikan kemajuan di kedua pihak, serta segera dapat diwujudkan,” kata Dadang.
Disegani
Beni Sukadis, pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis di Jakarta mengatakan, bila pengadaan ini berjalan lancar, maka posisi pertahanan udara Indonesia akan sangat diperhitungkan di kawasan terutama dalam menghadapi ketegangan di Laut Cina Selatan.
“Kita jadi semakin disegani. Apalagi setahu saya, Pak Prabowo pesan ini berikut senjatanya, karena selama ini kita tidak punya senjata,” kata Beni melalui sambungan telepon.
“Situasi di Natuna Utara solusinya memang dengan modernisasi senjata, tidak bisa hanya dengan diplomasi saja. Dengan menunjukkan kita punya persenjataan itu, Cina pasti jadi pikir-pikir untuk berurusan,” tambahnya.
Meski tidak secanggih Lockheed Martin F-35 buatan AS ataupun Sukhoi Su-35 dari Rusia, namun Beni menilai kehadiran F-15EX dan Rafale di angkatan udara Indonesia sudah cukup untuk mengejar ketertinggalan Indonesia selama ini.
“Dari sisi kemampuan mesin, F-15EX dan Rafale ini sama-sama double engine dan punya kemampuan multi-roles. Artinya tidak hanya bisa difungsikan sebagai pesawat tempur saja, tapi bisa juga bomber dan memiliki kemampuan jammer dari pesawat lain. Kecanggihan perang elektroniknya sudah lengkap,” kata Beni.
Begitu pula dengan perencanaan akuisisi dua MRTT tanker Airbus yang berfungsi sebagai pengisi bahan bakar pesawat tempur.
“Itu mahal dan sebelumnya kita belum punya. Jadi memang, kalau kita mau jadi jagoan di kawasan harus punya itu,” tukasnya.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dari Singapura dalam hal jumlah pesawat tempur. Data Global Fire Power 2021 menyebut Singapura memiliki 100 pesawat tempur sementara Indonesia hanya 41 unit.