Indonesia, Negara-Negara Islam di Asia Kecam AS Soal Yerusalem

Presiden Jokowi, PM Najib Razak, dan PM Sheikh Hasina memimpin kawasan mengecam keputusan Presiden Trump tersebut.
Staf BeritaBenar
2017.12.07
Washington
171207-Jerusalem-reacts-620.jpg Sejumlah warga Yahudi berdoa di sebuah makam di Yerusalem di depan Kubah Batu (Dome of the Rock) di kompleks Masjid Al-Aqsa, salah satu tempat suci umat Islam, 7 Desember 2017.
AP

Para pemimpin negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim: Indonesia, Malaysia, dan Bangladesh pada hari Kamis mengecam keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Israel dan rencana AS untuk memindahkan kedutaannya ke kota suci tersebut dari Tel Aviv.

Perubahan besar kebijakan AS pada isu Yerusalem tersebut, yang diputuskan presiden Amerika pada hari Rabu, mengejutkan dunia Muslim.

Keputusan tersebut akan mengacaukan upaya perdamaian serta memicu potensi kekerasan dan terorisme, kata para pemimpin dan pengamat di Asia.

“Indonesia mengecam keras pengakuan sepihak Amerika Serikat terhadap Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan meminta Amerika Serikat mempertimbangkan kembali keputusan tersebut,” kata Presiden Joko “Jokowi” Widodo, di Istana Bogor, hari Kamis, 7 Desember 2017.

“Pengakuan sepihak tersebut telah melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB yang Amerika Serikat menjadi anggota tetapnya. Ini bisa mengguncang stabilitas keamanan dunia.”

Bisa sulut radikalisme

Dalam mengumumkan keputusan itu di Gedung Putih, Trump mengatakan AS akan mendukung solusi dua negara antara Israel dan Palestina berkaitan dengan tempat yang menjadi wilayah suci tiga agama, Kristen, Yahudi, dan Islam tersebut.

“Di atas semua itu harapan terbesar kita adalah terciptanya perdamaian, yang menjadi dambaan bersama setiap manusia. Dengan keputusan hari ini, saya mengkonfirmasi komitmen pemerintahan saya sejak lama akan masa depan yang damai dan keamanan bagi wilayah tersebut," kata Trump.

Israel mengklaim semua wilayah Yerusalem sebagai ibu kotanya sementara Palestina melihat Yerusalem timur sebagai ibukota masa depannya. Kaum Muslim di dunia melihat Masjid Al-Aqsa, yang terletak di wilayah paling suci Yahudi, yaitu Temple Mount, sebagai tempat paling suci ketiga bagi umat Islam.

Lima puluh tahun lalu pada Juni 1967, Israel merebut Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan wilayah lainnya setelah negara tersebut mengalahkan militer tiga negara Arab tetangganya yaitu Yordania, Mesir, dan Suriah dalam apa yang disebut dengan Perang Enam Hari.

Pada tahun 1995, kongres AS mengadopsi Undang-Undang Relokasi Kedutaan Yerusalem, yang menginstruksikan kedutaannya untuk pindah ke Yerusalem dari Tel Aviv pada tahun 1999. Sebelum keputusan pada hari Rabu tersebut, presiden Amerika termasuk Trump telah mengeluarkan keringanan setiap enam bulan untuk tidak memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv, dengan alasan keamanan nasional.

Sekretaris Jenderal Pimpinan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini dalam pernyataan yang dibacakan di kantor PBNU, Kamis, menyatakan sikap Trump itu merupakan tindakan yang mengacaukan perdamaian dunia.

"Akan membuat situasi dunia menjadi semakin panas dan mengarah pada konflik yang tidak berkesudahan" demikian pernyataan tersebut, dan PBNU mendesak agar PBB segera mengesahkan keanggotaan Negara Palestina menjadi anggota resmi PBB dan memberikan hak Palestina sebagai negara merdeka.”

Sementara itu Din Syamsuddin, salah seorang pimpinan Muhammadiyah yang juga merupakan ketua Prakarsa Persahabatan Indonesia-Palestina (PPIP), dalam pernyataan tertulisnya mengatakan, “Keputusan tersebut akan mendorong radikalisasi di kalangan umat Islam sebagai reaksi terhadap radikalisme dan ketidakadilan global yang diciptakan AS.”

“Jerusalem sebaiknya dibagi dua menjadi Jerusalem Timur untuk Palestina, dan Jerusalem Barat untuk Israel; atau Jerusalem dijadikan sebagai Kota Suci Internasional bagi pemeluk tiga agama Samawi yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam,” demikian pernyataan itu.

Demonstrasi anti-Amerika sebagai reaksi terhadap keputusan pemerintahan Trump diperkirakan akan dilakukan setelah sholat Jumat di Jakarta dan Kuala Lumpur. Kedutaan Besar AS di Malaysia telah mengimbau warganya untuk berhati-hati.

Najib dan Hasina: Muslim tidak bisa terima

Di Kuala Lumpur pada hari Kamis, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak berbicara menentang pengumuman Trump saat majelis tahunan Partai Nasional Melayu Bersatu (UMNO) yang berkuasa.

"Minggu ini, kita terkejut mendengar rencana Amerika Serikat yang mengakui salah satu dari tiga Tanah Suci bagi umat Muslim sebagai ibu kota Israel, saya yakin, kita sebagai Muslim tidak dapat menerima ini,"kata Najib.
"Kita harus menyuarakan pendirian kita dengan jelas sehingga dunia mendengarkan suara kaum Muslim di Malaysia, bahwa kita menolak selamanya dan dalambentuk yang paling keras, keinginan untuk menjadikan Baitul Maqdis (Masjid Al-Aqsa) sebagai ibu kota Israel."

Pemerintah Najib juga mengeluarkan pernyataan tentang keputusan AS tersebut.

"Ini akan berdampak serius tidak hanya terhadap keamanan dan stabilitas kawasan tersebut, tapi apakah itu akan memantik sentimen, membuat upaya untuk memerangi terorisme semakin sulit," kata pernyataan tersebut. Ditambahkan juga bahwa Malaysia mengakui isu Yerusalem sebagai inti perjuangan Palestina.

"Setiap usaha untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, membangun atau memindahkan misi diplomatik ke kota tersebut, dianggap sebagai agresi tidak hanya terhadap Arab dan umat Islam, namun juga melanggar hak-hak kaum Muslim dan Kristen," demikian pernyataan tersebut.

Di Bangladesh, Perdana Menteri Sheikh Hasina menggemakan suara dari dunia Muslim,  mengutuk dan mempertanyakan kebijaksanaan presiden Amerika tersebut.

"Saya pikir dunia Islam tidak akan menerima pengumuman suo moto (sepihak) yang dibuat oleh presiden AS tersebut," kata Hasina, "saya akan mendesak semua negara Muslim dan umat Islam untuk bersatu sehingga Palestina dapat menjamin hak-hak mereka dengan adil."

'Sebuah kesempatan untuk perdamaian yang abadi'

Keputusan Trump, bagaimanapun, mendapat dukungan resmi dari menteri luar negerinya, Rex Tillerson, yang selama ini banyak berselisih dengan atasannya tersebut mengenai sejumlah kunci utama kebijakan luar negeri Amerika, seperti dilaporkan media AS.

"Keputusan Presiden Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel sejajar dengan posisi Amerika dalam melihat kenyataan bahwa Yerusalem sudah menjadi lokasi legislatif, mahkamah agung, kantor presiden, dan kantor perdana menteri Israel," kata Tillerson dalam sebuah pernyataan.

"Kami telah berkonsultasi dengan banyak mitra, dan sekutu kami sebelum Presiden membuat keputusannya. Kami sangat yakin ada kesempatan untuk terciptanya perdamaian abadi."

Ismira Lutfia Tisnadibrata di Jakarta, N. Natha di Kuala Lumpur dan Kamran Reza Chowdhury di Dhaka ikut kontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.