Indonesia waspadai penyebaran Covid-19 Omicron XBB

Subvarian baru itu disebut punya peningkatan daya virus, tapi vaksin booster masih efektif, masalahnya adalah ada kelangkaan vaksin.
Nazarudin Latif
2022.10.26
Jakarta
Indonesia waspadai penyebaran Covid-19 Omicron XBB Seorang tenaga kesehatan (kiri) memberikan vaksin booster Pfizer Covid-19 di Jakarta pada 29 Maret 2022.
[Adek Berry/AFP]

Varian Omicron XBB yang lebih cepat menular patut diwaspadai setelah empat orang dinyatakan positif di Indonesia, demikian Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sementara kasus Covid-19 mengalami kenaikan infeksi signifikan hingga 3.048 pada Rabu (26/10).

Kemenkes mengungkapkan kasus infeksi harian Covid-19 di Indonesia mulai melonjak sejak pekan ketiga bulan ini, yang mencapai infeksi lebih dari 2.000 kasus, setelah sebelumnya di bawah itu. Pada Selasa angka infeksi Covid-19 mencapai 3.008 kasus.

Juru Bicara Kemenkes Muhamad Syahril mengungkapkan dari empat kasus sub-varian omicron XBB, dua penderita pernah melakukan perjalanan ke Singapura dan dua kasus lain adalah transmisi lokal.

“Negara belum bisa dikatakan aman dari pandemi Covid-19. Sebab berbagai mutasi varian baru masih berpotensi terus terjadi,” ujar Syahril dalam konferensi pers secara virtual pada Rabu.

Semua pasien, kata Syahrir, mengalami gejala ringan, seperti batuk dan pilek. Mereka juga sudah dinyatakan sembuh setelah melakukan isolasi mandiri dan tidak dirawat di rumah sakit.

Pada Oktober 22, pemerintah mengumumkan bahwa varian XBB telah terdeteksi di Indonesia dan meminta masyarakat lebih waspada terutama dengan menggunakan masker.

Pemerintah juga meminta masyarakat segera melakukan vaksinasi Covid-19 booster atau dosis ketiga untuk mengurangi kesakitan dan kematian.

Menurut Syahril, saat ini sudah ada 24 negara yang melaporkan kasus Covid-19 sub-varian XBB, menambahkan bahwa di Singapura kata dia, terjadi kenaikan tajam infeksi harian dan peningkatan tren perawatan di rumah sakit.

“Peningkatan daya virus, tapi vaksin booster masih efektif”

Menurut Syahril, vaksin Covid-19 masih efektif menghadang segala varian baru termasuk omicron XBB meski memiliki kemampuan menghindari imunitas seseorang atau immune escape.

Dia mengatakan setiap terjadi mutasi virus, maka ada peningkatan daya immune escape virus tersebut. Akibatnya, virus bisa menghindari antibodi tubuh seseorang baik yang diciptakan oleh vaksin maupun secara alamiah dari infeksi virus.

“Karena itu vaksin booster diharapkan bisa menjadi meningkatkan antibodi seseorang," tambah Syahril.

Selain itu, vaksin booster diperlukan karena efektivitas vaksin hanya bisa bertahan selama enam bulan, sehingga perlu penambahan dosis setelah rentang waktu tersebut.

Epidemiolog dan peneliti Indonesia dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan besar kemungkinan penularan Covid-19 di Indonesia kini didominasi subvarian omicron XBB.

“Dengan keterbatasan deteksi dini dan tracing di Indonesia, jika tiba-tiba ada peningkatan kasus ini tanda sangat jelas bahwa subvarian XBB sudah berdampak. Meski kita agak buta karena kita tidak punya pelacakan genom yang baik,” ujar dia.

Kelangkaan vaksin.

Menurut Dicky, idealnya pemerintah bisa menyediakan vaksin bivalen – yang oleh organisasi pengawasan obat dan makanan Amerika (FDA) disebut sebagai vaksin yang mampu menghadapi perkembangan virus—untuk menghadapi sub-sub varian omicron.

Namun, kata Dicky, jika tidak, pemerintah tetap bisa menggunakan vaksin yang sudah terbukti dan teruji, seperti Pfizer, Moderna, Novavac, bahkan Indovac, vaksin buatan lokal, sebagai booster.

“Tapi permasalahannya saat ini ketersediaan vaksin menjadi isu. Banyak sentra-sentra vaksin yang didatangi masyarakat tidak tersedia. Itu berbahaya, upaya meningkatkan cakupan proteksi dengan booster menjadi terkendala,” ujar dia.

Varian ini meski dengan gejala klinis yang ringan, tetap tidak bisa dianggap enteng terutama pada masyarakat paling rawan yaitu pasien dengan comorbid.

Dokter spesialis paru Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta, Fathiyah Isbaniyah mengatakan varian XBB tetap mematikan untuk pasien dengan comorbid.

“Tentu ini harus dikhawatirkan karena tidak semua orang di sekitar kita kuat,” ucap Fathiyah pada BenarNews.

Pemerintah menurut dia harus mewaspadai penyebaran sub-varian ini yang sangat cepat. Apalagi ditambah dengan kendornya penerapan protokol kesehatan masyarakat.

Kelangkaan vaksin ini juga dikomentari oleh Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono.

“XBB termasuk keluarga omicron, mungkin gampang menular tapi tidak parah kalau orang tersebut sudah vaksinasi,” ujar Pandu Riono.

Sebelumnya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui bahwa terjadi kelangkaan stok vaksin Covid-19. Hal ini terjadi karena pemerintah menghentikan vaksin impor dan memberi kesempatan pada vaksin produksi dalam negeri yaitu Indovac buatan Bio Farma masuk pada sentra-sentra vaksin.

Namun ternyata vaksin buatan lokal tersebut baru mendapatkan emergency use of authorization sebagai vaksin dosis pertama dan kedua, bukan booster.

Terkait kelangkaan vaksin ini, Syaril mengatakan pemerintah sudah menerima 5 juta vaksin Pfizer dengan skema hibah dan saat ini sedang dalam proses pengujian di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Akhir pekan ini (vaksin Pfizer) bisa didistribusikan ke daerah. Sedangkan IndoVac dari Bio Farma diperkirakan akan tersedia mulai November,” ujar dia.

Protokol kesehatan jadi kunci

Epidemiolog Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, Yudhi Wibowo, mengatakan vaksin sebenarnya bukan pencegahan utama, namun kepatuhan terhadap protokol kesehatan terutama menggunakan masker.

“Masker paling efektif untuk mencegah penularan. Jika orang sehat dan sakit menggunakan masker, teorinya potensi penularan hanya 5 persen. Sedangkan vaksin tidak mencegah transmisi, tapi menurunkan sakit berat atau fatal,” ujarnya kepada BenarNews.

Menurut Dicky, Indonesia harus mewaspadai tingkat kematian yang cukup tinggi, yang masih mencatatkan lebih dari 100 kematian dalam satu pekan.

Misalnya dari tanggal 17 hingga 22 Oktober pemerintah mencatat 103 kematian akibat Covid-19, kata Dicky.

“Perlu audit medis atau audit klinis. Itu mengecek kepatuhan tenaga kesehatan pada tata laksana sesuai ketentuan pemerintah maupun WHO. Biasanya ada masalah di sumber daya manusia dan sarana prasarana,” ujar dia.

Pizaro Idrus Gozali berkontribusi pada artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.