YLBHI: Pembangunan Infrastruktur Memiskinkan Rakyat

Juru bicara presiden dan Kepala Pusat Penerangan TNI terkesan enggan berkomentar ketika dikonfirmasi dengan dalih belum membaca catatan YLBHI.
Arie Firdaus
2017.12.21
Jakarta
171221-ID-development-620.jpg Dari kiri ke kanan: mantan Komisioner Komnas HAM Enny Soeprapto, peneliti Hendro Sangkoyo, Ketua YLBHI Asfinawati, dan Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati saat berbicara pada kegiatan catatan akhir tahun YLBHI di Jakarta, 21 Desember 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai maraknya pembangunan infrastruktur yang dilakukan di era Presiden Joko "Jokowi" Widodo justru memiskinkan dan mengambil hak rakyat.

Pendapat itu merujuk pada sejumlah warga yang terusir dan kehilangan aset akibat pengerjaan beberapa proyek, semisal pembangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta Baru di Kulon Progo.

"Orang-orang yang tadinya mapan di situ menjadi miskin," kata Ketua YLBHI, Asfinawati dalam pemaparan catatan akhir tahun yayasan itu di Jakarta, Kamis, 21 Desember 2017.

"Karena menghilangkan akses mereka pada sumber pendapatan. Kan ada rumah yang sekaligus menjadi warung."

Menurut Asfinawati, sikap pemerintah yang main usir itu sejatinya bertentangan dengan tekad Presiden Jokowi pada awal masa jabatan yang ingin mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

"Kami tak punya intensi menentang pembangunan, tapi pelaksanaan infrastruktur yang kini ada hanya ditumpukan pada fisik dan bukan peningkatan kualitas hidup masyarakat," ujar Asfinawati.

Berdasarkan catatan sepanjang 2017, setidaknya terdapat 27 kasus sengketa terkait infrastruktur yang ditangani oleh delapan kantor YLBHI di daerah --dari total 15 kantor perwakilan lembaga bantuan hukum di antero Indonesia.

LBH Padang di Sumatera Barat, misalnya, menangani pengaduan masyarakat yang terpinggirkan akibat proyek pembangkit listrik tenaga geothermal.

Adapula LBH Bandung yang menerima pengaduan pembangunan PLTU Batubara Cirebon dan Bendungan Jatigede.

Pengaduan soal pembangunan PLTU juga diterima LBH Bali; LBH Makassar terkait PLTU Jeneponto; serta LBH Semarang terkait pembangkit listrik di Batang, Jepara, dan Cilacap.

“Bukan pemerataan”

Jumlah pengaduan terkait infrastruktur itu, katak Asfinawati, bertambah dari tahun sebelumnya. Hanya saja, ia tak bisa memerinci besaran tahun lalu.

Yang pasti, lanjutnya, meningkatnya pengaduan itu menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dan infrastruktur dilakukan dengan mengambil hak rakyat.

"Secara konsep mengacu pada pertumbuhan, bukan pemerataan. Diasumsikan bahwa pertumbuhan itu akan ada yang menetes ke bawah," lanjut Asfinawati.

Hal sama disampaikan Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Enny Soeprapto yang mengatakan pembangunan seharusnya bersifat partisipatif agar tak menyengsarakan masyarakat sekitarnya.

"Harusnya pas mau pembangunan ditanya, mereka (masyarakat) butuh apa?" kata Enny dalam kesempatan sama.

"Sesuai dengan saran Perserikatan Bangsa-Bangsa, bahwa pembangunan memberikan kewenangan bagi populasi untuk mengontrol program dan memengaruhi kehidupan mereka."

Secara keseluruhan, selain terkait infrastruktur, tercatat 215 pengaduan lain yang masuk ke YLBHI sepanjang 2017.

Pencaplokan lahan untuk perkebunan dan hutan tercatat sebanyak 137 kasus, disusul pengambilalihan paksa untuk pertambangan sebesar 15 kasus, dan 12 laporan terkait reklamasi.

Adapun sebanyak 51 pengambilalihan lahan sisanya untuk kepentingan yang beragam. Dengan total korban 249.855 orang.

Juru bicara Presiden, Johan Budi, saat dikonfirmasi enggan mengomentari hasil catatan akhir tahun YLBHI tersebut.

“Saya mau baca dulu,” katanya singkat ketika dihubungi BeritaBenar.

Kecam pelibatan militer

Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma Mary Herwati, menyebutkan pengebirian hak rakyat dalam pembangunan infrastruktur kerap kali bahkan melibatkan kekerasan. Salah satu dipicu oleh memobilisasi tentara.

"Ada 65 kasus masyarakat melawan tentara sepanjang 2017," jelasnya.

Angka itu disebut juga meningkat dari tahun sebelumnya. Namun lagi-lagi YLBHI tak memerinci peningkatan jumlahnya.

Menurut Rakhma, naiknya intensitas konflik itu lantaran tentara kerap diajak masuk oleh lembaga pemerintahan.

Ia merujuk pada beberapa kesepakatan lembaga negara dengan militer, seperti kesepakatan (MoU) antara Badan Pertanahan Nasional dengan Kementerian Pertahanan untuk menjaga tanah dan kesepakatan antara Kementerian Pertanian dengan TNI untuk menjaga pasokan pangan.

"Padahal itu tak sesuai dengan tugas dan fungsi TNI," kata Rakhma lagi.

"Militerisasi itu merupakan salah satu hal yang kami protes karena hukum digunakan penguasa untuk menindas rakyat."

Andaikata pemerintah terus menyeret militer, Rakhma menilai reformasi tak ubahnya telah berjalan mundur. Musababnya, aturan dan ketetapan yang dibuat pada 1998 hingga 2000 soal militer tidak dijalankan, bahkan ditinggalkan.

Pendapat senada disuarakan Asfinawati dengan mengatakan, keterlibatan TNI sejatinya sudah dicerabut dari ranah sipil dengan diterbitkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor 6 dan 7 Tahun 2000.

"Keterlibatan TNI dalam ranah sipil akan mengganggu sendi-sendi demokrasi," ujarnya.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal Mohammad Sabrar Fadhilah, enggan berkomentar lebih lanjut dengan dalih belum membaca catatan YLBHI.

Namun perihal keterlibatan TNI di ranah sipil, menurutnya, selama ini selalu atas ajakan dan koordinasi pihak lain.

“Hanya jika diminta,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.