Gerakan Internet Sehat Generasi Muda di Malang
2018.02.02
Malang
Sekitar 30 pelajar Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) berdiri, berbaris dan berjajar di pelataran gedung Education Quality Improvement Consortium (EQUIC), konsorsium sejumlah lembaga pendidikan swasta di Kabupaten Malang, Jawa Timur, untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Pegiat literasi media, Sari Idayatni, berdiri di depan mereka saat memberikan pelatihan pada Rabu, 31 Januari 2018.
Ia menginstruksikan peserta agar menghitung, selama sepekan berapa lama menggunakan internet, termasuk mengakses media sosial.
“Tanpa suara, silahkan hitung berapa lama menggunakan internet. Segera berbaris, diurutkan mulai yang mengakses internet paling sedikit sampai paling lama,” ujar Sari.
Bergegas, para pelajar menghitung dan berbaris diurutkan dengan komposisi sesuai instruksi. Menggunakan bahasa tubuh dan isyarat mereka berjajar. Sari mengecek mulai baris pertama, untuk menentukan urutan.
Dua peserta mengaku selama sepekan, tak menggunakan media sosial. Mereka adalah santri satu pesantren di Gondanglegi, Malang. Peraturan pesantren, santri dilarang menggunakan internet.
Sedangkan dua pelajar mengaku menggunakan internet sepekan selama 70 jam. Mereka kaget setelah menghitung ternyata cukup lama, sekitar 10 jam per hari.
“Setiap ada kesempatan membuka HP, membuka internet. Paling banyak menggunakan media sosial,” kata seorang dari mereka.
Sari melanjutkan permainan, meminta mereka berjajar. Lantas meminta para pelajar maju satu langkah jika menggunakan aplikasi di internet yang disebutkan Sari.
Ia menyebut mulai Facebook, Instagram, Twitter, games, WhatsApp, jual beli online atau daring, Youtube dan mengakses portal berita. Dari permainan diketahui jika pengguna internet paling banyak mengakses Facebook.
Dampak internet
Usai di luar, Sari mengajak pelajar masuk ke ruang belajar. Ia menunjukkan data mengenai penetrasi pengguna internet dan perilakunya dari hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Anak dan dewasa rentang antara 10 sampai 24 sebanyak 75,5 persen mengakses internet, sedangkan urutan pertama usia 25 sampai 34 sebesar 75, 8 persen. Berdasarkan pekerjaan, pelajar yang mengakses internet sebesar 69,8 persen.
Jumlah pengguna internet 129,2 juta orang atau 97,4 mengakses media sosial, 128,4 juta atau 96, 8 persen hiburan, 127,9 juta atau 96,4 persen mengakses berita dan 124,4 juta atau 93,8 persen untuk pendidikan.
Survei dilakukan pada November 2016. Untuk urusan media sosial, para pelajar sebagian besar menggunakan Facebook. Mereka tak membaca peraturan secara detail, memanipulasi umur untuk membuat akun Facebook.
“Jika tak punya Facebook katanya kurdet atau gak gaul,” ujar seorang pelajar, Nur Aisyah.
Sari kemudian mengenalkan soal regulasi, terutama Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), meliputi yang tak boleh dan berpotensi terjerat pidana di dunia digital semisal mencemarkan nama baik dan kejahatan lain.
Melalui permainan, mereka mendapat informasi dampak internet, seperti perundungan atau cyber bullying, perdagangan anak, radikalisme dan terorisme.
Sembari diputar video agar pelajar mudah memahami, Sari menyampaikan pesan untuk tak mengunggah teks, foto, dan video yang berpotensi memancing kejahatan.
“Jejak digital tak bisa dihapus. Sebelum mengunggah sesuatu pikirkan secara matang,” ujarnya.
Anak-anak, kata Sari, jiwanya masih labil kadang tak tahu risiko menggunggah sesuatu di media sosial.
Mereka juga belajar mengenal berita sesuai fakta dan membedakan hoax atau berita bohong, dengan cara diajak berselancar untuk membedakan situs berita yang bisa dipercaya dan abal-abal.
Dosen Komunikasi Universitas Tribuana Tunggadewi sekaligus pendiri komunitas Media Diet, Ellen Melanzi, Yasak menjelaskan hoax atau kabar bohong bergulir dan berkelindan di media sosial.
"Gampang menyebar, viral dan berlipat," ujarnya.
Berita hoax, berupa gambar lucu, meme, dan info grafis biasanya digunakan untuk kepentingan propaganda strategi politik untuk menjegal lawan. Media sosial juga memicu perundungan dan persekusi.
"Jangan sampai karena kebencian menyebabkan disintegrasi," imbuhnya.
Ellen juga melakukan gerakan serupa lewat Media Diet yang digagas sejumlah mahasiswa Ilmu Komunikasi.
Digital literasi juga dapat memberikan pelajar aman menggunakan media sesuai usia, termasuk memilah dan memilih berita.
Kampanye internet sehat
Usai mendapat materi pelatihan, peserta diminta menyusun rencana aksi di sekolah untuk menularkan pengetahuan berinternet kepada siswa lain, dan berkampanye internet sehat.
Direktur Equic, Mokhamad Iksan, menjelaskan bahwa literasi digital penting untuk para pelajar.
“Kemajuan teknologi informasi tak bisa dihindarkan. Mereka harus dipandu dalam mengakses internet, agar tahu dampak negatif maupun keuntungan berinternet,” tuturnya.
Equic sengaja mendampingi sekolah swasta pinggiran Malang yang kurang mendapat perhatian. Sedangkan pelajar punya kemauan untuk maju dan meningkatkan pengetahuan.
“Internet juga sudah menjangkau desa,” kata Iksan.
Siswa MTs Hasyim Asyari Desa Talangsungko, Kecamatan Turen, Malang, Silvi Nur Cahyani mengaku selama pelatihan dua hari ia mendapat pengetahuan berinternet dan mengetahui dampak negatif, sehingga harus memanfaatkan waktu secara proporsional.
Silvi tengah menyusun rencana aksi untuk menularkan pengetahuan berinternet sehat kepada siswa lain.
Ia menyiapkan kegiatan pelatihan cara berinternet lewat seminar, games dan membuat poster kampanye internet sehat.
“Agar teman-teman mendapatkan manfaat dan menggunakan internet secara bijak,” ujar Silvi.