Intoleransi Meningkat di Yogyakarta

Kusumasari Ayuningtyas
2017.01.18
Yogyakarta
160808_ID_LGBT_1000.jpg Seorang aktivis pro LGBT meringkuk dikelilingi polisi ketika terjadi bentrok antara kelompok pro dan anti LGBT di Yogyakarta, 23 Februari 2016.
AFP

Berbagai peristiwa yang berujung pada intoleransi meningkat tajam di Yogyakarta dalam dua tahun terakhir, demikian hasil pemantauan yang dilakukan sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat.

Menurut catatan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), terjadi 23 kasus intoleransi tahun 2016. Angka itu meningkat dibanding 15 kasus yang terjadi pada 2015. Sedangkan tahun 2011 hingga 2014 hanya ada lima kasus.

Koordinator ANBTI Yogyakarta, Agnes Ika Rusjiati kepada BeritaBenar, Rabu, 18 Januari 2017, menyebutkan kasus-kasus ini terus berulang karena tidak ada penegakan hukum yang tegas.

“Harus diakui juga, publik banyak yang diam,” katanya.

Agnes melihat, dorongan publik menjadi hal yang penting karena pemerintah kemudian akan melihat suatu peristiwa sebagai prioritas saat desakan menguat. Publik juga harus mendorong pemerintah melakukan penyelesaian suatu kasus.

Pada awal tahun 2017, Bupati Bantul Suharsono berjanji memutasi Camat Pajangan setelah sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat menuntut Camat Yulius Suharto yang beragama Katolik diganti karena dianggap tak sesuai karakteristik mayoritas Islam di daerah itu.

Protes warga muncul setelah Yulius meresmikan sebuah patung kepala Yesus di Gereja Santo Yakobus Alfeus. Patung itu menjadi latar belakang foto bersama ibu-ibu pengajian yang kemudian viral di internet.

Awal Desember 2016, muncul ancaman dan penurunan baliho penerimaan mahasiswa baru karena bergambar mahasiswi berjilbab di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta oleh Forum Umat Islam (FUI).

Pondok Pesantren Al Fattah di Banguntapan, Bantul, yang dikenal sebagai satu-satunya pesantren Waria di Indonesia ditutup setelah didatangi massa yang mengatasnamakan Front Jihad Islam (FJI), Februari 2016.

Pada 20 Juli 2015, sekelompok orang membakar Gereja Saman di Bantul, dengan menggantungkan ban sepeda motor yang telah dibakar di pintu gereja setelah sepekan sebelumnya sempat didatangi massa FJI.

Menurut Agnes, dari 23 kasus yang terjadi tahun lalu, 13 di antaranya berkaitan dengan kebebasan beragama dan 10 lainnya menyangkut kebebasan berekspresi.

‘Punya alasan’

Komandan lapangan FJI Yogyakarta, Abdurrahman mengaku semua aksi mereka punya alasan yaitu penegakan amar ma’ruf nahi mungkar atau mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan serta dakwah kepada masyarakat.

Bila aksi dianggap sebagai intoleransi, kata Abdurrahman, itu karena masyarakat belum paham secara menyeluruh alasan mereka melakukan tindakan tersebut.

“Kita bergerak disebut radikal juga anarkis, tapi tahap-tahap awal kita melakukan aksi mereka tidak paham,” ujarnya.

Menurutnya, sebelum melakukan aksi pihaknya selalu mendekati masyarakat dan memberi tiga kali peringatan kepada pihak terkait. Terakhir mereka juga berkoordinasi dengan aparat.

“Kalau aparat tidak bergerak, baru kita bergerak,” ujarnya saat dikonfirmasi BeritaBenar.

Abdurrahman mencontohkan aksi yang berujung pada penutupan Pondok Pesantren Al Fattah untuk menegakkan akidah karena waria “masuk kategori penyimpangan akidah.”

‘Kota paradok’

Dosen Ilmu Politik di Universitas Gajah Mada (UGM), Bayu Dardias memaparkan bahwa Yogyakarta adalah “kota paradok” yang memungkinkan terjadi pertemuan antara elemen toleran dan intoleran.

Yogyakarta juga menjadi pelopor Institute for Interfaith Dialogue (Interfidei), sebuah program toleransi yang pada saat berdirinya dibidani oleh konsorsium pendidikan, UGM, Universitas Islam Negeri (UIN) dan Sanata Dharma, yang kegiatannya kini telah berkembang di berbagai wilayah di Indonesia bekerja sama dengan jaringan di daerah-daerah.

“Jadi sejak awal, akar intoleransi sudah ada di Yogyakarta, tinggal melihat elemen toleran atau intoleran yang lebih kuat,” jelasnya kepada BeritaBenar.

Menurut Bayu, sejak awal era reformasi, Yogyakarta telah menjadi markas Laskar Jihad pimpinan Ja’far Umar Thalin dan Majelis Mujahidin Indonesia (MII) pimpinan Abu Bakar Baasyir yang kemudian pecah dan dipimpin Irfan Awwas.

“Sampai kini, tampaknya kelompok toleran belum menemukan cara efektif melawan intoleransi karena tentunya kelompok toleran tidak akan menggunakan cara-cara kekerasan atau intimidasi seperti yang dilakukan kaum intoleran. Cara-cara damai membutuhkan waktu karena yang disasar adalah kesadaran,” tutur Bayu.

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengaku tidak lepas tangan atas kasus-kasus intoleran yang terjadi di daerahnya.

Mereka tetap memantau dan menindaklanjuti. Jika pemerintah kabupaten tidak mampu menangani masalah tersebut, pemerintah provinsi yang turun tangan secara langsung.

“Penanganan dari Pemprov lebih pada sosialisasi dan penegasan, kita mendorong dan mendukung penegakan hukum secara konsekuen dan tidak tebang pilih,” ujar Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DIY, Agung Supriyono.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.