Syafii Maarif: Ancaman Kekerasan karena Pemahaman Agama Keliru
2017.01.03
Jakarta
Maraknya ancaman kekerasan sebagian kelompok masyarakat terhadap kaum minoritas akhir-akhir ini adalah karena pemahaman agama yang keliru, kata seorang tokoh masyarakat.
“Teologinya adalah teologi kematian. Mengajarkan berani untuk mati karena tak berani untuk hidup,” kata Ahmad Syafii Maarif saat diwawancara BeritaBenar di Jakarta, Jumat, 30 Desember 2016.
Dia mencontohkan penyerangan kelompok Islam garis keras terhadap penganut Syiah di Kendari, Sulawesi Tenggara, Oktober tahun lalu, dan pembubaran ibadah umat Kristiani di Sasana Budaya Ganesha di Bandung, Jawa Barat, Desember 2016.
“Kita, umat Islam, seringkali berujung pada menyalahkan pihak lain. Tak mau belajar,” kata mantan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Muhammadiyah itu.
Selain itu, beberapa kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas memang berulang kali terjadi di Indonesia sepanjang 2016.
Pada Januari 2016, misalnya, ribuan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) diusir dari pemukimannya di Mempawah Timur, Kalimantan Barat. Empat bulan berselang, masjid Ahmadiyah di Kendal, Jawa Tengah, dirusak sekelompok orang.
“Yang ramai sekarang adalah gerakan putus asa,” ujar Syafii, “banyak yang bermental kalah sehingga seringkali kalap. Tak stabil dalam berpikir.”
Meningkat
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir Agustus lalu, ancaman kekerasan di masyarakat memang memburuk. Pada 2015, angka ancaman kekerasan naik menjadi 89,39 poin dari 80,15 poin tahun 2014.
Tak cuma memburuk, menurut Kepala BPS, Suharoyanto, ancaman kekerasan itu telah berganti pola. Jika sebelumnya pola ancaman kekerasan dari militer ke sipil, kini muncul dari sesama kelompok masyarakat.
“Terutama dari kelompok mayoritas kepada minoritas,” kata Suhariyanto di kantornya.
Deputi bidang Statistik Sosial BPS, Sairi Hasbullah, menambahkan akibat meningkatnya ancaman kekerasan itu, indeks demokrasi Indonesia menurun.
Indeks demokrasi adalah ukuran iklim berdemokrasi Indonesia yang disusun BPS setiap tahun, sejak 2008.
Pada 2015, iklim demokrasi Indonesia tercatat 72,82 poin, turun dari tahun sebelumnya yaitu 73,04 poin. Angka tahun 2015 lebih tinggi ketimbang 2013, saat indeks demokrasi tercatat 63,72 poin.
Besaran itu menggambarkan bahwa iklim berdemokrasi Indonesia masih dalam kategori sedang. Poin kategori sedang terentang antara 60-80 poin. Kategori buruk di bawah 60 poin. Adapun kategori baik jika di atas 80 poin.
Perhitungan indeks demokrasi didapat dengan menggunakan empat sumber data, yakni review pemberitaan surat kabar terkait konflik sosial di masyarakat; review peraturan daerah diskriminatif, semisal, aturan terkait penghormatan bulan Ramadhan; diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat; dan wawancara mendalam dengan berbagai tokoh serta wawancara langsung masyarakat.
Selain ancaman kekerasan, variabel lain perhitungan indeks demokrasi adalah tingkat kepercayaan di tengah masyarakat. Pada 2015, angka kepercayaan itu turun menjadi 49,5 poin dari 59,4 poin pada 2012. Penghitungan indeks kepercayaan dilakukan setiap tiga tahun.
"Hubungan antarmanusia, bisa dikatakan, kian kurang lengket," ujar Sairi. “Sehingga, jika dikaitkan, rendahnya variabel-variabel itu mengganggu proses berdemokrasi di Indonesia.”
Isyarat serius
Sosiolog dari Universitas Gajah Mada, Najib Azka, mengatakan survei BPS itu seharusnya menjadi isyarat serius bagi pemerintah dan rakyat Indonesia untuk mencari solusinya.
Pasalnya, jargon yang menyebutkan rakyat Indonesia adalah masyarakat yang rukun dan suka bergotong-royong tak lagi terlihat lewat hasil survei tersebut.
"Kenyataannya, sekarang sudah banyak berubah," katanya.
Perihal perubahan kondisi sosial itu, Najib menyatakan, media sosial sebagai salah satu pemicu. Menurutnya, media sosial di Indonesia penuh kabar tak terverifikasi, bahkan cenderung palsu.
"Beredar dengan cepat sehingga menguatkan rasa tak percaya," ujarnya.
"Kelompok agama tertentu, kadang menyebarkan berita negatif tentang kelompok lain. Ini memperkuat prasangka buruk sehingga makin lama semakin tak percaya."
Untuk memperbaiki masalah itu, Najib berharap pemerintah tak lelah memproduksi kabar-kabar positif dan inspiratif serta mengklarifikasi segala berita tidak benar dan provokatif yang berseliweran di media sosial.
"Dari situ, trust bisa dibangun lagi," ujarnya.
Tetapi, pengamat sosial dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, meragukan solusi yang ditawarkan Najib. Musababnya, Syarif menilai masyarakat sudah kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara.
"Jadi, apapun informasi yang diberikan dilihat sebagai rekayasa," katanya.
Ia mencontohkan kasus hukum yang melilit Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama terkait dugaan penistaan Al-Quran.
Meskipun pemerintah berulang kali menyatakan tak ada perlakuan istimewa atas Ahok, desakan dari sebagian pihak tetap tinggi.
"Sebaiknya digelar rekonsiliasi dan dialog antara pemerintah dan tokoh masyarakat, serta komitmen untuk dijalankan secara konsisten oleh semua pihak,” saran Syarif.
Adapun Syafii menekankan perlunya ketegasan pemerintah, terutama dalam penegakan hukum, sebagai jalan pembenahan atas masalah tersebut.
“Selama ini, kan, yang punya akal sehat seperti mengalah. Tapi justru karena yang waras diam, mereka seperti menang,” pungkasnya.