IPAC: Indonesia Kurang Vokal dalam Masalah Muslim Uighur
2019.06.20
Jakarta
Tidak mau dituduh mencampuri urusan dalam negeri China dan melihat persekusi Pemerintah Beijing atas Muslim Uighur sebagai respons tepat terhadap separatisme, menyebabkan kurang vokalnya Indonesia dalam mengecam kekerasan Negara Tirai Bambu itu atas minoritas Uighur, demikian laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), lembaga think tank berbasis di Jakarta.
Laporan yang dirilis Kamis, 20 Juni 2019 itu, menyebutkan bahwa fakta China adalah mitra dagang utama dan investor kedua terbesar di Indonesia menambah diamnya negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, terhadap kesewenang-wenangan yang diterima minoritas Muslim di kawasan otonom Xinjiang itu.
"Namun ekonomi bukanlah faktor utama. Untuk Indonesia, permasalahannya lebik kompleks,” sebut laporan tersebut.
Bagi Kementerian Luar Negeri Indonesia, keenganan untuk bersuara keras juga disebabkan oleh banyak isu lain yang lebih penting berkaitan dengan China, seperti masalah Laut China Selatan, papar laporan itu.
Kepiawaian diplomasi China dalam merangkul organisasi-organisasi Muslim terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dengan mengundang pimpinan organisasi tersebut melihat langsung ke Xinjiang tampaknya berhasil meyakinkan bahwa tidak ada pelanggaran kebebasan beragama di sana.
“Organisasi-organisasi Islam terbesar Indonesia merespons laporan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan sangsi, memilih untuk melihatnya sebagai propaganda Amerika dalam perang kekuasaan Amerika-China,” demikian paparan laporan IPAC.
Disamping itu, masalah Uighur yang sangat dipolitisir di Indonesia, dimana kubu anti pemerintah memainkan "diamnya pemerintah" sebagai bukti Presiden Joko Widodo adalah anti-Muslim dan pro-China, semakin menyebabkan keengganan Jakarta mengangkat isu ini, papar laporan itu lebih lanjut.
Menanggapi laporan IPAC tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir menepis tuduhan kurang perhatian Indonesia dalam laporan itu.
"Kita tidak hanya tinggal diam. Wakil Indonesia merupakan sedikit perwakilan asing di Beijing yang juga sudah meninjau lokasi Uighur," katanya saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Dia menjelaskan, Desember lalu, Indonesia bahkan telah memanggil duta besar China untuk Indonesia terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur, menyusul serangkaian aksi demonstrasi yang dilancarkan kelompok Islam.
Hati-hati
Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Indonesia memang harus berhati-hati terkait isu Uighur karena terkait dengan integrasi suatu negara.
"Nggak benar kalau nggak vokal tapi ada dugaan bahwa bukan tidak mungkin Uighur pisah dari China. Nah ini yang tidak bisa didukung oleh Indonesia," katanya kepada BeritaBenar.
Menurutnya, sulit menyampaikan kebenaran mengenai Uighur di China karena setiap negara tidak suka jika dicampuri urusan dalam negerinya.
"Ini kan juga menyangkut HAM jadi bukan tidak mungkin ada pihak tertentu yang punya agenda supaya China tidak menjadi negara kuat di dunia," ujar Hikmahanto.
Dia menambahkan, semua pemberitaan harus proporsional karena menyangkut HAM dan separatisme yang merefleksikan masalah dalam negeri.
"Yang pasti ditolak adalah jika ada ranah yang dijajah oleh negara lain karena kebijakan luar negeri bergantung dari apa yang terjadi di negara sendiri, bukan karena Indonesia takut menyinggung karena China negara besar," katanya.
Sedangkan Ketua Centre for Chinese Studies-Indonesia, Rene Pattirajawane, mengatakan Indonesia tidak diharuskan vokal dalam persoalan Uighur.
"Apakah Uighur itu terkait dengan masalah kemerdekaan? Atau masalah perdamaian abadi? Atau keadilan sosial? Unsur-unsur ini yang selalu melekat pada para pelaksana kebijakan luar negeri Indonesia dari waktu ke waktu, dan yang paling penting adalah tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain," katanya saat dihubungi.
Menurut dia, pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia tidak pernah didasarkan pada “megaphone diplomacy” karena ada cara-cara yang dilakukan Indonesia tanpa gembar-gembor untuk menyatakan sikapnya atas persoalan Uighur.
"Menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, tidak mengharuskan Indonesia untuk menjadi sebuah negara Islam, seperti Malaysia atau Bangladesh atau Pakistan," ujarnya.
Harus diakui, tambah Rene, pemerintah Indonesia kesulitan bersikap untuk menentukan posisi atas masalah Uyghur, karena stigma yang rancu disebut sebagai “tiga kekuatan” terdiri dari terorisme, separatisme, dan ekstremisme, menurunnya kapasitas kekuatan ekonomi China dan kecenderungan China menjadikan kelompok minoritas etnik religio-sosialime.
"Kita tidak bisa serta merta memahami apakah Uighur ini masuk persoalan terorisme, menjadi ekstremisme dalam berbagai insiden kekerasan seperti bentrokan dengan aparat keamanan, atau menjadi persoalan separatisme karena keterlibatan sekelompok organisasi radikal seperti ETIM (Gerakan Islami Turkestan Timur)," katanya.
Protes
Sedangkan, Rektor Universitas Muhammadiyah di Jakarta, Syaiful Bakhri menilai bahwa setiap kejahatan kemanusiaan berat maka itu adalah pelanggaran HAM sehingga PBB harus turun tangan untuk mengatasinya.
"Jika terjadi kejahatan kemanusiaan yang berat terhadap etnis kelompok agar musnah maka internasional harus melakukan protes saat negara yang melakukan itu tidak lagi objektif," katanya.
Dalam kasus Uighur, menurut Syaiful, Indonesia tentu akan mengacu kepada konstituti dan menolak kejahatan yang melanggar peradaban dunia.
"Sudah seharusnya Indonesia melakukan protes terhadap suatu pemerintah yang tidak beradab itu. Jika tidak bisa menyelesaikan berarti bukan kesalahan negara tapi rezim yang berkuasa di sana," ujarnya.