IPAC: Kelompok militan tetap menjadi ancaman di Poso meski teroris sudah habis

Pizaro Gozali Idrus
2023.06.27
Jakarta
IPAC: Kelompok militan tetap menjadi ancaman di Poso meski teroris sudah habis Kapolda Sulawesi Tengah Irjen. Pol. Rudy Sufahriadi memperlihatkan foto anggota terakhir Mujahidin Indonesia Timur yang tewas di tangan aparat, Al Ikhwarisman alias Jaid, dalam konferensi pers di Poso, Sulawesi Tengah, 30 September 2022.
Keisyah Aprilia/BenarNews

Terlepas dari berlangsungnya operasi keamanan dan program deradikalisasi selama bertahun-tahun, militan Islam tetap aktif di Poso, Sulawesi Tengah, di mana kelompok militan pro-ISIS yang sekarang sudah dibasmi melakukan aksi teror selama lebih dari satu dekade, ungkap lembaga riset pada Selasa.

Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berbasis di Jakarta yang diterbitkan pada Selasa (27/6) mengungkapkan bahwa meski kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dibasmi pada September tahun lalu, Poso tetap rentan terhadap kembalinya radikalisasi karena jaringan ekstremis masih ada dan beberapa eks anggota tidak puas melihat langkah-langkah kontra-terorisme pemerintah yang dinilai kaku.

Selain itu, kata laporan IPAC, beberapa mantan pelaku terorisme telah keluar dari penjara setelah menjalani hukumannya – sekitar 26 mantan narapidana MIT telah dibebaskan antara tahun 2017 dan 2022.

"Poso memiliki peluang untuk meninggalkan ekstremisme kekerasan, tetapi akan diperlukan intervensi yang lebih terarah dan kemauan untuk melakukan koreksi dan perbaikan dalam program yang sedang berlangsung," kata laporan itu.

Poso merupakan lokasi konflik antara masyarakat Kristen dan Muslim pada 2000 hingga 2001 yang menewaskan ribuan orang dan memaksa banyak orang mengungsi. Konflik tersebut juga menarik orang-orang Muslim radikal dari seluruh Indonesia, yang mendirikan basis pergerakan mereka di Poso.

Salah satu kelompok militan yang paling menonjol adalah MIT, yang beberapa kali menyerang polisi dan umat Kristen, termasuk dengan memenggal kepala korban. Kelompok ini menjadi salah satu sasaran utama aparat keamanan.

Pada akhir 2015, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan aparat keamanan untuk mengakhiri kekerasan di Poso, dan polisi serta militer mengintensifkan operasi mereka melawan MIT, mengadopsi kebijakan mematikan dan tidak membiarkan mayatnya dikuburkan di desa asal mereka.

Taktik ini mengasingkan keluarga dan komunitas setempat, yang merasa terhina dan didiskriminasi oleh pihak berwenang, menurut laporan IPAC.

Poso memiliki salah satu konsentrasi terbesar pelaku terorisme yang dibebaskan pemerintah, dan beberapa dari individu ini kemungkinan besar akan melakukan radikalisasi ulang, kata laporan itu.

Sejak 2017 hingga 2022, sekitar 26 mantan tahanan MIT dari Poso yang telah menjalani hukuman mereka secara penuh dibebaskan, dan beberapa lainnya akan dibebaskan pada akhir 2023 dan 2024, kata laporan itu.

Laporan tersebut berargumen bahwa fokus pemerintah pada penegakan hukum mengorbankan upaya mengatasi akar penyebab ekstremisme di Poso.

IPAC meminta pemerintah untuk meningkatkan upaya untuk menjembatani komunitas Kristen dan Muslim, memperkuat program deradikalisasi yang sudah ada, memberikan lebih banyak dukungan kepada keluarga mantan militan dan bekerja dengan komunitas lokal untuk mengatasi akar penyebab ekstremisme.

Laporan itu juga mengatakan kelompok ekstremis lain, Jamaah Islamiyah (JI), yang berada di balik pengeboman Bali tahun 2002 dan serangan lainnya di Indonesia, memiliki pengaruh yang kuat di Poso sejak awal tahun 2000-an, namun dilemahkan oleh sejumlah penangkapan pada tahun 2007.

Kelompok tersebut mulai membangun kembali jaringannya sejak tahun 2009 dan seterusnya, terutama setelah pembebasan pemimpinnya, Hasanudin, dari penjara pada tahun 2016.

Hasanudin dipuji sebagai contoh keberhasilan deradikalisasi oleh beberapa pejabat dan media, tetapi dia diam-diam menjabat sebagai koordinator JI untuk Poso dan Palu, merekrut anggota baru, menyebarkan ajaran JI, dan mengaktifkan kembali pelatihan militer.

Dia ditangkap kembali pada Agustus 2021 dan kemudian dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.

Laporan tersebut juga mengidentifikasi potensi sumber aktivitas ekstremis baru di Poso, seperti mantan narapidana berisiko tinggi yang akan segera dibebaskan setelah menjalani hukuman penuh tanpa pernah meninggalkan kekerasan atau mencari grasi.

Salah satunya adalah Awaludin, seorang guru di sebuah pesantren yang mendukung MIT dan merencanakan serangan bom sebelum penangkapannya pada tahun 2019. Dia dijadwalkan untuk dibebaskan pada tahun 2023.

Program deradikalisasi tidak efektif

Laporan itu mengatakan beberapa program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tidak memiliki kriteria, evaluasi, atau akuntabilitas yang jelas.

Beberapa dari program ini telah menimbulkan kebencian baru terhadap pemerintah di kalangan penerima manfaat yang merasa dieksploitasi atau distigmatisasi, katanya.

Pejabat BNPT tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar. Kepala BNPT, Rycko Amelza Dahniel, dalam pertemuan dengan DPR pekan lalu mengatakan bahwa lembaganya hanya memiliki sumber daya yang cukup untuk menangani 246 dari 1.400 mantan narapidana di seluruh Indonesia.

“Kami memiliki tenaga dan kompetensi yang terbatas,” katanya seperti dikutip CNN Indonesia.

Dia mengatakan anggaran badan tersebut telah diturunkan menjadi Rp431 miliar tahun ini, dari Rp712 miliar pada 2016.

Rakyan Adibrata, analis di International Association for Counterterrorism and Security Professionals, memperingatkan bahwa militan Islam dapat muncul kembali di Poso jika pemerintah tidak memperbaiki program deradikalisasinya.

“Mereka bisa saja tidak melakukan aksi terorisme tapi pandangan mereka terhadap kekerasan dan radikalisme cukup tinggi,” ujar Rakyan kepada BenarNews.

Rakyan menambahkan, program deradikalisasi di Indonesia tidak efektif karena undang-undang pemberantasan terorisme tidak mewajibkan program tersebut kepada narapidana dan mantan narapidana terorisme.

“Bila ada satu buah revisi yang mewajibkan program deradikalisasi dijalankan, maka dapat dipastikan efektivitas program deradikalisasi berjalan lebih baik dibanding saat ini,” kata Rakyan.

Pengamat terorisme Al Chaidar mengakui kelompok MIT masih ada di Poso walaupun dalam keadaan yang sangat sulit.

Namun, dia menyangkal masih adanya aktivitas terorisme Jamaah Islamiyah di Poso.

“JI di Poso sudah tidak aktif lagi setelah MIT menyatakan baiatnya ke ISIS (Islamic State of Iraq and Syria),” kata Al Chaidar kepada BenarNews.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.