Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang lebih terarah dan berkelanjutan untuk mencegah residivisme karena lebih dari 150 narapidana terorisme akan bebas tahun 2021, demikian laporan Lembaga resolusi konflik Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang dirilis Jumat (4/9).
"Salah satu tugas paling penting adalah memonitor secara dekat aktivitas mereka yang ditahan pada 2018 yang kini sudah hampir bebas," kata Direktur Eksekutif IPAC, Sidney Jones, kepada BenarNews.
"Menjadi sangat penting untuk menilai setelah hukuman yang singkat, apakah mereka kembali dengan kondisi lebih radikal, berkurang (radikal), atau sama saat ditangkap."
Selama ini, terang Sidney, pemantauan terhadap eks-narapidana terorisme tergolong tidak begitu ketat.
Ia mencontohkan kasus Sutomo bin Sudarso alias Ustaz Yasin yang ditangkap aparat keamanan di Poso, Sulawesi Tengah, pada Selasa (1/9), atas dugaan keterkaitan dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok militan bersenjata pro Negara Islam (ISIS).
Penangkapan ini merupakan yang kedua bagi Ustaz Yasin, setelah November 2012. Seperti pengakuan Ustaz Yasin sendiri, yang juga ditegaskan mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai, yang bersangkutan adalah salah satu pendiri MIT, selain Santoso dan Abu Tholut
Sejak bebas, kata Sidney, Ustaz Yasin kemudian mendirikan dua pesantren di Poso Kota dan Poso Pesisir, masing-masing bernama sama yakni Daarul Anshar. Pesantren itu menjadi pusat perekrutan anggota ekstremis di Poso.
"Kenapa dibiarkan sampai ada sekian banyak rekrutan baru? Seharusnya ada yang mendekati sejak lama," kata Sidney.
Selain monitoring yang tergolong lemah, IPAC pun menyoroti kebijakan pemerintah terhadap eks-narapidana terorisme yang cenderung sporadis dan tidak berkelanjutan. Mereka tidak dipantau, apakah memiliki sumber pendapatan selepas bebas dari penjara.
Padahal, perhatian berkelanjutan terhadap keberlanjutan hidup setelah bebas dari penjara dinilai Sidney dapat mengubah persepsi eks-narapidana terhadap pejabat pemerintah dan polisi, yang selama ini mereka anggap sebagai musuh utama, atau yang oleh militan disebut sebagai thogut.
"Yang bisa mengubah sikap mereka melihat polisi dan pejabat sebagai orang baik adalah pendekatan manusiawi. Selama ini ada, tapi bersifat ad-hoc. Bagaimana dampak COVID-19 terhadap mereka juga belum ketahuan," lanjut Sidney.
Laporan IPAC itu juga menyorot masalah residivisme yang dinilai tidak terlalu menjadi fokus BNPT, dengan mengutip salah satu pimpinan dari badan tersebut yang mengatakan bahwa pada 2018, hanya ada tiga resides teroris sejak 2002. BNPT mengaitkan hal itu dengan keberhasilan program deradikalisasi lembaga itu.
Sebaliknya, IPAC mengatakan program deradikalisasi BNPT "sebagian besar tidak efektif".
“Program BNPT bersifat sukarela, dan banyak narapidana yang tidak tertarik. Program itu juga lebih fokus pada menanamkan kesetiaan kepada ideologi kebangsaan Indonesia daripada memberikan para tahanan atau setelah mereka dibebaskan, tujuan-tujuan baru, keterampilan untuk mendapatkan kerja atau akses ke jaringan baru,” demikian laporan tersebut.
Baik BNPT maupun kepolisian menolak berkomentar atas laporan IPAC tersebut dengan alasan belum membaca dokumen itu.
94 kasus residivisme
Dalam penelitian berjudul Terorisme, Residivisme, dan Rencana Pembebasan di Indonesia itu, IPAC mencatat setidaknya terdapat 94 kasus residivis terorisme selepas Bom Bali 2002 hingga akhir Mei 2020.
Residivisme dimaknai IPAC sebagai mereka yang kembali ditangkap usai dinyatakan bebas dari kasus terorisme, terbunuh saat operasi penangkapan oleh Detasemen Khusus Antiteror 88, dan mereka yang bebas lalu mencoba bergabung dengan ISIS tapi tertangkap di perjalanan dan dideportasi lalu ditahan di Indonesia.
IPAC pun memasukkan mereka yang melakukan pidana terorisme saat masih menjalani tahanan ke dalam kategori residivis, seperti kasus tahanan dan narapidana yang terlibat kerusuhan di rumah tahanan Mako Brimob Depok di Jawa Barat pada 2018.
"Keseluruhan 94 residivis itu adalah laki-laki karena penangkapan ekstremis perempuan secara signifikan baru terjadi pada 2018 dan belum ada yang melakukan pidana kedua," tambah IPAC dalam rilisnya.
Terkait penyebaran daerah residivis, 58 orang tercatat di Jawa, sepuluh di Sumatra, 18 kasus di Sulawesi, empat di Sumbawa Nusa Tenggara Barat, dan empat kasus di Maluku.
Adapun penyebaran usia residivis paling banyak di rentang produktif, 26-35 tahun yakni 42 orang. Sebanyak 26 orang berusia 36-45 tahun, 12 orang berusia 16-25 tahun, empar orang di atas 46 tahun, dan delapan orang tidak diketahui.
Mengenai motif para eks-narapidana kembali terlibat dalam terorisme, IPAC menyebut sejumlah faktor seperti dorongan pribadi yang ingin membuktikan bahwa mereka tidak berkhianat dan membocorkan rahasia organisasi selama di tahanan, seperti dalam kasus Bagus Budi Pranoto alias Urwah yang bergabung kembali dengan pentolan kelompok teror Jamaah Islamiyah, Noordin M. Top, pada 2009 atau dua tahun selepas menghirup udara bebas.
Urwah tewas dalam operasi kepolisian pada September 2009, bersamaan dengan Noordin M. Top.
"Cara paling mudah untuk membuktikan diri masing "bersih" adalah ambil bagian dalam aksi jihad," lanjut IPAC.
Motif lain adalah pertemuan dengan ideolog ekstremis di penjara dan penerimaan baik oleh anggota ekstremis lain selepas bebas, seperti dalam kasus Asrak di Bima. Ia berkenalan dan ideolog yang berafiliasi dengan ISIS Yadi al-Hasan di Nusakambangan.
Selepas kembali ke Bima, Asrak yang sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara pada 2011 itu kemudian disambut layaknya pahlawan oleh simpatisan ISIS lain.