IPAC: Kerja Sama Trilateral Tak Mampu Cegah Terorisme, Penculikan di Laut Sulu

Peneliti melihat fokus hanya pada respons militer adalah keliru karena apa yang terjadi disana bukan masalah militer.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2019.01.09
Jakarta
190109_ID_Trilateral_Patrol_1000.jpg Dalam foto yang dirilis oleh TNI pada 19 Juni 2017 ini memperlihatkan dari kiri ke kanan depan, Panglima TNI saat itu Gatot Nurmantyo, kepala militer Malaysia Raja Mohamed Affandi, dan pimpinan militer Filipina Eduardo Ano, menandatangani persetujuan patroli maritim ketiga negara di Tarakan, Kalimantan Utara.
AFP

Peningkatan kerja sama keamanan trilateral antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina tidak akan menghentikan ancaman terorisme dan penculikan di kawasan Laut Sulu dan Laut Sulawesi, demikian hasil penelitian Institut Analisis Kebijakan Konflik (Institute for Policy Analysis of Conflict/IPAC) yang dirilis Rabu, 9 Januari 2019.

Dalam laporan setebal 23 halaman, IPAC menyebutkan bahwa kerjasama itu mungkin bisa mengatasi saling tidak percaya dan memperbaiki komunikasi antara pasukan militer di kawasan, namun itu tak menghentikan ancaman keamanan di perairan ketiga negara. Para pembuat kebijakan di kawasan ini harus realistis, karena kebijakan yang dihasilkan adalah respons militer untuk mengatasi masalah yang pada dasarnya bukan masalah militer, demikian salah satu bahasan laporan lembaga yang berbasis di Jakarta itu.

Laporan itu menyebutkan “langkah-langkah tersebut akan sedikit meningkatkan keamanan untuk pelayaran kargo ketika dikombinasikan dengan patroli pantai nasional.”

Penculikan di laut lepas atau daratan untuk mendapat uang tebusan, bukan kejahatan biasa di wilayah Basilan, Zamboangan dan Sulu di selatan Filipina, namun merupakan industri terorganisir dengan baik, yang berakar mendalam di klan-klan politik lokal, kata laporan yang berjudul “Melindungi Laut Sulu-Laut Sulawesi dari Serangan Abu Sayyaf”.

“Pemberantasannya akan tergantung pada reformasi politik dan ekonomi jangka panjang, termasuk mencoba terus menerus untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan, memberikan alternatif sumber pendapatan, dan mencoba untuk memperbaiki sistem hukum kriminal yang disfungsional,” ujar Direktur IPAC, Sidney Jones dalam laporannya tersebut.

Sidney mengatakan dalam laporan itu bahwa untuk jangka pendek, patroli pantai yang makin gencar bisa berguna seperti yang telah ditunjukkan Malaysia, serta memperkuat kapasitas polisi.

Namun usaha untuk memperkuat kapasitas polisi air dapat mengakibatkan gesekan wewenang dengan operasi angkatan laut, terutama di saat inisiatif patroli trilateral telah mendeklarasikan keamanan maritim sebagai masalah militer dan bukan masalah penegakan hukum.

Sidney mengatakan operasi intelijen yang baik akan tepat untuk mengatasi masalah penculikan dan terorisme, karena informasi mengenai pergerakan keluar dan masuknya anggota jaringan Abu Sayyaf, petugas lapangan yang mereka pekerjakan sebagai pemantau, serta pertalian mereka dengan komunitas migran di Sabah tidak bisa didapat melalui patroli trilateral atau kerja sama inisiatif Our Eyes.

“Hal itu kemungkinan bisa didapat melalui tanya jawab dengan para penculik yang ditangkap, dan dilakukan secara berkali-kali dan dengan sabar. Karena itu penting untuk menangkap mereka hidup daripada menembak mereka dan informasi yang didapat mengenai sindikat dan jaringan mereka lalu dianalisa dengan baik oleh otoritas terkait dan dibagi ke mitra kerja di negara-negara tetangga,” ujarnya.

Tantangan

Inisiatif Our Eyes adalah gagasan Indonesia yang dilontarkan pada November 2017 di Filipina untuk saling berbagi informasi inteligen antar enam dari 10 anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), yaitu Indonesia, Brunei, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, dan terinspirasi oleh kerja sama inteligen Five Eyes antara Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

“Untuk ikut serta mewujudkan perdamaian dunia, Kementerian Pertahanan telah mengambil langkah dan inisiatif melalui penguatan kerja sama enam negara ASEAN, yaitu kerja sama Our Eyes,” ujar Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam jumpa pers akhir tahun, 27 Desember lalu.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan dalam pernyataan tahunan di kantor Kementerian Luar Negeri, Rabu, bahwa penculikan yang kerap terjadi di Laut Sulu merupakan tantangan keamanan laut yang dihadapi kawasan Asia Tenggara.

Kerja sama trilateral Indonesia, Malaysia dan Filipina adalah salah satu dari dua inisiatif Indonesia untuk merespon tantangan ini.

Inisiatif lain adalah pertemuan sub-regional kontra terorisme yang pertama kali dilakukan di Manado, pada Juli 2017 dan yang kedua dilakukan di Jakarta, November 2018.

“Keamanan Asia Tenggara dan kawasan sekitarnya merupakan kepentingan Indonesia dan semua negara ASEAN,” ujar Retno.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan bahwa sebagian besar dari 34 WNI disandera di Filipina Selatan sejak 2016 hingga November 2018 sudah berhasil dibebaskan.

WNI terakhir yang dibebaskan adalah Usman Yunus, pada 7 Desember 2018.

Usman diculik kelompok bersenjata di perairan dekat Pulau Gaya, Samporna, Sabah, pada 11 September 2018 bersama satu awak kapal WNI lainnya.

“Pemerintah terus melakukan upaya-upaya pembebasan terhadap tiga WNI yang saat ini masih disandera di Filipina selatan dengan menggunakan seluruh aset yang dimiliki di Indonesia maupun di Filipina. Dalam proses tersebut, keselamatan sandera selalu menjadi perhatian utama,” ujar Iqbal.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.