Pengamat: Pemerintah perlu repatriasi warga Indonesia pengikut ISIS di Suriah

Jika tidak, mereka berpotensi direkrut oleh milisi-milisi lain untuk berperang di Suriah atau di wilayan konflik lainnya.
Pizaro Gozali Idrus
2025.01.10
Jakarta
Pengamat: Pemerintah perlu repatriasi warga Indonesia pengikut ISIS di Suriah Anak-anak tampak bermain di luar tenda mereka di kamp al-Hol yang menampung keluarga para pejuang Negara Islam (ISIS) di Suriah, 1 Mei 2021.
Baderkhan Ahmad/AP

Para pengamat mendorong pemerintah Indonesia untuk memulai repatriasi secara bertahap terhadap lebih dari 300 warga negara Indonesia (WNI) eks-ISIS yang masih berada di kamp-kamp pengungsian Suriah.

Dorongan ini muncul seiring terbentuknya pemerintahan baru di Suriah setelah tumbangnya rezim Presiden Bashar al-Assad, yang berkuasa hampir 25 tahun.

Konflik di Suriah, yang dimulai pada tahun 2011 ketika terjadi gelombang pemberontakan anti-pemerintah Arab Spring, meninggalkan warisan kompleks, termasuk nasib para pejuang asing (foreign terrorist fighters - FTF) dan keluarga mereka.

Setelah kekalahan ISIS pada tahun 2019, banyak negara menghadapi dilema untuk memulangkan dan meradikalisasi ulang warga negaranya atau menuntut mereka atas kejahatan terkait terorisme.

Rezim Assad runtuh pada 8 Desember 2024 lalu setelah kelompok pemberontak berhasil menguasai Damaskus. Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Ahmad Sharaa kini membawa harapan baru bagi upaya diplomatik, termasuk potensi repatriasi WNI yang terjebak di kamp Al-Hol dan Roj.

Menurut para pengamat, jika mereka terus berada di kamp-kamp di Suriah berpotensi direkrut oleh milisi-milisi lain di luar ISIS untuk berperang di Suriah maupun menjadi tentara bayaran di wilayan konflik lainnya.

“Pemerintah Indonesia sebaiknya secara proaktif menjalin komunikasi dengan pemerintahan baru Suriah untuk memulai repatriasi warga Indonesia,” ujar Yanuardi Syukur, dari Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia kepada BenarNews.

“Di antara mereka ada yang ke Suriah dengan motif hijrah, ekonomi, ikut-ikutan keluarga, atau ideologis. Untuk faktor ideologis, perlu dipastikan bahwa mereka tidak memiliki ideologi teror,” tutur Yanuardi.

Menurutnya, Ahmad Sharaa —yang sebelumnya dikenal dengan nama Abu Muhammad al-Julani—menunjukkan sikap yang lebih moderate.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan setidaknya ada 375 WNI eks ISIS, termasuk 145 anak-anak di dalamnya di kamp Al Hol dan Roj di Suriah.

Menururt AFP, kamp al-Hol menampung para keluarga anggota ISIS dan dikelola oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pimpinan Kurdi yang didukung AS.

Populasi kamp itu telah melonjak lebih dari 70.000 orang, yang 30.000 di antaranya berasal dari Irak, ketika koalisi mulai memperketat cengkeramannya terhadap kubu terakhir ISIS di Baghouz pada akhir 2018, menurut AFP.

10-ID-syria2.jpg

Foto udara menunjukkan beberapa tenda dan bangunan lain tempat penampungan lebih dari 70.000 orang terkait dengan pejuang eks-Negara Islam (ISIS) di kamp al-Hol di Suriah, 27 Januari 2024. [Delil Souleiman/AFP]

Kepala Bagian Hukum, Hubungan Masyarakat, dan Teknologi Informasi BNPT Tjandra Sulistiyono mengatakan pihaknya masih melakukan pengkajian tentang siapa saja WNI eks-ISIS yang akan direpatriasi ke Tanah Air.

Pada Mei 2024 lalu, BNPT menyebut telah mengusulkan repatriasi kembali WNI yang terasosiasi FTF ke Presiden Joko Widodo seperti dilansir Antara.

Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT Irjen Pol. Ibnu Suhaendra mengatakan bahwa usulan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi warga Indonesia.

Ia menyebut sejumlah negara yang sudah memberlakukan kebijakan repatriasi, di antaranya Uzbekistan, Kirgiztan, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Malaysia, Maroko, dan Prancis.

BenarNews telah menghubungi kantor komunikasi kepresidenan perihal ini, namun tak mendapatkan jawaban.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri menolak berkomentar banyak terkait rencana ini.

Haula Noor, peneliti terorisme dan keluarga dari Universitas Islam Internasional Indonesia, mengatakan momentum mulai meredanya perang dan munculnya pemerintahan baru Suriah ini perlu dimanfaatkan pemerintah Indonesia untuk melalukan repatriasi.

“Ini perlu dilakukan. Khawatir jika terlalu lama di sana, mereka bisa dimanfaatkan oleh pasukan kurdi Suriah yang sedang berperang dengan tentara Turki,” ujar Haula kepada BenarNews.

Dia juga menilai mereka yang tinggal di kamp berisiko menjadi target eksploitasi atau rekrutmen ulang oleh kelompok ekstremis lain seperti Al-Qaeda yang benih-benihnya masih ada.

“Ini bisa menjadi cara bagi Indonesia untuk menjaga keamanannya,” jelas dia.

10-id-syria3(1).jpg

Seorang perempuan membawa barang-barangnya saat keluarga dari terduga para eks-pejuang Negara Islam (ISIS) bersiap meninggalkan kamp al-Hol di Suriah, 28 Juli 2024. [Delil Souleiman/AFP]

Pengamat Timur Tengah Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan para warga Indonesia pengikut ISIS juga berpotensi direkrut tantara bayaran untuk berperang di wilayah lain.

“Jadi mereka bisa berpindah-pindah tempat karena tidak ada pilihan lain dan cara mereka hidup bertahan adalah menjadi foreign fighters” kata Yon kepada BenarNews.

Pakar terorisme dari International Association for Counterterrorism and Security Professionals (IACSP) Rakyan Adibrata mengatakan bukan tidak mudah untuk membawa keluarga WNI eks-ISIS dari kamp-kamp di Suriah. Sebab banyak WNI yang menikah dengan warga asing di sana dan status anak mereka bukan WNI.

“Secara hukum Indonesia, anak-anak tersebut tidak otomatis menjadi warga negara Indonesia. Ini menjadi masalah tambahan dalam reintegrasi mereka,” ucap Rakyan.

Meski begitu, Rakyan sepakat bahwa anak-anak harus menjadi prioritas untuk dipulangkan karena mereka adalah korban utama radikalisasi.

“Saat ke Suriah, mereka tidak memiliki opsi untuk tidak berangkat dan tidak punya opsi untuk berargumen terhadap orangtua mereka,” jelas Rakyan.

“Proses deradikalisasinya butuh waktu lama, penangannya harus lebih rinci, post-traumatic stress disorder-nya kuat karena lama di zona konflik,” kata dia.

Adlini Ilma Ghaisany Sjah, Associate Research Fellow Centre for Political Violence and Terrorism Research (ICPVTR) Nanyang Technological University, mengatakan pemerintah perlu memastikan ada sumber daya yang cukup baik secara ruangan rehabilitasi dan personil untuk menangani WNI eks ISIS yang kembali.

“Idealnya ada pemisahan antara WNI yang masih ‘highly radicalised’ dengan yang tingkat radikalismenya lebih rendah dan sudah tidak percaya dengan ideologi-ideologi ISIS, serta pemisahan juga dari warga lain yang berada di lokasi-lokasi tersebut,” ujar Adlini kepada BenarNews.

Sebab kata dia, pada kasus-kasus sebelumnya, ada cross-radicalisation karena semua WNI yang balik digabungkan di satu tempat.

“Akhirnya yang lebih radikal masih bisa menyebarkan paham tidak baik. Untuk memastikan rehabilitasi berjalan dengan komprehensif,” ucap dia.

Pemerintah juga harus memastikan cukup sumber daya untuk setiap orang menjalani proses rehabilitasi sesuai kebutuhan. Program yang baik tidak akan cukup apabila WNI ex-ISIS dilepas hanya satu atau dua minggu setelah kembali.

“Kebijakan sekarang yang menyatakan WNI eks-ISIS akan direhabilitasi di pusat rehabilitasi selama minimal 3 bulan bahkan mungkin belum cukup untuk benar-benar melepaskan paham ISIS yang mereka anut sebelumya,” ujar dia.

Terakhir, tutur Adlini, pemerintah juga harus memastikan masyarakat setempat siap untuk menerima WNI eks-ISIS, agar mereka dapat dirangkul kembali oleh masyarakat.

“Kalau tidak, ada resiko WNI eks-ISIS akan merasa terkucilkan dan ini dapat menyebabkan residivisme,” pungkasnya.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.