Car Free Day Belum Bisa Pulihkan Udara Jakarta

Pemerintah DKI Jakarta targetkan untuk meningkatkan penggunaan transportasi publik dari 18 persen tahun ini ke 30 persen pada 2019.
Zahara Tiba
2017.09.26
Jakarta
170926_ID_Carrfree_1000.jpg Ribuan warga memadati jalan Thamrin dan Sudirman di Jakarta saat kegiatan Car Free Day, Minggu, 24 September 2017.
Zahara Tiba/BeritaBenar

Sambil terengah, Fransiskus Ryan mengelap keringat yang mengucur di wajahnya. Bersama seorang temannya, dia mengatur napas usai memacu sepedanya di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, Jakarta, Minggu pagi, 24 September 2017.

Mengayuh sepeda, berolahraga atau berlari ialah aktivitas yang mustahil mereka dan warga Jakarta lakukan jika bukan ketika Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau Car Free Day yang digelar setiap Minggu di sepanjang jalan protokol tersebut.

Bagi Ryan, bersepeda saat Car Free Day merupakan pengalaman pertama.

“Enak sih udaranya. Fisik juga lebih segar. Senang mencium udara Jakarta tanpa polusi. Saya harus lebih sering,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Sehari-hari, Ryan memilih menggunakan mobil pribadinya ke tempat bekerja dari rumahnya di kawasan Senayan. Pilihannya itu bukan tanpa alasan.

“Lebih nyaman dan angkutan transportasi umum belum terlalu bagus kalau saya lihat,” ujar staf IT sebuah perusahaan ini.

Dia setuju jika jadwal Car Free Day bisa diperpanjang hingga petang.

“Kalau bisa seharian. Jangan sampai jam 10 saja dan diaplikasikan ke seluruh kota. Jangan di jalan-jalan tertentu saja seperti sekarang,” katanya.

Sayangnya, dukungan Ryan terhadap Car Free Day tak didukung kesadaran warga Jakarta untuk perlahan meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum.

Sebuah laporan baru-baru ini menyebutkan, udara Jakarta merangkak ke posisi ketiga dalam daftar kota-kota dunia dengan tingkat polusi terburuk, setelah Dhaka dan Beijing.

Laporan ini didapat dari hasil pantauan indeks kualitas udara tepat waktu yang diunggah ke aplikasi Airvisual, 15 September lalu.

Bahkan Agustus lalu, Jakarta sempat menduduki peringkat pertama.

Hasil penelitian organisasi non-profit Greenpeace menunjukkan kandungan zat pencemar udara yang biasa disebut PM2.5 di Jakarta dan sekitarnya tiga kali lebih tinggi daripada yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Ini berarti udara di Jakarta sangat tidak sehat bagi pernapasan.

Belum bisa atasi masalah

HBKB yang dicanangkan Pemerintah DKI Jakarta setiap Minggu di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman diharapkan mampu pelan-pelan mengurangi polusi udara ibukota.

Namun, cita-cita itu masih jauh dari harapan meski HBKB sudah menginjak usia 15 tahun.

Tim kerja HBKB mencatat beberapa masalah yang masih mengganjal. Salah satunya adalah pedagang kaki lima yang banyak ditemui di sepanjang jalan protokol selama pelaksanaan HBKB.

“Ayo kita kembalikan Car Free Day itu ke ruhnya semula, untuk pengendalian pencemaran udara. Urusan terkait pedagang kaki lima perlu kita tata dengan sikap tegas, supaya tidak kumuh seperti ini,” ujar Alfred Sitorus, Ketua tim kerja HBKB kepada BeritaBenar, Senin, 25 September 2017.

Kedua, lanjutnya, Pemda terutama Dinas Lingkungan Hidup belum bisa mempresentasikan hasil peningkatan kualitas udara selama 15 tahun pelaksanaan HBKB.

“Seperti apa sih kualitas udara di Car Free Day dibandingkan dengan hari-hari biasa. Padahal upaya ini menjadi tolok ukur bagaimana warga Jakarta melihat Car Free Day sebagai trigger untuk mengubah lifestyle,” katanya.

“Jalan-jalan sekitar Sudirman-Thamrin tetap menunjukkan pencemaran udara tinggi karena macet. Ini berarti tujuan utama Car Free Day masih belum bisa diterima masyarakat, karena kita hanya mengalihkan arus kendaraan saja.”

Terkait laporan terbaru tentang peringkat tiga Jakarta dengan polusi terburuk, dia menilai hasil itu sama seperti laporan UNEP tahun 90an. Saat itu, Jakarta menjadi kota terpolusi ketiga setelah Mexico City dan Bangkok.

Pembenahan sistem transportasi publik, menurut Alfred, adalah kunci untuk bisa keluar dari masalah polusi.

“Harus lebih dimasifkan lagi. Jangan takut ketika semua jalan yang ada pagarnya diminta robohkan untuk fasilitas pejalan kaki, supaya memicu orang berjalan kaki,” ujarnya, yang berharap warga mau mengubah perilaku menuju green lifestyle.

Suasana kendaraan di kawasan Slipi, Jakarta, 26 September 2017. (Zahara Tiba/BeritaBenar)

Transportasi publik

Pemerintah DKI Jakarta sedang menyiapkan sejumlah langkah. Pertama, DKI menargetkan untuk meningkatkan penggunaan transportasi publik dari 18 persen saat ini ke 30 persen tahun 2019.

"Diperkirakan tahun 2019, MRT (Mass Rapid Transit) sudah beroperasi. Lalu LRT (Light Rail Transit) juga sudah terintegrasi dengan Bus Trans Jakarta, sehingga tak terjadi perpindahan," ujar Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Wijatmoko.

Dia menambahkan Pemerintah DKI juga akan membangun gedung-gedung park and ride terintegrasi dengan jaringan angkutan umum massal, sehingga warga bisa menggunakan kendaraan pribadi sampai lokasi park and ride dan berpindah ke angkutan umum.

“Target kita adalah bagaimana masyarakat berpindah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum, karena kita tidak bisa membatasi hak seseorang memiliki kendaraan. Kita mengubah kultur, mindset, dan behaviour,” katanya.

Baru-baru ini, Pemda DKI telah meluncurkan kebijakan terbaru dimana konsumen yang akan membeli kendaraan baru diwajibkan memiliki garasi.

“Itu juga bagian dari bagaimana kita mengajak masyarakat untuk lebih realistis. Kalau tidak, akan sangat sulit mengatasi kemacetan di Jakarta,” pungkas Sigit.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.