Jaksa Cabut Banding, Ahok Resmi Narapidana Penistaan Agama

Sesuai aturan, dengan status hukum tetap ini, Ahok bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atau meminta grasi kepada Presiden.
Arie Firdaus
2017.06.08
Jakarta
170608_ID_Ahok_1000.jpg Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama (tengah) berbicara dengan tim kuasa hukumnya setelah hakim memvonis dua tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 9 Mei 2017.
AFP

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, resmi menyandang status narapidana kasus penistaan agama dan akan menjalani hukuman penjara dua tahun, menyusul jaksa penuntut umum mencabut banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.

Kepastian pencabutan banding jaksa dibenarkan juru bicara PN Jakarta Utara, Hasoloan Sianturi.

"Tanggal 6 Juni kemarin (Selasa) dicabut," jelas Hasoloan kepada BeritaBenar, Kamis, 8 Juni 2017.

Hanya saja Hasoloan tak merincikan pertimbangan jaksa mencabut banding atas Ahok. Dia berdalih, jaksa tak mencantumkan alasan pencabutan memori banding dalam surat permintaan yang dikirimkan ke PN Jakarta Utara.

Namun dihubungi secara terpisah, Ali Mukartono – seorang jaksa perkara Ahok – mengatakan, pencabutan itu diambil lantaran tim jaksa melihat tak ada urgensi melanjutkan banding.

"Sudah tidak ada manfaatnya. Terdakwa kan sudah mencabut banding," ujarnya.

"Kita mau berjuang apa lagi kalau (vonis dua tahun) sudah diterima (Ahok). Kita itu kalau mau banding mempertimbangkan kepastian hukum, kemanfaatan."

Sebelumnya, kubu Ahok sudah membatalkan banding pada Senin, 22 Mei 2017 atau sehari sebelum tenggat akhir pengajuan memori banding di PN Jakarta Utara. Padahal setelah divonis, Ahok tegas menyatakan akan banding.

Ahok yang secara resmi mengundurkan diri dari jabatan gubernur 23 Mei lalu, beralasan pembatalan banding ditempuh demi kepentingan bangsa dan negara. Ia khawatir upaya hukum lanjutan akan memicu unjuk rasa lebih besar dari pendukungnya yang berpotensi ditungganggi pihak tertentu.

Dalam keputusan pengadilan 9 Mei 2017, Majelis Hakim memutuskan Ahok bersalah menistakan agama Islam karena menyitir surat Al Maidah ayat 51 saat berpidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Inti ayat itu melarang orang Islam memilih pemimpin non-Muslim.

“Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya, kan, dibohongi pakai Surat Al Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu,” kata Ahok waktu itu.

Walaupun Ahok telah mengatakan ia tidak beritikad menistakan agama dan telah meminta maaf atas perbuatannya tersebut, ini tidak mengurangi kemarahan sebagian kaum Muslim, terutama setelah Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa Ahok menistakan Islam.

Putusan pengadilan 9 Mei yang diketuai hakim Dwiarso Budi Santiarto itu mengakhiri enam bulan sidang maraton terhadap Ahok yang berlangsung di tengah panasnya Pilkada Jakarta yang diwarnai serangkaian demonstrasi jalanan yang dilakukan oleh kelompok Muslim konservatif yang menuntut agar gubernur Jakarta itu digulingkan dari jabatannya.

Pada Pilkada Jakarta putaran kedua 19 April 2017, Ahok yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa dikalahkan lawannya Anies Baswedan yang beragama Islam, yang disinyalir mengambil keuntungan dari sentimen keagamaan dan ras (SARA) yang sarat mewarnai Pilkada Jakarta.

Walaupun pada 22 Mei Ahok telah mencabut bandingnya, namun jaksa penuntut hukum, hingga batas akhir pengajuan banding ketika itu tetap bersikukuh mengajukan banding lantaran menilai majelis hakim telah keliru menghukum Ahok.

Jaksa menilai fakta persidangan tidak menunjukkan Ahok menista agama Islam seperti termaktub di Pasal 156a --yang menjadi dasar hakim memutuskan perkara.

Atas dasar itu, jaksa menuntut Ahok dengan hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun karena menilai Ahok hanya melakukan pelanggaran Pasal 156 tentang menyuarakan permusuhan pada golongan tertentu.

Perihal keputusan jaksa mencabut upaya banding yang seolah terlambat ini, Hasoloan tak mempermasalahkannya.

"Sesuai aturan itu. Semua pihak bisa mencabut banding selagi Pengadilan Tinggi belum mengeluarkan putusan," tambah Hasoloan, "ini kan belum diputus (Pengadilan Tinggi). Jadi boleh-boleh saja."

Dengan batalnya banding ini, maka majelis hakim yang tadinya telah dipersiapkan di Pengadilan Tinggi Jakarta juga akan dibubarkan, demikian juga dengan persidangan banding.

"Enggak ada lagi (persidangan banding)," kata Hasoloan.

PK atau grasi

Seorang kuasa hukum Ahok, I Wayan Sudirta, mengatakan pihaknya telah mengetahui pencabutan banding jaksa terhadap vonis kliennya.

Lantas apa langkah lanjutan dari tim kuasa hukum? "Belum tahu,” jawab Wayan.

Sesuai aturan, walaupun telah berstatus terpidana kasus penistaan agama, Ahok bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atau meminta grasi kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

"Nanti diserahkan kepada Pak Ahok (apakah PK atau grasi)," ujar Wayan.

Strategi ini sempat disuarakan pengamat hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Fajar, seperti dikutip laman CNN Indonesia, tak lama setelah Ahok mencabut banding.

"Saya menduga arahnya ke sana," kata Fickar kala itu, "PK kan hanya diperbolehkan jika vonis telah berkekuatan hukum tetap".

Langkah PK atau grasi, menurut pengamat hukum Universitas Gajah Mada, Muhammad Fatahillah, memang memungkinkan ditempuh Ahok.

"Putusannya telah inkracht. Untuk grasi, syaratnya minimal divonis dua tahun. Ahok berkesempatan kok," ujarnya kepada BeritaBenar.

Mengenai langkah hukum yang bakal ditempuh Ahok, Wayan enggan berkomentar.

"Kami diskusi dulu," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.