Jalan terjal ekonomi Timor Leste setelah 25 tahun lepas dari Indonesia

"Masalah sesungguhnya adalah apa yang terjadi ketika pendapatan dari minyak habis."
Ahmad Syamsudin
2024.05.01
Dili, Timor Leste
Jalan terjal ekonomi Timor Leste setelah 25 tahun lepas dari Indonesia Natalina da Costa, seorang murid SMP di Dili, menenun tais di Pasar Tais di Colmera, Dili, Timor-Leste, 7 Juli 2023.
Julião Fernandes Guterres/BenarNews

José do Santos pernah menjadi saksi kemajuan Timor Leste. Sebagai mandor konstruksi di Dili, ia terlibat dalam pembangunan gedung-gedung yang menandai era baru setelah melepaskan diri dari Indonesia hampir 25 tahun lalu. Kini, do Santos berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai sopir minibus.

“Hidup susah sejak pandemi COVID-19,” keluhnya kepada BenarNews. "Pekerjaan susah didapat di Dili. Pekerja bangunan kebanyakan dari China dan Indonesia.”

Timor Leste telah banyak berkembang sejak resmi menjadi negara merdeka di tahun 2002 setelah jajak pendapat PBB 1999 yang diwarnai kekerasan.

Namun, dampak ekonomi dari ratusan tahun penjajahan Portugal dan 24 tahun pendudukan Indonesia yang represif masih terasa. Pengangguran dan kemiskinan yang tinggi menjadi kontras dengan harapan awal akan kemakmuran.

Sepertiga dari 1,3 juta warga Timor Leste hidup dalam kemiskinan. Kelaparan, kekurangan gizi, dan kematian anak yang bisa dicegah masih merajalela.

LSM lokal, La'o Hamutuk, dalam laporannya menyatakan, "Anak-anak kita adalah yang paling kekurangan gizi di wilayah ini. Kekurangan gizi dan pendidikan akan menghalangi mereka menjadi warga yang produktif nantinya.”

Ketergantungan berat Timor Leste pada cadangan migas lepas pantai menjadi ciri khas "kutukan sumber daya", kata La’o Hamutuk.

Negara-negara kaya sumber daya alam seringkali kesulitan menciptakan ekonomi berkelanjutan. Kondisi ini meliputi minimnya pengembangan sektor lain, harapan tak realistis pada pendapatan, dan utang berlebihan.

52763a47-fe96-442a-ba14-f4e120de8994.jpeg

Para pemimpin dan warga Timor Leste menyadari pentingnya diversifikasi ekonomi. Pariwisata, pertanian, dan perikanan—sektor-sektor yang memanfaatkan keindahan alam dan kekayaan budaya—memiliki potensi besar. Namun, minimnya infrastruktur, tenaga ahli, dan birokrasi yang rumit jadi penghambat.

“Kami memang sudah merdeka, tapi secara ekonomi masih belum merdeka," kata Leodia Monteiro, mahasiswi Universitas Nasional Timor Lorosa'e, mengacu pada ketergantungan negara pada impor.

“Kami tidak punya pabrik-pabrik, infrastruktur juga belum memadai. Ekonomi kami sulit berkembang,” ujarnya kepada BenarNews.

Para ahli juga mengingatkan bahwa dana perminyakan, sumber utama pendapatan Timor Leste saat ini senilai $16 miliar, berisiko mengering di awal dekade 2030-an. Dana yang membiayai lebih dari 80% anggaran negara ini telah banyak terkuras sejak 2007.

Proyek Greater Sunrise, di perairan antara Timor Leste dan Australia, digadang-gadang mengisi kembali dana tersebut. Namun, proyek ini menemui hambatan, termasuk biaya yang besar dan tantangan teknis.

Partisipasi angkatan kerja Timor Leste juga stagnan antara 2013 hingga 2021, sekitar 30.5%, menurut laporan Bank Dunia.

Bank Dunia mencatat Timor Leste memiliki tingkat partisipasi terendah dibanding negara-negara kecil lain yang disurvei. Angka ini jauh di bawah rata-rata Asia Tenggara pada 2021 (66.1%).

Rendahnya penyerapan tenaga kerja berkait erat dengan ekonomi yang bertumpu pada sektor migas yang tak mampu menciptakan banyak lapangan kerja.

Bank Dunia dalam laporannya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Timor Leste rata-rata 4,1% pada 2024 dan 2025. Pertumbuhan ini didorong oleh meredanya inflasi dan investasi pemerintah di sektor infrastruktur.

Namun, Bank Dunia mengingatkan fokus pemerintah pada infrastruktur belum tentu berdampak langsung pada lapangan kerja. PBB menyatakan ini dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian keterampilan yang dibutuhkan proyek infrastruktur dengan kemampuan tenaga kerja lokal.

Selain itu, proyek infrastruktur seringkali hanya menyediakan lapangan kerja jangka pendek sehingga tidak banyak membantu menurunkan tingkat pengangguran secara jangka panjang.

48405313-2cc9-4de4-a921-b78fe34c88fc.jpeg
Pemandangan pelabuhan Tibar Bay, yang dioperasikan perusahaan Prancis Bollore, di Liquica, Timor Leste, pada 30 November 2022. [Valentino Dariel Sousa/AFP]

Penggunaan kontraktor asing yang membawa tenaga kerja mereka sendiri juga membatasi kesempatan kerja bagi warga lokal. Hal ini sejalan dengan keluhan sopir minibus, do Santos, yang menyebutkan pekerja Tiongkok dan Indonesia mengambil alih pekerjaan seperti yang dulu ia lakoni di sektor konstruksi.

Ketimpangan pembangunan juga jadi masalah. Naldo Rei, mantan pejuang gerilya dan aktivis semasa melawan pendudukan Indonesia, menilai fokus pembangunan terlalu terpusat di Dili. Ini mendorong pengangguran tinggi karena warga desa berbondong-bondong ke kota mencari kerja.

“Setiap tahun 8.000 sampai 10.000 lulusan baru masuk pasar kerja, tapi lapangan pekerjaan tidak ada,” ujar Rei pada BenarNews. "Ini mengkhawatirkan bagi masa depan Timor Leste jika pemerintah tak berinvestasi pada infrastruktur yang adil."

Pertanian, menurut Rei, adalah kunci. Namun, sektor ini terabaikan. "Bagaimana kita bisa membangun negara kalau sektor ini tak ada investasi di sektor ini?" tegasnya.

Timor Leste gencar mencari investasi asing untuk menggerakkan perekonomian. Australia, sebagai tetangga, menggelontorkan $76,56 juta dalam program Official Development Assistance (ODA) untuk periode 2023-24. Dana ini dipakai membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Kunjungan Perdana Menteri Xanana Gusmão ke Tiongkok pada September 2023 menghasilkan kesepakatan kemitraan strategis yang membuka jalan bagi investasi besar Tiongkok.

Meskipun perjanjian tersebut awalnya mencakup kerja sama militer, namun China menarik kembali komitmen tersebut karena meningkatnya ketegangan geopolitik.

Meskipun demikian, perjanjian tersebut masih membuka jalan bagi peningkatan pengaruh China di Timor-Leste melalui investasi yang terkait dengan Belt and Road Initiative (BRI), menurut Damien Kingsbury, profesor emeritus di Deakin University, Australia.

BRI, juga dikenal sebagai “One Belt One Road”, adalah strategi pembangunan infrastruktur global yang diluncurkan pada 2013, yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama perdagangan dan ekonomi dengan berinvestasi pada proyek infrastruktur di Asia, Eropa, dan Afrika.

Keterlibatan China di Timor-Leste mencakup penyediaan kapal patroli, pelatihan militer, dan pembangunan infrastruktur penting seperti markas besar Angkatan Pertahanan, barak, Kementerian Luar Negeri, dan istana presiden.

db869e5c-050c-4375-9c96-dd58eeb8e527.jpeg
Pekerja dari Cina mengaduk semen untuk pembangunan pembangkit listrik di Hera, dekat Dili, ibu kota Timor Leste, pada 12 September 2009. [Lirio Da Fonseca/Reuters]

China juga mendanai proyek-proyek besar seperti Jalan Raya Suai, pelabuhan laut dalam Tibar, dan mengelola jaringan listrik Timor-Leste.

"Meskipun Tiongkok ingin memiliki kehadiran yang lebih besar di negara yang berlokasi strategis ini, mungkin ada batasan terhadap investasi mereka di negara yang hampir tidak memiliki ekonomi yang bebas dari keterlibatan pemerintah," ujar Kingsbury dalam artikelnya di East Asia Forum pada Desember lalu.

Kingsbury meragukan keberlangsungan ekonomi Timor Leste tanpa menghilangkan ketergantungan pada minyak. Ia menilai Dana Perminyakan negara itu bisa bertahan hingga 2044, atau bahkan 2049 jika pajak properti dan kebijakan serupa diterapkan.

"Masalah sesungguhnya adalah apa yang terjadi ketika pendapatan dari minyak habis," tegasnya kepada BenarNews.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.