Masuki Tahun Kedua, Jokowi Tak Lagi Bisa Berdalih ‘Presiden Baru’
2015.10.20
Jakarta
Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mendapat penilaian negatif, terutama di bidang penegakan hukum dan ekonomi, selama setahun pemerintahannya yang pada 20 Oktober ini genap setahun.
Beberapa survei menunjukkan kecenderungan yang kurang lebih sama bahwa ada tingkat ketidakpuasan publik yang meningkat terhadap kinerja Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden.
Hasil survei nasional yang dilakukan lembaga survei Poltracking Indonesia yang dirilis 20 Oktober menunjukkan bahwa 48.63% dari 1200 responden mengatakan tidak puas dengan kinerja presiden sementara 49.79% responden mengatakan hal yang sama tentang kinerja wakil presiden. Sedangkan 51.26% mengatakan tidak puas terkait kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Survei tersebut dilakukan di 34 provinsi pada tanggal 7–14 Oktober 2015.
Sebelumnya pada 8 Oktober, lembaga survei Indo Barometer mengeluarkan hasil survei mereka yang menunjukkan 51.1% dari 1200 responden di 34 provinsi tidak puas dengan kinerja Jokowi dan tingkat kepuasannya turun dari 57.5% di enam bulan sebelumnya menjadi 46%.
Survei lain yang dikeluarkan tepat di satu tahun pemerintahan Jokowi-JK adalah dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Survei itu menunjukkan bahwa dari 1220 responden yang disurvei selama bulan Oktober ini, hanya 47% responden yang menilai baik kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi dan 40% mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum juga dinilai lebih buruk.
‘Prestasi’ di bidang hukum
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Khairun Ternate, Margarito Kamis, mengatakan hal yang sama terkait kinerja pemerintahan Jokowi-JK di bidang hukum.
“Tidak ada prestasi di bidang hukum. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari pemerintahan ini dalam hal penegakan hukum,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Salah satu kebijakan Jokowi yang dianggap populer dan sebagai tindakan tegas dalam penegakan hukum adalah eksekusi hukuman mati terhadap 14 pengedar narkoba yang 12 di antaranya adalah warga negara asing.
“Hukuman mati bukan bentuk ketegasan. Kalau tegas, mengapa narapidana lain yang sudah dijatuhi hukuman mati tidak segera dieksekusi?” ujar Margarito.
Menurut Margarito, kesalahan paling fatal dalam hal penegakan hukum adalah dengan tetap melantik Komisaris Jendral Polisi Budi Gunawan sebagai Wakil Kapolri walaupun Budi sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi.
Sebelumnya, Budi merupakan calon tunggal Kapolri yang diajukan Jokowi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPR sudah menyetujui pencalonannya tersebut.
Penetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK berlanjut dengan polisi menahan dua pimpinan KPK, Abraham Samad atas dugaan pemalsuan dokumen dan Bambang Widjojanto atas tuduhan mempengaruhi saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam sengketa pemilihan kepala daerah.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan bahwa sengketa antara dua lembaga penegak hukum itu semakin membuat janji Jokowi dan JK untuk memberantas korupsi tidak terbukti.
“Kejadian itu menimbulkan demoralisasi (publik),” ujar Siti kepada BeritaBenar.
Menurutnya, hal ini berawal dari payung janji kampanye Jokowi-JK tentang revolusi mental untuk mengkoreksi hal yang sudah dilakukan sebelumnya dan merubah cara berpikir rakyat Indonesia.
Namun keberlanjutan jargon Revolusi Mental pun masih dipertanyakan karena revolusinya belum terlihat berjalan.
Dirongrong situasi ekonomi
Masalah penegakan hukum juga dibarengi dengan memburuknya kondisi perekonomian yang merongrong pemerintahan Jokowi-JK.
“Jika dilihat pada enam bidang kinerja pemerintahan, yaitu ekonomi, politik, hukum, kesehatan, keamanan, dan pendidikan, mayoritas publik menilai bahwa kinerja bidang ekonomi buruk. Sebanyak 71.79% publik mengatakan tidak puas,” ujar Hanta Yuda, direktur eksekutif Poltracking Indonesia.
Survei SMRC juga menunjukkan bahwa 41% responden mengatakan kondisi ekonomi lebih buruk dari tahun lalu dan hanya 22% yang mengatakan lebih baik.
“Dalam hal ekonomi, katanya memburuk karena pengaruh global, tapi tidak terlihat upayanya untuk mengurangi dampaknya di dalam negeri. Rakyat di bawah tahunya sekarang harga-harga barang kebutuhan pada naik,” ujar Ikram Putra, seorang pegawai swasta di Jakarta pada BeritaBenar.
Ikram, yang memilih Joko sebagai presiden di pemilihan presiden tahun lalu mengatakan bahwa sejauh ini Jokowi belum berada di jalur yang tepat untuk memenuhi janji kampanyenya.
Bukan lagi presiden baru
Disamping berbagai penilaian negatif selama setahun belakangan, hasil survei SMRC juga menunjukkan bahwa keyakinan masyarakat terhadap kemampuan Jokowi memimpin masih cukup baik, di angka 62%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan 29% responden yang meragukannya.
Maruarar Sirait, politisi Partai Demokrasi Indonesian Perjuangan (PDIP), partai yang mengusung Joko sebagai presiden, mengakui bahwa ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki oleh Joko dan pemerintahannya dalam hal ekonomi dan menciptakan program perbaikan ekonomi yang tepat sesuai daerahnya.
“Perlu ada program yang dapat memperbaiki daya beli masyarakat dan untuk jangka pendek dan program padat karya yang dapat mengurangi tingkat pengangguran,” ujar Maruarar kepada BeritaBenar.
Sementara itu pengamat komunikasi politik mengatakan, mulai saat ini Jokowi harus bekerja keras untuk menepati janji-janji kampanyenya.
“Jokowi sudah satu tahun jadi presiden sehingga ke depannya beliau tidak boleh lagi berlindung dibalik label ‘baru jadi presiden’,” ujar Hendri Satrio, pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina.