Jokowi: Dunia membayar harga sangat mahal akibat perang Rusia

Analisis imbau pemerintah untuk segera siapkan paket kebijakan untuk antisipasi krisis ekonomi.
Tria Dianti
2022.10.11
Jakarta
Jokowi: Dunia membayar harga sangat mahal akibat perang Rusia Warga berbelanja di sebuah pasar tradisional di Depok, Jawa Barat, 2 Juni 2022.
[Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters]

Tanpa menyalahkan negara mana pun, Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Selasa mengatakan bahwa dunia “membayar harga yang mahal sekali” akibat perang Rusia di Ukraina.

Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20 di Bali bulan depan dan berharap dapat berperan sebagai pembawa damai dan mengarahkan para pemimpin dunia menuju solusi resesi global yang menurut pemerintah bisa menjadi penurunan ekonomi yang lebih buruk dari krisis moneter 1998.

“Setelah perang Rusia dan Ukraina, kita tahu pertumbuhan ekonomi [dunia] di tahun 2023 yang sebelumnya diperkirakan 3 persen, terakhir sudah diperkirakan jatuh di angka 2,2 persen,” kata Jokowi dalam pidato pembukaan Investor Daily Summit 2022 di Jakarta.

“Inilah yang sering disampaikan, [dunia] membayar harga dari sebuah perang yang harganya sangat mahal sekali,” tambahnya.

Jokowi mengatakan 66 negara berada dalam posisi rentan kolaps atau jatuh. Hal ini, ujar dia, selain karena pandemi COVID-19 juga karena adanya perang Rusia di Ukraina yang memperburuk krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan.

“Saat ini 345 juta orang di 82 negara menderita kekurangan akut dan kelaparan. Artinya, sudah terjadi krisis pangan,” kata Jokowi.

Namun Jokowi menyatakan optimism bahwa Indonesia tidak akan mengalami kondisi ekonomi seburuk negara lain, dengan inflasi terkendali pada angka 2,9 persen dibanding tahun lalu.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengutip Jokowi, mengatakan bahwa saat ini sudah ada 28 negara masuk daftar untuk memperoleh bantuan Dana Moneter Internasional (IMF).

“Sebanyak 14 negara sudah masuk, 14 lainnya sedang dalam proses,” katanya saat konferensi pers.

“Ini lebih besar dibandingkan dengan krisis tahun 1998 dimana saat itu terjadi di beberapa negara ASEAN,” kata Airlangga.

Tiga krisis

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengungkapkan adanya ancaman tiga krisis yang melanda dunia yaitu keamanan, ekonomi dan lingkungan secara bersamaan sebagai imbas dari invasi militer Rusia ke Ukraina.

“Ada dua berita buruk terjadi saat ini tentang dunia. Pertama resesi ekonomi global sepertinya bakal terjadi. Kedua, perang di Ukraina makin membahayakan keamanan internasional,” ujar Yudhoyono di Twitter.

Dampaknya, kata dia, resesi ekonomi global akan memukul kehidupan semua bangsa. “Jika perang di Ukraina makin liar dan tidak terkendali, terjadinya perang dunia disertai penggunaan senjata nuklir bisa menjadi kenyataan,” kata dia.

Kemudian, tambahnya, situasi dunia akan semakin runyam jika geopolitik di Asia Timur yang sudah panas akhirnya menjadi konflik militer terbuka Tiongkok vs Taiwan.

 “Wahai para pemimpin dunia, termasuk PBB, bertindaklah secara nyata untuk selamatkan dunia kita. ‘Inaction is immoral’. Gunakan Forum G-20 di Bali to save our world, to save our planet’. Turunkan ego masing-masing. Negosiasi dan perundingan adalah jawaban,” katanya.

Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi negara G20 pertengahan November ini di Bali.

Dalam laporan Bank Dunia Is a Global Recession Imminent? (Apakah Resesi Global Sudah Dekat) menyatakan perekonomian global berpotensi mengalami resesi karena konflik geopolitik, lonjakan harga komoditas, dan gelombang inflasi.

Dalam laporan tersebut, jika terjadi resesi, maka perekonomian global hanya tumbuh 2,8 persen pada 2022, kemudian merosot ke 0,5 persen pada 2023 dan baru mulai pulih 2 persen di 2024.

Dampak resesi juga akan lebih dirasakan negara maju ketimbang negara berkembang. Ekonomi negara maju bisa terkontraksi 0,6 persen para 2023 dan hanya tumbuh 1 persen di 2024. Sementara ekonomi negara berkembang diprediksi tetap mampu tumbuh meski melambat.  

Sekedar juru ramal

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bima Yudhistira menilai pemerintah lebih baik segera menyiapkan paket kebijakan untuk mengantisipasi krisis yang akan terjadi di tahun depan ketimbang hanya menjadi juru ramal ekonomi global.

“Kalau memang mengakui akan ada ‘perfect storm’ maka harusnya segera siapkan koordinator hadapi krisis karena kalau dilihat sekarang hanya ada kebijakan untuk hadapi krisis pandemic,sementara variabel sudah berubah harus ada protokol krisis lingkungan, ekonomi dan keamanan untuk segera diimplementasikan, itu yang kurang,” kata dia.

“Tindakan cepat lebih baik dibandingkan dengan ketakutan krisis yang digaungkan seperti insentif fiskal, perpajakan dan lainnya,” kata dia

Menurutnya, kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan pembangunan proyek masih kontradiksi dengan adanya resiko krisis. Beberapa antisipasi yang bisa pemerintah lakukan antara lain segera turunkan PPN menjadi 7 persen untuk stimulus konsumsi, memberikan subsidi pupuk, dorong transisi energi, perbaiki aturan mobil listrik untuk segera dieksekusi.

“Segera lakukan perubahan anggaran untuk dialihkan ke perlindungan sosial. Dibutuhkan setidaknya 4 persen dari PDB untuk cegah krisis. Devisa hasil ekspor juga harus diperkuat. Kalau tidak maka Indonesia juga akan terseret di gelombang resesi global itu,” ujarnya.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan meskipun Indonesia berpeluang besar terseret resesi global tahun depan namun pertumbuhan ekonomi tahun depan tidak akan minus.

“Hal ini karena permintaan domestik yang masih kuat. Efek resesi ekonomi tahun depan untuk Indonesia antara lain ada kemungkinan penurunan permintaan ekspor, pasar pengalihan dari negara yang lagi resesi," kata dia.

Menurut dia, Indonesia perlu menyiapkan strategi untuk menghindari krisis. Salah satunya dengan menjaga stabilitas nilai tukar, sektor keuangan, serta bank sentral yang tetap independen dan profesional.

“Jangka menengah perlu peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat dengan peningkatan skill, optimalisasi pasar domestik dan peluang pasar internasional, peningkatan kualitas SDM. APBN juga perlu disiplin fiskal dengan target defisit yang dipatuhi atau kurang dari 3 persen dari PDB,” kata dia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.