Kembali absennya Jokowi dalam Sidang Umum PBB berdampak negatif pada diplomasi Indonesia

Para pengamat mengatakan ketidakhadiran Jokowi di forum PBB menunjukkan bahwa dia lebih menekankan kebijakan domestik.
Pizaro Gozali Idrus
2024.09.25
Jakarta
Kembali absennya Jokowi dalam Sidang Umum PBB berdampak negatif pada diplomasi Indonesia Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berbicara dalam "KTT Masa Depan" dalam rangkaian Sidang Umum PBB di New York, 23 September 2024
Timothy Clary/AFP

Ketidakhadiran Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam Sidang Umum PBB berturut-turut selama dua periode pemerintahannya dapat memberi dampak negatif terhadap upaya diplomasi Indonesia, kata sejumlah analis.

Mereka menilai Jokowi terjebak pada kebijakan pragmatis memburu investasi ekonomi sehingga berdampak negatif pada upaya diplomasi Indonesia. Sejak menjabat sebagai Presiden pada 2014, Jokowi belum pernah datang ke perhelatan tahunan PBB di New York itu.

Pada sidang tahun ini, Jokowi kembali mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk memimpin delegasi Indonesia, dengan mengingatkan semangat Dasasila Bandung untuk mewujudkan solidaritas global, kata juru bicara kementerian Roy Soemirat.

“Bu Menlu diinstruksikan hadir,” ujar Roy kepada BenarNews, menambahkan bahwa Retno juga akan menghadiri sesi debat umum pada Sabtu (28/9).

Dalam sidang-sidang sebelumnya, Jokowi hanya memberikan pidato melalui rekaman video, atau pada awal pemerintahannnya, dia mengutus wakil presiden-nya, Jusuf Kalla, untuk menghadiri perhelatan.

Pemerintah tidak menjelaskan alasan kepada BenarNews, yang menghubungi Kantor Staf Presiden, mengapa kepala negara selalu absen dalam perhelatan bagi lebih dari 200 negara di dunia.

“(Hubungi) ke kementerian luar negeri saja,” kata Siti Ruhaini, tenaga ahli utama di Kantor Staf Presiden, kepada BenarNews.

Pengamat hubungan internasional Badan Riset dan Inovasi Nasional Poltak Partogi Nainggolan menilai sejak awal kepemimpinannya Jokowi tidak memberikan perhatian pada hubungan internasional.

“Ketidakhadiran Presiden Jokowi secara berkelanjutan hingga akhir jabatannya, akan kian merendahkan daya tawar Indonesia di forum-forum internasional dan negara ini,” kata Poltak kepada BenarNews.

Menurut Partogi, Jokowi lebih menekankan kebijakan yang inward-looking atau lebih fokus kepada persoalan domestik, yang tidak sesuai dengan karakteristik pemerintah Indonesia yang menaruh perhatian pada isu-isu geopolitik.

“Ini menjadi aneh dan sekaligus absurd di saat dia butuh utang luar negeri yang besar untuk membangun infrastruktur negeri ini, yang menjadi prioritasnya,” jelas Poltak.

Kondisi ini, menurut Poltak, membuat Jakarta sangat mengandalkan Beijing dalam bidang ekonomi yang menjadikan Indonesia tidak memiliki banyak pengaruh untuk mewarnai kawasan lainnya, khususnya di negara-negara Barat.

“Itulah sebabnya, dia sangat tergantung pada China. Dia tidak berusaha menjaga keseimbangan hubungan dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa, sehingga Indonesia sulit melobi, apalagi menekan, Rusia dan Israel untuk menghentikan eskalasi perang di Ukraina dan Timur-Tengah,” ungkap Poltak.

Padahal, tambah Poltak, Indonesia selama ini selalu mengklaim sebagai salah satu kekuatan dan pimpinan Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok yang berpengaruh, selain juga ASEAN.

Dalam isu Palestina, kata Poltak, diplomasi Indonesia yang mengandalkan Retno Marsudi belum mampu menekan Israel dan mewujudkan perdamaian di kawasan itu karena kegagalan Jakarta mendekati Washington.

“Yang dicapai Retno tidak seberapa, tidak dapat mempengaruhi, apalagi menekan Israel untuk mengurangi agresivitasnya di Timur Tengah,” jelas Poltak.

Di sisi lain, kata Poltak, karena terlalu dekat dengan China, Indonesia juga tak berdaya meminta negara itu untuk mengurangi agresivitasnya di Laut China Selatan.

“Itu justru terjadi saat Indonesia tengah menjabat keketuaan ASEAN,” ucap dia.

Dafri Agussalim, pengajar Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, membeberkan beberapa kemungkinan penyebab absennya Jokowi dalam Sidang Umum PBB.

Pertama, Indonesia merasa tidak nyaman dengan pengaruh Amerika Serikat dan negara Barat lain dalam agenda setting isu krusial yang jadi perhatian Indonesia misalnya Palestina.

Kemungkinan kedua, kata Dafri, Presiden Jokowi memang tidak memiliki kemampuan dalam menjalankan diplomasi internasional.

“Bisa jadi tidak punya skill diplomasi di level itu. Dulu pernah muncul di forum internasional, namun banyak dipertanyakan, disebut gagasannya tidak argumentatif,” ujar dia.

000_36FD47U.jpg
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dalam Forum Indonesia-Afrika (IAF) ke-2 di Nusa Dua, Bali, 2 September 2024. [Made Nagi/Pool via AFP]

Analis kebijakan luar negeri Universitas Diponegoro Mohamad Rosyidin mengatakan absennya Jokowi secara langsung di Sidang Umum PBB terjadi karena sikap pragmatisnya yang lebih memburu kepentingan ekonomi.

“Jokowi tak pernah hadir karena kebijakan luar negerinya pragmatis. Baginya, forum bilateral lebih penting karena lebih konkret hasilnya secara ekonomi untuk investasi dan infrastruktur,” ujar Rosyidin kepada BenarNews.

“Diplomasi tak maksimal”

Dafri menambahkan ketidakhadiran Jokowi dalam Sidang Umum PBB membawa konsekuensi negatif dan membuat perjuangan diplomasi Indonesia tidak maksimal. Meskipun Menteri Retno sudah berperan maksimal, namun tanpa kehadiran kepala negara upayanya tidak efektif.

“Misalnya soal Myanmar. Bu Retno sudah maksimal, tapi belum ada hasilnya. Mungkin hasilnya berbeda jika Presiden Jokowi yang hadir,” ujar dia pada BenarNews.

Absennya Jokowi, kata dia, juga membuat Indonesia gagal memanfaatkan modal besar Indonesia dalam diplomasi global tidak maksimal, misalnya tidak bisa menggunakan kekuatan sebagai negara muslim terbesar untuk memberikan tekanan pada isu-isu global.

“Dulu kita lihat Presiden Soekarno bisa menghimpun negara dunia ketiga, menggelar berbagai konferensi dan dunia percaya. Seharusnya kita sekarang juga bisa seperti itu,” ujar dia.

Atip Latipulhayat, profesor hukum internasional Universitas Padjadjaran, menjelaskan absennya Jokowi di forum PBB dalam kurun waktu 10 tahun dapat menurunkan posisi dan reputasi politik internasional Indonesia.

“Pada gilirannya dapat menurunkan kepercayaan kepada Indonesia sebagai negara besar yang secara historis selalu mendapat kepercayaan internasional dalam menyelesaikan berbagai konflik dan masalah-masalah internasionalnya,” tukas Atip kepada BenarNews.

Meski demikian, Rosyidin menilai tidak ada pengaruh dari absennya Jokowi – Indonesia tetap dihormati dan reputasinya diakui di kancah internasional.

“Dampaknya lebih ke simbolik saja bahwa presiden Indonesia kurang memiliki komitmen terhadap multilateralisme,” ujarnya.

Sedangkan Atip menilai presiden sebelumya, Susilo Bambang Yudhoyono, memiliki aksentuasi politik luar negeri yang relatif jelas sebagaimana yang kerap dia katakan yakni “million friends and zero enemy”.

“Dengan kebijakan seperti ini semua forum internasional apalagi forum PBB dianggap sebagai medan diplomasi penting,” imbuh Atip.

Para analis sepakat bahwa presiden terpilih Prabowo akan hadir di Sidang Umum PBB saat resmi berkuasa dan banyak memanfaatkan panggung internasional untuk menyampaikan gagasannya, meski memiliki hambatan dalan menjalani tugas diplomasinya.

Poltak mengatakan bahwa Prabowo masih memiliki masalah untuk mendekati Amerika Serikat, terutama dengan presiden dari Partai Demokrat yang menekankan demokrasi dan HAM.

“Ini terkait dengan model kepemimpinan pribadinya yang tidak bisa dikendalikan negara besar, selain masih adanya residu tudingan pelanggaran HAM di masa lalu,” ujar Poltak.

Sedangkan Dafri menjelaskan tantangan Prabowo lainnya adalah perlunya Indonesia menjaga hubungan baik dengan negara kawasan seperti China, karena masalah ekonomi dan hal lainnya.

Di sisi lain, tambah Dafri, dalam masalah keamanan, Indonesia masih memiliki konflik dengan China, terutama pada isu Laut China Selatan, sehingga memerlukan negara Barat.

Politic balancing itu tidak mudah. Pergi ke China, Amerika belum tentu senang,” ujar dia.

Selain itu, tantangan terbesar Prabowo adalah membuat Indonesia dan ASEAN tidak sekadar menjadi ajang pertempuran negara-negara besar, namun harus bisa mengambil keuntungan.

“Jadi kita harus bisa membujuk negara-negara Indopasifik agar bisa mengutamakan sentralitas ASEAN,” ujar dia.

Nazarudin Latif berkontribusi dalam berita ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.