Pemerintah: 999 Bekas Teroris Dideradikalisasi

Pendekatan Soft Approach dinilai berhasil, namun demikian banyak terpidana teroris yang sudah dideradikalisasi masih berpegang pada ideologi semula, sehingga mereka tetap berbahaya.
Tia Asmara
2017.10.19
Jakarta
171019_ID_Terrorrism_1000.jpg Warga melihat sejumlah potongan tubuh dari serangan bom bunuh diri di halte bus Kampung Melayu, di Jakarta, 25 Mei 2017.
AFP

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyebutkan bahwa program deradikalisasi yang dilaksanakan pemerintah selama tiga tahun terakhir, telah berhasil melakukan pembinaan terhadap 999 bekas teroris.

Hal itu dipaparkan dalam jumpa pers capaian tiga tahun bidang politik, kemananan dan hukum pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo-Jusuf Kalla di Jakarta, Kamis, 19 Oktober 2017.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dari 999 mantan teroris yang dibina pemerintah, sebanyak 266 orang berada di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan sisanya 733 orang dibina di luar Lapas.

“Kami menggunakan soft approach dengan cara-cara lebih manusiawi, dengan cara-cara cerdas, yakni mereka dididik kembali dan dibina kembali, pada akhirnya dimasyarakatkan kembali,” katanya.

Wiranto menambahkan bahwa terdapat lima program kegiatan pembinaan dalam deradikalisasi yaitu wawasan kebangsaan, wawasan keagamaan, life skill, kewirausahaan, dan pendampingan para mantan teroris.

Saat ini, lanjutnya, pemerintah lebih menggunakan pendekatan soft approach dalam program pencegahan dan deradikalisasi ketimbang dengan melaksanakan pendekatan hard approach (kekerasan).

"Penindakan dilakukan dengan tetap tunduk pada peraturan yang berlaku dan prinsip kehati-hatian, tidak ada tempat radikalisme dan terorisme untuk tumbuh," ujarnya.

Selain mereka yang dideradikalisasi, menurut data BNPT, 388 teroris sudah ditindak dengan rincian 174 orang sudah divonis,  69 orang masih dalam proses penyidikan oleh kepolisian, 33 orang dalam proses sidang, 64 orang dipulangkan, dan 48 terduga teroris tewas saat ditangkap.

Wiranto juga menyatakan bahwa Indonesia telah mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai negara karena dianggap bisa meminimalisir aksi teror di dalam negeri.

"Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan selama ini terorisme selalu menggunakan kedok Islam, namun rasionya sangat kecil, kerusakan serangan teroris jauh semakin kecil," jelasnya.

Setidaknya, kata dia, terdapat partisipasi aktif 50 eks teroris dalam program pencegahan dan deradikalisasi untuk jadi pembina sesama bekas teroris dan pelaku aktif melawan terorisme.

"Ini menjadi bahan pembicaraan teman-teman di luar negeri, resepnya selain menggunakan hard approach tapi juga dengan soft approach. Ilmu ini sedang digali oleh negara lain untuk ditiru," tambahnya.

Forum tersebut di buka oleh oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Teten Masduki dan dimoderatori Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi.

Membaik

Pakar terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Ridlwan Habib, menilai penangkapan terduga teroris dalam tiga tahun terakhir memang lebih banyak dilakukan melalui soft approach sehingga patut diappresiasi.

"Tidak ada lagi penembakan seperti dulu, misalnya tersangka teroris ditembak saat sedang salat,” katanya kepada BeritaBenar.

Menurutnya, penangkapan tersangka teroris dalam keadaan hidup lebih banyak, meskipun ada juga tersangka yang ditembak mati karena melawan tetapi jumlahnya kecil.

"Skala serangan juga relatif lebih kecil, tidak ada yang besar seperti dulu," kata Ridlwan.

Namun, ia menyoroti deradikalisasi terpidana teroris yang tidak mau berubah pemikiran ideologinya sehingga bisa berbahaya di masa mendatang.

"Ini harus dievaluasi dan diperbaiki, bagaimana cara mereka mau dibina. Jika ada yang tidak mau terima ide deradikalisasi, mereka kalau merekrut kader di dalam penjara bisa beranak-pinak justru jadi bahaya," ujarnya.

Saat ini, ia mencatat sekitar 50 narapidana belum bisa dideradikalisasi dalam penjara dan kebanyakan dari mereka sudah resisten terhadap program yang disediakan BNPT.

Menurutnya, harus ada pendekatan baru terhadap kelompok teroris dari segi ideologi (pikiran).

"Pendekatan humanis seperti melalui lobi-lobi, ngobrol kegemaran, atau hobi yang bisa digunakan sebagai pintu dialog dengan mereka," imbuhnya.

Terakhir, lanjutnya, yang bisa dievaluasi dari penanganan terorisme ialah kewaspadaan intelijen serangan model lone wolf seperti dengan penusukan pisau atau bom molotov, yang dilakukan secara sporadis.

"Para intelijen harus dilatih pemahaman tentang pola tren terorisme global, karakter orang seperti apa, persiapkan serangan seperti apa karena sudah jauh berubah,” katanya.

Belum maksimal

Namun, pendapat berbeda dikatakan pengamat terorisme yang juga Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, yang menilai angka mereka yang telah dideradikalisasi tidak merefleksikan kondisi faktual di lapangan.

"Saya melihat angka tersebut (999 mantan teroris) sudah dideradikalisasi sangat besar. Artinya masih ada mantan narapidana teroris yang belum tersentuh program, yaitu individu yang dibebaskan dari penjara pada rentang waktu 2005-2011, atau periode sebelum BNPT lahir," katanya saat dihubungi. BNPT dibentuk pada tahun 2010.

Di sisi lain, kata Taufik, banyak dari narapidana teroris yang berafiliasi pada kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dimana terdapat 266 orang dalam Lapas, yang masih menolak program intervensi dari pemerintah.

"Karena jika dilihat capaian tertinggi berupa berubahnya mindset seseorang dari radikal ke moderat, maka jumlah individual yang mencapai titik tersebut secara statistik masih sedikit dan terbatas," ujarnya.

Namun, Taufik mengakui pendekatan soft approach yang dilakukan pemerintah sudah cukup bagus.

"Pendekatan berbasis kemanusiaan dan pemberdayaan ekonomi mulai terlihat berhasil. Meski belum menjangkau seluruh populasi beneficiaries (kelompok penerima program)," ujarnya.

Taufik menambahkan masih ada kekurangan dalam penanganan tindakan penangkapan tersangka dengan kekerasan.

"Dilema penanganan kelompok terroris bersenjata memang kompleks, karena persuasi saja tidak cukup. Perlu penanganan yang terukur. Secara statistik membaik, maksudnya penangkapan dengan kekerasan yang relatif melanggar HAM mulai berkurang," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.