Analis: Manuver Jokowi menyebabkan demokrasi Indonesia dalam ancaman paling serius sejak jatuhnya Suharto

Institusi negara disebut dilemahkan agar Jokowi bisa terus mempengaruhi politik saat dia telah lengser.
Pizaro Gozali Idrus
2024.08.27
Jakarta
Analis: Manuver Jokowi menyebabkan demokrasi Indonesia dalam ancaman paling serius sejak jatuhnya Suharto Presiden terpilih dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri) berbincang dengan Presiden Joko Widodo dalam perayaan HUT ke-79 RI di Istana Kepresidenan di ibu kota baru Nusantara, Kalimantan Timur, 17 Agustus 2024.
Willy Kurniawan/Reuters

Demokrasi Indonesia dalam bahaya dan menghadapi ancaman paling serius sejak jatuhnya kekuasaan otoriter Presiden Suharto pada 1998, di mana unjuk rasa besar-besaran yang dimotori mahasiswa minggu lalu menjadi pertanda bahwa rakyat tidak lagi diam, kata analis.

Lembaga-lembaga negara yang demokratis telah dilemahkan dalam upaya untuk memungkinkan konsolidasi kekuasaan, nepotisme, penciptaan dinasti politik – dengan tujuan agar Presiden Joko “Jokowi” Widodo terus bisa mempengaruhi politik walaupun setelah ia lengser pada 20 Oktober, kata para analis dan aktivis.

Tampaknya pemerintah Jokowi “tidak peduli dengan norma-norma hukum dan demokrasi,” kata Firman Noor, guru besar ilmu politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional.

“Ini adalah titik terendah bagi demokrasi kita selama era Reformasi,” katanya kepada BenarNews. “Ini menyangkut semua sendi, dari etika sampai praktik. Menyentuh masalah konstitusi, sampai masalah nepotisme dibiarkan, bahkan diperjuangkan untuk sukses,” tambahnya.

Reformasi mengacu pada periode menuju demokrasi setelah lengsernya Suharto, setelah memerintah Indonesia lebih dari tiga dekade.

Protes di bawah aksi “Peringatan Darurat”, yang terjadi pada Kamis (22/8), dipicu oleh upaya parlemen untuk mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang menurut para kritikus dirancang untuk membuka jalan bagi putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, dan politisi pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memenangkan Pilkada serentak yang akan berlangsung pada 27 November ini.

Revisi UU Pilkada tersebut bertujuan untuk membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas suara bagi partai politik dalam mencalonkan kandidat, sebuah langkah yang dimaksudkan untuk mendemokratisasi proses dan meningkatkan persaingan politik.

MK memutuskan bahwa ambang batas bagi partai politik untuk mencalonkan kandidat di daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai/koalisi dari hasil pemilihan legislatif DPRD sebelumnya, namun bisa antara 6,5 persen – 10 persen tergantung demografi di wilayah tersebut.

Putusan MK juga membatalkan keputusan Mahkamah Agung sebelumnya yang mempersyaratkan kandidat untuk minimal berusia 30 tahun pada saat dilantik dan bukan pada saat penetapan pasangan calon, yang dalam pilkada tahun ini berarti pada 22 September. Ini dilihat sebagai upaya membuka pintu bagi Kaesang yang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024 untuk bisa mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Jawa Tengah.

Presiden Joko Widodo (kiri) dan putra sulungnya yang kini menjadi Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, melihat sepatu di sebuah acara di Senayan City, Jakarta, 3 Maret 2018. [Courtesy Istana Kepresidenan Indonesia]
Presiden Joko Widodo (kiri) dan putra sulungnya yang kini menjadi Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, melihat sepatu di sebuah acara di Senayan City, Jakarta, 3 Maret 2018. [Courtesy Istana Kepresidenan Indonesia]

Dibatalkan karena tekanan

Hanya sehari setelah keputusan MK tersebut, pada 21 Agustus delapan dari sembilan faksi di DPR yang berada di koalisi Prabowo-Jokowi melakukan rapat mendadak untuk menganulir keputusan MK itu dan berupaya meratifikasi revisi UU Pilakada itu keesokan harinya.

Rencana ratifikasi itu disambut dengan protes besar-besaran dari berbagai lapisan masyarakat pada 22 Agustus, tidak hanya di lokasi DPR di Jakarta, namun juga di sejumlah kota di Tanah Air.

Protes yang awalnya berlangsung damai itu berakhir rusuh di beberapa tempat, di mana aparat keamanan menembakkan gas air mata dan meriam air ke para demonstran. Ratusan pengunjuk rasa ditangkap pihak keamanan pada malam itu.

Karena tekanan masyarakat tersebut DPR akhirnya membatalkan ratifikasi revisi dan menyatakan Pilkada akan tetap didasarkan pada undang-undang berdasarkan keputusan MK yang berarti menutup jalan bagi pencalonan Kaesang.

Reaksi terhadap DPR ini jauh lebih keras dibandingkan respons atas keputusan MK tahun lalu – yang saat itu diketuai oleh ipar dari Jokowi, yang menurunkan batas usia minimum kandidat presiden dan wakilnya dari 40 tahun ke bisa lebih muda, sehingga memungkinkan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu berumur 36 tahun bisa mencalonkan diri sebagai orang kedua di Indonesia.

Gibran yang maju bersama Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 14 Februari, akhirnya menjadi pasangan pemenang dengan suara 58 persen.

Menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang saat ini merupakan wali kota Medan akan ikut bertanding sebagai calon gubernur Sumatra Utara dalam Pilkada November ini.

Verrel Uziel, kepala Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, menyatakan bahwa protes tersebut dipicu oleh kemarahan publik yang telah membara sejak pemilihan presiden. Ia mengatakan bahwa polarisasi intens yang pernah mencengkeram negara itu kini telah mereda.

“Ketika kami menentang pencalonan Gibran sebagai wakil presiden, mudah bagi orang lain untuk menuduh kami memihak,” kata Verrel kepada BenarNews.

Namun, sekarang setelah pemilihan presiden berakhir, dan tidak ada lagi gerakan yang berpihak pada kandidat tertentu, sementara frustrasi publik telah mencapai titik tertinggi.

“Sekarang jelas musuh utama kita bagaimana keluarga Jokowi ini berusaha menguasai negara kita,” kata Verrel.

Pengunjuk rasa menunjukkan guillotine dan poster-poster yang mengkritik Presiden Joko "Jokowi" Widodo di luar gedung DPR di Jakarta, 22 Agustus 2024. [Eko Siswono Toyudho/BenarNews]
Pengunjuk rasa menunjukkan guillotine dan poster-poster yang mengkritik Presiden Joko "Jokowi" Widodo di luar gedung DPR di Jakarta, 22 Agustus 2024. [Eko Siswono Toyudho/BenarNews]

Mengkhianati pemilih

Lanskap politik dalam negeri juga mencerminkan tren yang meresahkan, menurut analis. Minggu lalu, Golkar memilih Bahlil Lahadalia, loyalis setia Jokowi, sebagai ketua umum barunya.

Para analis mengatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi Jokowi untuk mempertahankan pengaruhnya dalam pemerintahan Prabowo dan Gibran yang akan datang, yang dijadwalkan akan dilantik pada 20 Oktober.

Ali menggambarkan hubungan ini sebagai "saling menguntungkan," di mana kebijakan berpihak pada kepentingan mereka yang mendukung pemerintah.

Ali berpendapat bahwa di luar Jokowi, partai politik sendiri telah memainkan peran penting dalam erosi demokrasi di Indonesia.

"Pimpinan partai di Indonesia sering kali berasal dari latar belakang bisnis atau menguasai media besar, yang memberi mereka kepentingan pribadi dalam mempertahankan status quo," katanya.

"Pada akhirnya, mereka mengkhianati pemilih mereka," kata Ali.

Verrel mengatakan bahwa masyarakat yang tidak kritis telah memungkinkan Jokowi mempertahankan popularitasnya.

"Orang-orang mudah tertipu oleh manuver politik yang dangkal," katanya, mengutip penggunaan program bantuan sosial untuk meningkatkan dukungan.

Fawwaz Ihza Mahenda Daeni, ketua dewan mahasiswa Universitas Padjajaran, mengakui bahwa demonstrasi minggu lalu sebagian terinspirasi oleh gerakan di Bangladesh, di mana protes mahasiswa menyebabkan kerusuhan hebat yang memaksa pengunduran diri pemimpin lama Sheikh Hasina.

“Tentu saja, ada inspirasi dari gerakan-gerakan di Bangladesh dan Hong Kong,” kata Fawwaz.

“Mereka telah menunjukkan bahwa kekuasaan sejati tidak terletak di istana atau parlemen, tetapi di tangan rakyat.”

Wakil presiden terpilih dan putra sulung Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Gibran Rakabuming Raka (kedua dari kiri), istrinya Selvi Ananda (kiri), Kaesang Pangarep (kedua dari kanan), putra bungsu presiden sekaligus Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), istrinya Erina Gudono (kanan), dan Didit Hediprasetyo (tengah), perancang busana dan putra tunggal presiden terpilih Prabowo Subianto, menghadiri acara perayaan Tahun Baru Imlek di Jakarta, 11 Februari 2024. [Yasuyoshi Chiba/BenarNews]
Wakil presiden terpilih dan putra sulung Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Gibran Rakabuming Raka (kedua dari kiri), istrinya Selvi Ananda (kiri), Kaesang Pangarep (kedua dari kanan), putra bungsu presiden sekaligus Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), istrinya Erina Gudono (kanan), dan Didit Hediprasetyo (tengah), perancang busana dan putra tunggal presiden terpilih Prabowo Subianto, menghadiri acara perayaan Tahun Baru Imlek di Jakarta, 11 Februari 2024. [Yasuyoshi Chiba/BenarNews]

Menjelang akhir masa jabatan kepresidenan Jokowi, perhatian beralih ke Prabowo, menteri pertahanan saat ini dan mantan jenderal yang bertugas di bawah Soeharto.

Prabowo akhir minggu lalu menepis kekhawatiran atas cawe-cawe Jokowi dalam pemilu, tetapi memperingatkan tentang bahaya campur tangan asing, dengan menarik persamaan dengan kerusuhan pada puncak krisis keuangan 1998 yang menyebabkan jatuhnya Soeharto.

"Kami hampir lepas landas, tetapi kami dirusak oleh kekuatan asing," katanya, tanpa memberikan fakta.

Ketika ditanya apakah Prabowo akan melanjutkan kecenderungan otoriter Jokowi atau mengambil jalan baru, Fawwaz bersikap skeptis.

“Prabowo mungkin hanya perpanjangan dari pemerintahan Jokowi,” ia memperingatkan,koalisi diserahkan kepada Prabowo, dan dengan dukungan Jokowi, kita dapat melihat lebih banyak hal yang sama.”

Verrel mengatakan masih berharap akan ada perubahan.

“Kita lihat saja sejauh mana Prabowo dapat menjauhkan diri dari bayang-bayang Jokowi,” katanya.

Dominique Nicky Fahrizal, seorang peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, mengatakan masih terlalu dini untuk menilai administrasi presiden Prabowo bahkan belum mulai.

"Yang harus diawasi secara ketat adalah infrastruktur politik yang ditinggalkan oleh Presiden Jokowi, termasuk praktik-praktik seperti kekerasan konstitusional dan rencana untuk merevisi undang-undang yang mengatur militer, polisi, dan MK," katanya.

Menggambarkan persamaan dengan Bangladesh, Dominique mengatakan pemerintahan otoriter yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusuhan yang disertai kekerasan.

"Perlawanan masyarakat sipil sangat penting ketika pemerintah dan elit politik melampaui batas kekuasaan mereka," katanya.

Firman, analis di Badan Riset dan Inovasi Nasional, menepis perbandingan dengan Bangladesh.

"Situasi di Indonesia berbeda. Di Bangladesh, penguasa telah berkuasa untuk waktu yang lama, dan situasinya sangat buruk," katanya.

Tria Dianti di Jakarta berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.