Jokowi Berusaha Yakinkan Investor Terkait Nasib Undang-Undang Cipta Kerja
2021.11.29
Jakarta
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan Senin (29/11) putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja cacat formil itu tidak membatalkan pelaksanaan legislasi itu dan berusaha meyakinkan pengusaha bahwa investasi mereka aman dan dilindungi.
Dalam putusannya Kamis lalu, MK memerintahkan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk merevisi tata cara pembentukan aturan yang kerap disebut sebagai omnibus law itu dalam dua tahun dan bila tidak, maka undang-undang dianggap tidak berlaku.
Selama kurun waktu tersebut, MK juga menyatakan segala kebijakan strategis harus ditangguhkan dan pemerintah tidak dibenarkan untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Jokowi mengatakan pemerintah menerima putusan dan akan segera melakukan perbaikan, seraya menegaskan UU Cipta Kerja dan turunannya tidak akan mengganggu komitmen yang telah dibuat investor.
“Seluruh materi dan substansi dalam UU Cipta Kerja dan aturan sepenuhnya tetap berlaku tanpa ada satu pasal pun yang dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh MK,” kata Jokowi dalam keterangan persnya.
“Oleh karena itu, saya pastikan kepada para pelaku usaha dan para investor dari dalam dan luar negeri bahwa investasi yang telah, sedang, dan akan berproses tetap aman dan terjamin,” katanya melanjutkan.
Dalam putusannya, hakim MK mengatakan pembentukan Undang-undang Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi. Menurut MK, selama periode dua tahun tersebut, pemerintah tidak boleh melakukan tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak berdasarkan legislasi itu.
Kendati demikian, pada amar putusan lainnya, MK menyatakan undang-undang masih tetap berlaku selama tenggat waktu perbaikan yang diberikan. Apabila perbaikan melewati tenggat, maka legislasi itu akan ditetapkan inkonstitusional permanen.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD mengatakan pemerintah akan berupaya mempercepat proses perbaikan UU Cipta Kerja untuk meredam keraguan atas implementasi regulasi pasca-putusan MK.
“Masyarakat jangan khawatir UU ini akan berlaku dan pemerintah menangkap makna ini hanya soal prosedur yang diminta perbaiki, sehingga keseluruhan permohonan uji materi yang menyangkut isinya itu kan dinyatakan tidak dapat diterima,” kata Mahfud dalam keterangan pers, Senin.
Senada dengan Presiden, Mahfud menerangkan pemerintah juga tidak akan membatalkan investasi yang sudah masuk pasca-pengesahan UU Cipta Kerja sejak Oktober tahun lalu.
Multitafsir
Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi multitafsir dan terkesan tidak konsisten karena diambil sebagai jalan tengah.
Denny mengatakan uji formil undang-undang Cipta Kerja dilakukan untuk menilai keabsahan prosedur pembuatan, bukan terkait isi dan aturan turunannya. Hanya saja, MK kemudian muncul dengan istilah “inkonstitusional bersyarat” dengan alasan tumpang tindih regulasi.
“Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Cipta Kerja dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku,” kata Denny dalam keterangan tertulisnya.
Alasan lain adalah tidak adanya batasan yang tegas terkait apa saja yang termasuk “strategis” dan “berdampak luas” terkait pelaksanaan undang-undang Cipta Kerja yang tidak boleh diputuskan pemerintah selama dua tahun mendatang, kata Denny.
"Pertanyaannya, apakah ada pelaksanaan UU Cipta Kerja yang tidak strategis dan tidak berdampak luas itu? Kalau jawabannya tidak ada, lalu untuk apa MK memutuskan demikian? Kalaupun jawabannya ada, untuk apa pula UU Cipta Kerja masih berlaku demi hanya untuk sesuatu yang tidak strategis dan tidak berdampak luas," katanya.
Aspek formalitas yang dipakai MK seharusnya bisa juga diterapkan juga pada uji formil Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mineral dan Batubara (Minerba), sehingga, seharusnya keduanya dinyatakan inkonstitusional.
Mogok
Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) berpendapat respons pemerintah berseberangan dengan amanat MK dan tidak akan meredam desakan butuh untuk membatalkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2022 yang ditetapkan berbarengan dengan keputusan UU Cipta Kerja “inkonstitusional bersyarat”.
“Amanat MK mengatakan segala kebijakan strategis dan berdampak luas ditangguhkan, maka yang paling tepat adalah menunda upah minimum sampai ada kesepakatan lebih lanjut dengan serikat pekerja,” kata Timboel, melalui sambungan telepon, Senin.
Timboel merujuk pada rencana mogok nasional 2 juta buruh dari 100 ribu pabrik di berbagai wilayah Indonesia pada 6-8 Desember untuk menentang penetapan UMP 2022 bukan hanya karena tidak bersesuaian dengan putusan MK, tetapi juga karena penyusunannya tidak melibatkan perundingan bersama kelompok pekerja.
“Dengan pemerintah mengikuti putusan MK, menunda UMP ini, kami berharap demonstrasi mogok bisa turun tensinya. Kami berharap pemerintah bisa lebih proaktif,” kata Timboel.
Said Iqbal, Ketua Partai Buruh dan juga Presiden Konfiderasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), juga menilai seluruh surat keputusan gubernur terkait UMP otomatis menjadi tidak berlaku, begitu pula dengan upah minimum kabupaten/kota yang akan ditetapkan, karena putusan MK.
Pihaknya mengatakan, pemerintah perlu kembali mengacu pada UU Nomor 13 tahun 2003 atau PP Nomor 78 tahun 2015 untuk menentukan UMP, yang berarti kenaikan upah berada di kisaran 4 sampai 5 persen, bukan berdasar aturan UU Cipta Kerja dengan rata-rata penambahan 1,09 persen.
“UMP yang ditetapkan di seluruh Indonesia kami minta dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Gubernur,” kata Said dalam konferensi pers, Sabtu. “Kenaikan yang kami minta minimal 5 persen, di atas itu, silakan diputuskan oleh Gubernur.”
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, mengatakan putusan MK hanya berdampak pada sisi administratif, sehingga tidak berpengaruh pada aturan pelaksana UU Cipta Kerja.
“Semua aturan turunan merupakan kepentingan dunia usaha, dan tetap berlaku, dengan demikian iklim usaha dan investasi tetap kondusif,” kata Sarman dalam pernyataan tertulis kepada BenarNews.
Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan putusan MK tidak bisa dilepas dari faktor politis sehingga menimbulkan kebingungan bukan hanya bagi masyarakat tetapi pemangku kepentingan.
“Kita bisa melihat bagaimana MK selalu melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum dari rekam jejak putusan-putusannya. Maka jalan keluarnya jadi conditionally unconstitutional selama dua tahun,” kata Bivitri. “Jalan tengah ini yang sesungguhnya menimbulkan kebingungan.”
Kendati demikian, Bivitri mengatakan putusan ini tetap perlu diapresiasi agar ke depannya tidak ada lagi UU yang dirumuskan dengan cara buruk. “Praktik buruk tidak boleh mendapat legitimasi agar tidak terus berulang,” katanya.