Jumiatun, Janda Santoso Dituntut 3 Tahun Penjara
2017.04.10
Jakarta

Perempuan mungil bercadar yang mengenakan pakaian gamis hitam itu mendadak seperti orang disergap kebingungan di ujung persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan oleh jaksa terhadap dirinya.
"Apa yang disuruh tulis?" katanya tiba-tiba kepada hakim Abdul Rosyad yang memimpin persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin, 10 April 2017.
Tersenyum sesaat, Rosyad kemudian membalas, "Terserah mau ditulis apa."
Percakapan ini muncul sesaat setelah Rosyad mempersilakan Jumiatun alias Umi Delima (22) menyiapkan pembelaan atau pledoi untuk sidang lanjutan, Selasa pekan depan, entah melalui lisan atau tulisan.
Namun rupanya, Jumiatun masih tak paham permintaan hakim ketua. Walhasil, Rosyad pun mengulangi pernyataannya.
"Anda dipersilakan menulis pembelaan. Kalau mau tertulis, ya, boleh. Kalau mau lisan, nanti diberi kesempatan sebelum kuasa hukum," jelas Rosyad lagi.
Mendapat penjelasan tersebut, Jumiatun lalu diam.
Beberapa saat sebelumnya, Jumiatun dituntut tiga tahun penjara oleh jaksa, setelah menilai istri kedua pimpinan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT), almarhum Santoso itu, memenuhi unsur tindak pidana di Pasal 13 huruf b UU Terorisme tentang menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme.
Minim fakta
Sebenarnya, ancaman hukuman yang bisa dijeratkan dengan pasal ini adalah 15 tahun penjara. Pasal 13 huruf b merupakan jeratan ketiga dalam dakwaan akumulatif alternatif yang disusun jaksa untuk Jumiatun.
Dua dakwaan lain yaitu Pasal 15 juncto 7 tentang bantuan pendanaan terorisme dan Pasal 15 juncto 9 tentang kepemilikan senjata api dan bahan peledak, serta Pasal 13 huruf c tentang menyembunyikan informasi terkait terorisme ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara.
Menyoal dipilihnya dakwaan Pasal 13 huruf b untuk Jumiatun, jaksa Mayasari menyebut tak cukup fakta hukum tentang kepemilikan senjata api, bahan peledak serta pendanaan selama proses persidangan sebagai pertimbangan.
Mayasari mencontohkan fakta persidangan yang menunjukkan Jumiatun ternyata tidak bisa menggunakan senjata api dan merakit bom, meski telah diajarkan Santoso dan pengikutnya.
“Bersama dua istri anggota kelompok Santoso lain, mereka bahkan mengatakan ingin turun dari gunung tapi dilarang Santoso selaku amir (pemimpin) kelompok (MIT),” kata Mayasari kepada BeritaBenar seusai persidangan.
“Akhirnya dipilih Pasal 13 b karena tindak pidana menyembunyikan pelakulah yang terpenuhi secara hukum. Meskipun di awal sempat didakwa akumulatif karena merujuk posisinya sebagai istri Santoso.”
Menurutnya, dakwaan itu terpenuhi karena Jumiatun tetap bersedia menikah dengan Santoso meskipun sudah diberitahu bahwa Santoso merupakan DPO (daftar pencarian orang) aparat penegak hukum,” tambahnya.
Kesimpulan ini berbeda dari testimoni yang pernah diberikan Jumiatun kepada polisi seperti tercantum dalam laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Dalam laporan yang dirilis 31 Januari 2017 itu, disebutkan bahwa pada Juli 2015, Jumiatun bersama para istri MIT lainnya mengikuti pelatihan fisik dan persenjataan.
Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa Jumiatun memberikan tiga alasannya mengikuti pelatihan: mengikuti perintah suami, untuk bela diri jika diserang penguasa, dan untuk membantu MIT melawan kafir termasuk aparat keamanan negara yang mencegah kelompok tersebut dari menerapkan hukum Syariah di Indonesia.
Kamsi, seorang kuasa hukum Jumiatun mengaku cukup puas dengan tuntutan dari jaksa. Menurutnya, Jumiatun sejak awal memang dimanfaatkan oleh kelompok Santoso untuk menggemakan kegiatan mereka.
Bersama istri anggota kelompok lain, jelasnya, Jumiatun diminta memegang senjata api semata-mata untuk menunjukkan bahwa perempuan turut membantu perjuangan MIT di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Walhasil, pamor MIT di hadapan kelompok ekstrem lain, semisal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) meningkat.
“Ia (Jumiatun) kan hanya dimanfaatkan,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Posisi lemah
Fahri, kuasa hukum Jumiatun yang lain, menyatakan ada beberapa poin yang disiapkan sebagai pembelaan nanti.
Salah satunya terkait lemahnya posisi Jumiatun dalam hubungannya dengan Santoso. Menurut Fahri, Jumiatun hanya mengikuti perintah Santoso dengan pertimbangan posisinya sebagai istri.
“Untuk orang-orang seperti itu, pernyataan suami, kan, seperti titah yang harus diikuti,” ujar Fahri.
Poin pembelaan lain yang disiapkan, tambahnya, menyangkut kebiasaan masyarakat Bima di Nusa Tenggara Barat — kampung halaman Jumiatun — yang memandang sinis terhadap perempuan belum menikah jika telah dewasa.
“Makanya Jumiatun mau menerima tawaran menikah dengan Santoso,” katanya.
Jumiatun dan Santoso menikah pada 2012 setelah dikenalkan oleh Ustad Syaifudin Mukhtar, guru bahasa Arab Jumiatun saat menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Al Madinah di Bima. Kedua orang tua Jumiatun tak menyetujui perkawinan ini, sehingga ia kemudian dinikahkan oleh kakak laki-lakinya.
Sebelum menikah dengan Santoso, Jumiatun adalah janda seorang mujahidin asal Bima yang ditembak mati aparat keamanan.
Jumiatun ditangkap aparat pada 23 Juli 2016 di Poso Pesisir, atau beberapa hari setelah suaminya Santoso tewas. Santoso ditembak mati aparat gabungan TNI dan Polri pada 18 Juli 2016.