Pemerintah Klaim Penduduk Miskin Turun, Terendah Sepanjang Sejarah

Politisi Partai Gerindra mempertanyakan keabsahan data tersebut karena menilai kenyataan di lapangan berbeda.
Nisita Kirana Pratiwi
2018.07.17
Jakarta
180717_ID_Poverty_1000.jpg Rumah-rumah warga miskin di pinggir sungai di kota Jakarta, 14 November 2017.
AFP

Pemerintah mengklaim bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun ke posisi 9,82 persen, yang merupakan terendah sepanjang sejarah republik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut capaian itu adalah pertama kalinya di bawah dua digit.

Selain itu, angka koefisien juga mengalami penurunan yang menunjukkan berkurangnya gap ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin.

Hal ini mengindikasikan kebijakan ekonomi pemerintah telah berada pada jalur yang tepat, katanya dalam siaran pers yang diperoleh BeritaBenar, Selasa, 17 Juli 2018.

"BPS mengeluarkan statistik mengenai kemiskinan. Dan saya termasuk yang cukup menyambutnya dengan perasaan yang sangat istimewa. BPS mengumumkan tingkat kemiskinan kita di 9,82%. First time in the history of Indonesia, kemiskinan itu di bawah 10%,” katanya.

Dia menjelaskan sangat sulit untuk dapat menurunkan angka kemiskinan sampai pada level satu digit.

Menurutnya, dulu pernah ada pada posisi 11% mendekati 10%, dan angka itu dicapai pada Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) kelima dan kemudian terjadi krisis (ekonomi) sehingga kemiskinan naik lagi pada level 24%.

“Menurunkan (angka kemiskinan) di bawah 10% itu, is a quite remarkable achievement. Dan kita masih tidak berhenti di situ. Masih ingin menurunkan lebih lanjut,” tuturnya.

Survei BPS

Berdasarkan survei BPS pada Maret 2018, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) mencapai 25,95 juta orang (9,82%) atau mengalami penurunan 633,2 ribu orang dibandingkan kondisi September 2017 sebesar 26,58 juta orang (10,12%).

"Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2017 sebesar 7,26 persen, turun menjadi 7,02 persen pada Maret 2018,” Kepala BPS, Suhariyanto, ketika merilis hasil survei di Jakarta, Senin.

Dia menambahkan persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2017 sebesar 13,47 persen, turun menjadi 13,20 persen pada Maret 2018.

Selama periode September 2017–Maret 2018, jumlah penduduk miskin di perkotaan turun 128,2 ribu orang (dari 10,27 juta orang pada September 2017 menjadi 10,14 juta orang pada Maret 2018.

Sementara di perdesaan turun 505 ribu orang dari 16,31 juta orang pada September 2017 menjadi 15,81 juta orang pada Maret 2018.

Patut dipertanyakan

Iwan Sumule, Ketua DPP Partai Gerindra, menyebut angka yang dikeluarkan BPS bukan hal yang baru dan mempertanyakan keabsahan karena kondisi di lapangan berbeda.

"Saya tidak tahu data itu benar atau tidak. Harusnya saat melakukan survei berdasarkan info dan data kredibel. Makanya saya bingung kok hasilnya seperti itu," katanya kepada BeritaBenar.

Menurutnya, saat ini yang dirasakan dan dilihat adalah rakyat sedang terpuruk, di mana angka pengangguran semakin tinggi dan sulit lapangan pekerjaan.

"Saya memang tidak bisa mengatakan data BPS salah, tapi saya bisa melihat dan merasakan yang ada di sekeliling saya," papar Iwan.

Dia bahkan menagih janji Presiden Joko “Jokowi” Widodo terkait tersedianya lapangan pekerjaan.

Mengenai hasil survei BPS, Iwan mengatakan harus didasari keilmuan yang cukup dan tanggung jawab moral agar tidak sampai manipulatif untuk kepentingan kekuasaan.

"Lembaga di dalamnya harus punya kejujuran. Semua orang punya kepentingan, karena itu saya kira perlu dikaji ulang lagi," imbuhnya.

Hanya satu dimensi

Direktur Eksekutif lembaga penelitian independen Perkumpulan Prakarsa, Ah. Maftuchan menyatakan pencapaian yang dilakukan pemerintah perlu diapresiasi. Perkumpulan Prakarsa ialah

Capaian itu, menurutnya, hasil kerja semua pihak, baik pemerintah pusat, daerah dan desa maupun aktor pembangunan nonpemerintah seperti organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat, dan swasta.

“Ini bisa kita lihat dari jumlah penduduk miskin di desa yang berkurang lebih 500 ribu jiwa. Sementara penduduk miskin di kota turun 120 ribu jiwa,” katanya saat dihubungi.

“Jadi apa yang dirilis BPS merupakan data pemerintah, artinya data resmi, dan secara akademik saya kira ini dapat dipercaya.”

Namun, sambung Maftuchan, data tersebut masih melihat kemiskinan dari kacamata ekonomistis atau satu dimensi, dan hanya lebih sering dari sisi pengeluaran perkapita daripada sisi pendapatan perkapita.

“Artinya, BPS masih melihat miskin tidak miskinnya seseorang dengan cara mengukur dari “mistar kemiskinan” yang "absolut" yaitu pendapatan dan pengeluaran, kalori dan kesejahteraan dasar perkapita (orang perorang). Kalau mau lebih maju, kita harus membuat ukuran ‘kemiskinan relatif’, yakni ukuran yang berubah-ubah dan dinamis, standar hidup tertentu,” tuturnya.

Maftuchan menambahkan, momentum capaian angka kemiskinan satu digit ini harus digunakan untuk melakukan lompatan-lompatan kebijakan yang lebih progresif.

“Contohnya, harus berani menegaskan agenda pembangunan melampaui penurunan garis kemiskinan, yaitu menciptakan kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik,” ujarnya.

Dia berharap pengukuran yang digunakan secara multi-dimensi yakni dengan menyusun Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM).

“Karena ukuran multi-dimensi dalam melihat kemiskinan akan membantu pemerintah dan siapapun untuk bisa melihat kemiskinan yang mendekati kenyataan lapangan,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.