Jutaan Gen Z menganggur, manfaat bonus demografi Indonesia terancam

BPS laporkan angka pengangguran di kalangan usia 15-24 tahun mencapai 22,25 persen tahun ini.
Tria Dianti
2024.05.23
Jakarta
Jutaan Gen Z menganggur, manfaat bonus demografi Indonesia terancam Para pencari kerja memadati sebuah bursa kerja (job fair) di Surabaya, 10 September 2019.
Juni Kriswanto/AFP

Mimpi Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045 terancam redup. Bayang-bayang 9,9 juta Generasi Z yang menganggur menggelayuti optimisme bonus demografi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, angka pengangguran di kalangan anak muda usia 15-24 tahun ini mencapai 22,25 persen.

Benedictus Cahyo Kuncoro, lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta, adalah salah satu dari jutaan pemuda yang belum merasakan manisnya dunia kerja formal.

Ia masih berjibaku mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.

“Saya merasa perusahaan menuntut skill terlalu banyak dibandingkan dengan kemampuan yang kita punya,” kata Benedectus yang mengambil jurusan sistem informasi.

Fenomena pengangguran di kalangan Gen Z ini menjadi alarm bagi para ekonom. Muhammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, mengingatkan bahwa produktivitas tinggi yang diharapkan akan sulit tercapai jika banyak penduduk usia produktif yang menganggur.

"Ini bertolak belakang antara target pertumbuhan ekonomi tinggi dan tingkat produktivitas yang terbatas," ujar Faisal kepada BenarNews.

“Tentunya ini akan menjadi ancaman ke depan jika bonus demografi telah usai. Bisa-bisa tidak tercapai Indonesia Emas 2045 ketika bonus demografinya sudah selesai,” lanjutnya.

Berdasarkan siklus demografi, ketika bonus demografi usai maka banyak usia tidak produktif atau berbanding terbalik dengan proporsi jumlah produktif.

“Jadi peluangnya ya sekarang di masa-masa bonus demografi seperti sekarang yang diperkirakan akan usai di waktu 15 tahun ke depan,” kata dia.

Presiden terpilih, Prabowo Subianto, menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen di era pemerintahannya. Namun, target ambisius ini akan sulit terwujud jika masalah pengangguran tidak segera diatasi, kata pengamat.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada bulan Maret menegaskan tekad pemerintah untuk memanfaatkan bonus demografi, seraya mengatakan Indonesia memiliki kesempatan yang harus dimanfaatkan dengan baik karena 68 persen penduduknya berada dalam rentang usia produktif.

“Sudah sering saya sampaikan bahwa Indonesia, negara kita ini memiliki peluang besar, memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju saat puncak bonus demografi di tahun 2045, saat itu kesempatan kita,” ujar Jokowi dalam sambutannya pada peresmian pembukaan Kongres Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia.

Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), bahkan menyebut Indonesia bisa terjebak dalam status negara berpenghasilan menengah jika tidak mampu memanfaatkan bonus demografi.

“Bukan hanya tidak mendorong laju perekonomian karena mereka tidak hasilkan apa-apa, tapi juga akan menjadi beban perekonomian, karena mereka tidak menghasilkan apa-apa,” kata dia.

“Maka Indonesia menjadi negara maju sulit tercapai di tahun 2045 dan akan mundur lagi waktunya dan butuh lebih lama lagi,” kata Ahmad.

Para pencari kerja dalam sebuah bursa kerja di Jakarta, 30 Agustus 2013. [Achmad Ibrahim/AP]
Para pencari kerja dalam sebuah bursa kerja di Jakarta, 30 Agustus 2013. [Achmad Ibrahim/AP]

Masalah sosial ekonomi mengintai

Jaya Darmawan, peneliti lembaga riset Center for Economic and Law Studies (CELIOS), menyebut tingginya angka pengangguran di kalangan generasi muda ini mengkhawatirkan.

“Temuan BPS tersebut dapat menjadi data yang negatif dalam rangka pencapaian target pengurangan pengangguran terbuka di Indonesia, mengingat proporsi anak muda kita akan tetap dominan hingga tahun 2045 tersebut,” ujarnya.

“Mengganggu juga dalam bidang sosial maupun ekonomi, seperti peningkatan kemiskinan, bahkan berpotensi mengganggu target kesehatan,” kata dia.

Triyono, peneliti BRIN, bahkan menyebut kondisi saat ini jauh dari kata bonus demografi. Ia menyoroti ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan industri sebagai salah satu penyebab utama.

"Apa yang diajarkan di perguruan tinggi dan SMK tidak sejalan dengan kebutuhan industri," ungkapnya.

Solusi mendesak dibutuhkan

Para ahli sepakat bahwa dibutuhkan solusi mendesak untuk masalah ini. Tauhid Ahmad menekankan pentingnya akses pendidikan yang lebih luas dan investasi yang menciptakan lapangan kerja.

Jaya Darmawan menyoroti pentingnya pendidikan vokasi yang berkualitas dan pengembangan industri yang lebih hijau.

Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengakui masalah ini.

“Hal yang terus didorong pemerintah adalah membangun pendidikan dan pelatihan vokasi agar nyambung dengan pasar kerja, terjadi match antara pendidikan dan pasar kerja. Itu yang terus kita dorong,” kata Ida dikutip dari CNBC Indonesia.

Sementara Indonesia bergulat dengan krisis ini, mimpi anak muda seperti Benedictus berada di ujung tanduk.

"Saya berharap perusahaan akan membuat proses rekrutmen lebih mudah," kata Benedictus, menggemakan perasaan jutaan rekan sebayanya yang bersemangat untuk berkontribusi bagi masa depan negara, tetapi mendapati diri mereka kesulitan memasuki dunia kerja.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.